Konten dari Pengguna

Memahami Karakter Asli Wanita dalam Poligami: Analisis Hadis Nabi

Muhammad Husein Fadhlillah
Mahasiswa Jurusan Perbandingan Mazhab di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mahasantri di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Pengurus Ponpes Baca Kitab dan Tahfidz (PBKT) Al-Hasanatain.
21 November 2024 17:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Husein Fadhlillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seorang pria dalam hubungan poligami, digambarkan dengan AI.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang pria dalam hubungan poligami, digambarkan dengan AI.
ADVERTISEMENT
Dalam Islam, poligami adalah konsep yang diatur secara syariat, namun realitas dalam pelaksanaannya sering kali menimbulkan dinamika sosial dan emosional di kalangan wanita. Salah satu hadis dalam Sahih Muslim nomor 1682 memaparkan peristiwa yang melibatkan hubungan antara dua istri dari seorang laki-laki yang saling bermudarat, sebuah realitas yang kerap kali dijumpai dalam praktik poligami. Hadis ini tercatat dalam kitab Sahih Muslim, nomor 1682 pada halaman 111, juz 5. Berikut adalah teks hadis tersebut:
ADVERTISEMENT
عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ: ضَرَبَتِ ‌امْرَأَةٌ ‌ضَرَّتَهَا بِعَمُودِ فُسْطَاطٍ وَهِيَ حُبْلَى فَقَتَلَتْهَا
"Diriwayatkan dari Mughîrah bin Syu'bah, ia berkata: 'Seorang wanita memukul madunya (yang lain) dengan tiang kemah sementara madunya itu sedang mengandung, hingga menyebabkan kematian."
Penjelasan Hadis
Imam Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim (jilid 11, halaman 178) mengungkapkan pandangan yang menarik ketika menjelaskan hadis tersebut terkait sifat dasar wanita dalam relasi poligami. Dalam syarah tersebut dijelaskan bahwa dalam bahasa Arab, istri yang dipoligami disebut “dharrah” (ضرة), yang berasal dari kata yang bermakna "menimbulkan bahaya" atau "menyakiti."
Dalam pemaknaan ahli bahasa, istilah dharrah ini mengandung makna bahwa secara adat, wanita yang menjadi madu bagi wanita lain cenderung menimbulkan dampak yang saling merugikan. Imam Nawawi menambahkan bahwa setiap istri dari suami yang sama secara alami akan mengalami perasaan yang tidak nyaman, yang berpotensi mengarah pada konflik atau saling memudaratkan. Oleh sebab itu, dalam konteks kebahasaan dan kebudayaan Arab, poligami dianggap sebagai situasi yang dapat memicu mudarat antar istri.
ADVERTISEMENT
Interpretasi dan Makna: Mengapa Wanita Tidak Bisa Dimadu?
Dari perspektif kebahasaan, istilah dharrah mengisyaratkan bahwa setiap wanita pada dasarnya memiliki kecenderungan emosional yang sulit untuk menerima kehadiran wanita lain dalam hubungan pernikahan yang sama. Ini menjadi dasar mengapa secara adat disebutkan bahwa wanita "tidak bisa dimadu," karena keterlibatan emosional yang seringkali kuat antara para istri.
Pemaknaan ini selaras dengan pemahaman manusiawi bahwa wanita cenderung menginginkan ikatan eksklusif dengan suaminya, serta perasaan aman dan tenteram tanpa adanya rivalitas dalam bentuk poligami. Ketidaknyamanan tersebut bukanlah bukti kelemahan wanita, melainkan refleksi dari sifat alamiah yang ada pada dirinya.
Kesimpulan
Hadis dalam Sahih Muslim ini, bersama syarah dari Imam Nawawi, membuka pemahaman tentang dinamika psikologis yang terjalin dalam hubungan poligami. Istilah dharrah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antar istri menunjukkan bahwa secara emosional dan adat, wanita memiliki kesulitan dalam menerima kehadiran wanita lain sebagai madu. Meskipun poligami diizinkan dalam syariat, hadis ini sekaligus menekankan bahwa terdapat aspek kemanusiaan dan perasaan yang harus diperhatikan dalam praktiknya.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, penting bagi seorang suami untuk memiliki kemampuan mengelola emosi dan perasaan masing-masing istrinya agar tidak menimbulkan mudarat. Melalui pemahaman hadis ini, kita dapat menumbuhkan kesadaran bahwa keadilan tidak hanya berkaitan dengan materi, tetapi juga dengan sisi emosional dan psikologis dalam sebuah keluarga.