Meski Hidup Tak Sekadar Sinetron Hidayah

Kinanti Munggareni
Hidup di era milenial, dibesarkan dengan istiadat 90'an. | https://munggareni.blogspot.com
Konten dari Pengguna
10 Januari 2017 8:26 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kinanti Munggareni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya penggemar sinetron-sinetron bertema azab dan hidayah sebetulnya.
Kala hari libur dan sedang bosan menonton NatGeo Wild, kerja remote tivi di tangan saya berhenti ketika sinetron-sinetron itu sedang ditayangkan. Saya bisa nambah nasi 2 kali jika makan sambil menontonnya.
ADVERTISEMENT
Aksi para aktor dan aktris yang seadanya -marah pasti melotot, sedih pasti keluar air mata- bisa menahan saya. Kalimat-kalimat dialog yang terlalu kaku ala buku pelajaran, dengan intonasi yang seperti saat belajar drama di bangku sekolah dasar memikat telinga saya.
Belum lagi riasan para pemain, serta baju yang dikenakan. Sungguh artifisial. Sungguh nyaman di mata saya.
Bukan ingin kelihatan beda dengan anak muda lain. Tapi jujur, saya merasakan keasyikan menonton gambar-gambar bergerak penuh dengki itu.
Mungkin bisa dibilang, secara keseluruhan, tayangan sinetron model itu adalah detoks bagi kepala saya. Segala hal terlihat mudah, bukan, di sana?
Premisnya sederhana: yang jahat akan kalah, yang baik -meskipun harus melewati banyak rintangan- pada akhirnya akan menang.
ADVERTISEMENT
Segalanya mudah. Tapi hidup pada kenyataannya tak semudah sinetron-sinteron hidayah.
Batas antara baik dan buruk terlalu sumir. Juga tak semua usaha baik berbuah hasil yang baik. Pun yang buruk tak selamanya kena azab setimpal.
Kehidupan memiliki rahasianya sendiri.
Begitu pula manusia-manusia yang menghidupi kehidupan.
Para sastrawan kanon, mereka yang dianggap hebat, mungkin sering dilihat yang paling mahir dalam mereka secara lengkap lika-liku perjalanan manusia.
Sebutlah Tolstoy; atau yang paling dekat Chairil.
Tapi perlukah semua orang membaca sastra? Perlukah di rumah tetangga sekitar rumah, pada rak bukunya, tersimpan sederet karangan mulai dari Dostoyevski, Camus, Rilke, juga Armijn Pane?
Haruskah kita membaca sastra-sastra kanon agar bisa dibilang terbuka dan mahir dalam membaca sengitnya jalan manusia?
ADVERTISEMENT
Menjadi lebih bijakkah saya dan teman-teman sekampus hanya karena pernah mempelajari sastra secara formal? Atau lebih terbuka kah kami terhadap segala bentuk cara berpikir hanya karena telah melahap Bumi Manusia atau Atheis?
Tidak.
Hidup tak sekadar melahap karya sastra dan mampu berkomentar.
Dari sinetron-sinetron hidayah kita diingatkan untuk mempertanyakan kembali:
Hidup memang tak sekadar sinetron hidayah, tempat orang-orang bersalah bisa kena koreng di muka sebagai balasan dosa.
Tapi setidaknya sinetron hidayah bisa jadi oase bagi kepala yang lelah, di tengah kesombongan sastra-sastra kanon dalam menuduh bahwa hidup begitu rumit dan tak bisa dijalani dengan mudah.
ADVERTISEMENT