Jakarta, Kota yang Tak Pernah Tidur

Deskinanti BS
Undergraduate Student Journalism at Politeknik Negeri Jakarta (PNJ)
Konten dari Pengguna
11 Juni 2024 10:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deskinanti BS tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Deskinanti Branita Sandini
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Deskinanti Branita Sandini
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari itu sore terasa sangat sejuk. Angin berembus menyentuh kulit perlahan, suara klakson kendaraan bersaut-sautan. Jakarta seperti biasanya, ramai. Kota yang tidak pernah tertidur. Selalu penuh cerita di setiap sudutnya.
ADVERTISEMENT
Aku menikmati ramai itu dalam kekosonganku. Mengambil napas dalam dan mengembuskannya perlahan, menyadari bahwa waktu berjalan begitu cepat. Terhitung sudah dua tahun terakhir aku jarang menjenguk Jakarta. Sudutnya tidak pernah berubah, suasananya saja yang sedikit berbeda.
Dulu, saat masih di bangku SMK, setiap pagi aku berangkat dari rumah menuju Gondangdia. Pukul 5 pagi, aku selalu menempuh perjalanan ke sekolah bersamaan dengan para pekerja kantoran. Berjalan kaki melewati pedagang kaki lima, melihat petugas kebersihan yang sedang bekerja, menyebrangi jalan diantara hiruk-pikuk kesibukan orang-orang.
Jarak rumahku ke Jakarta memang jauh, terbayang rasa lelahnya setiap hari, pulang dan pergi. Melewati rute yang sama, melakukan rutinitas yang itu-itu saja. Tetapi aku menikmatinya. Meskipun harus menempuh perjalanan yang jauh, naik kereta dan berdesakan dengan para pengguna commuter line. Menyaksikan semangat pagi orang-orang kantoran. Mereka selalu wangi di pagi hari, berpakaian rapi, ada yang berbatik, memakai lanyard perusahaan ternama.
ADVERTISEMENT
Di dalam kereta, orang-orang selalu sibuk dengan handphone-nya. Satu dua orang memberikan duduk kepada lansia. Tiga empat orang sudah terpejam dengan lelap di bangku kereta. Memori itu akan selalu membekas di kepalaku. Suasananya, lelahnya, proses perjalanannya. Entah kenapa itu selalu jadi memori yang sangat berkesan.
Jakarta, katanya tidak cocok untuk semua orang. Mungkin karena mayoritas penduduknya ambisius dan individualis. Mungkin melelahkan hidup dengan sistem berlomba, yang artinya ada menang dan kalah. Beberapa orang memang tidak suka perlombaan, dan menurutku, itu hak masing-masing individu untuk memilih jalan hidupnya.
Pernahkah kalian membayangkan, mereka harus menempuh macetnya Jakarta atau harus bertarung dengan padatnya orang-orangnya di stasiun saat jam kerja. Terkadang membaut sakit kepala dan naik pitam. Masyarakat Jakarta terlihat seperti selalu diburu dengan waktu. Padahal, kenyataannya memang begitu.
ADVERTISEMENT
Perhatikan saja gedung-gedungnya, menjulang tinggi dan terlihat angkuh. Di tempat kerja, mereka harus berlomba menjadi nomor satu. Berlomba pada gengsi demi nama baik di hadapan para petinggi. Entah hanya masyarakat di Jakarta saja yang seperti itu, atau memang semua manusia begitu.
Sebagai perempuan yang lahir di Jakarta, tetapi tidak tinggal di sana. Jakarta akan selalu menjadi tujuanku di kala sedang jenuh. Seringkali hanya sekedar untuk menikmati suasana malam di Jakarta, melihat lampu-lampu kota, atau bernostalgia mengunjungi teman lama. Aku selalu merindukan Jakarta. Terlalu banyak kenangan di setiap sudutnya.
Aku tidak akan pernah lupa bagaimana Jakarta memengaruhi pandangan hidupku. Aku ambil positifnya saja, seperti semangat dan ambisius masyarakatnya. Terlihat seperti orang-orang penting. Memakai batik, turun dari mobil mahal, memakai lanyard yang bergengsi. Budak korporat, katanya.
ADVERTISEMENT
Saat aku SMK, aku menyaksikan pegawai kantoran berangkat pagi, seperti semangat mereka tidak akan pernah luntur. Bekerja di dalam gedung-gedung tinggi dan perusahaan ternama. Terkadang aku berpikir, “Bisakah suatu hari aku seperti mereka?”
Keinginan untuk sukses selalu menjadi motivasiku. Perjalanan jauh ke sekolah terasa menjadi menyenangkan melihat rutinitas yang katanya aktivitas budak korporat. Dalam hati merapal doa, semoga suatu saat akupun bisa sukses dan bekerja di gedung pencakar langit, berangkat pagi dan pulang sore hari, pemandangan lampu-lampu kota yang terlihat indah dari jendela kantor, sehabis itu nongkrong di kafe lucu, bercengkerama dengan manusia-manusia lainnya. Terlihat menyenangkan.
Tetapi, memang Jakarta tidak selalu penuh ambisi. Di sisi lain, Jakarta juga banyak memberikan pandangan inspiratif. Seperti para petugas kebersihan yang rajin sekali, pagi-pagi mereka sudah bekerja membersihkan bahu jalan. Atau melihat semangat pedagang kaki lima yang menata dagangannya satu per satu. Atau lagi aktivitas rumah di gang-gang kecil, seperti ibu-ibu yang sedang menjemur baju di pagi hari. Melihat sekumpulan aanak kecil memakai seragam merah putih ingin berangkat sekolah. Dan masih banyak lagi sisi lain dari Jakarta.
ADVERTISEMENT
Jakarta selalu menginspirasi. Jakarta adalah kota yang tidak pernah tertidur. Meski memang terlihat tumpang dan tindih, perbedaan kasta yang terlihat jelas, kawasan kumuh dan mewah terlihat kontras. Tapi begitulah Jakarta.
Aku kembali pada kesadaranku yang sedang melamun daritadi. Kilas balik kenangan tentang Jakarta selalu mebekas. Memberikanku semangat jika sedang merasa jenuh.
Aku menatap gedung pencakar langit di hadapanku. Aku berbisik pada kekosongan, sedang kuusahakan mimpi-mimpi ini supaya terealisasi. Akan kuwudkan harapan ini agar menjadi kenyataan. Suatu hari, aku bisa mewujudkan impianku dengan jerih payahku sendiri.