Mengikhlaskan adalah Proses Panjang yang Melelahkan

Deskinanti BS
Undergraduate Student Journalism at Politeknik Negeri Jakarta (PNJ)
Konten dari Pengguna
9 Juni 2024 14:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deskinanti BS tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : iStock / Mary Long
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : iStock / Mary Long
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya pernah merasakan kehilangan yang mendalam, kehilangan yang membuat hati saya hancur. Dalam kegelapan itu, saya belajar bahwa mengikhlaskan bukan berarti melupakan, tetapi menerima kenyataan bahwa sesuatu yang berharga telah pergi. Mengikhlaskan adalah tentang melepaskan diri dari rasa sakit dan merangkul kenangan dengan penuh cinta.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, kita semua akan menghadapi perpisahan, entah itu karena jarak atau kematian. Mereka mengatakan, "Relakan apa yang seharusnya bukan milikmu." Namun, mereka jarang memberi tahu bagaimana caranya merelakan dengan ikhlas.
Dari banyaknya kesedihan yang pernah saya rasakan, kehilangan seseorang adalah satu-satunya hal yang paling saya takutkan. Mengikhlaskan adalah hal yang krusial. Bagaimana kita bisa merelakan sesuatu yang sebelumnya milik kita, lalu tiba-tiba hilang begitu saja?
Merelakan seseorang tidak pernah mudah. Apalagi seseorang itu merupakan bagian penting dari hidup Anda, teman bercerita, tempat menuangkan segala keluh kesah. Melewati segala suka dan duka bersama, belajar menghargai dan mentoleransi setiap kesalahan yang ada.
Saya seharusnya marah, saya seharusnya menuntut janji untuk tetap ada dalam setiap kondisi. Tapi tidak saya lakukan, saya hanya bisa menahan semuanya sendiri. Lagipula, apa yang bisa kita harapkan dari seorang manusia yang dinamis? Hatinya, sifatnya, semua berubah. Bagaimana bisa kita meletakkan harapan pada sesuatu yang tidak konsisten? Kita bertaruh dan menaruh risiko pada kecewa.
ADVERTISEMENT
Saya sering bertanya-tanya, bagaimana cara kerja Tuhan dalam menentukan garis waktu di mana manusia harus dipertemukan lalu dipisahkan? Apakah karena sebuah keharusan atau keraguan? Apa makna dari perpisahan? Bagaimana Tuhan merancang pola dan dinamika takdir? Bagaimana teknisnya?
Apakah dengan kehilangan, kita akan digantikan dengan sesuatu yang lebih baik? Atau malah kita akan tetap terjebak dalam memori yang sama, karena tidak bisa melangkah maju akibat tertahan oleh kenangan?
Pertanyaannya adalah, lebih baik ditinggalkan demi tujuan yang baik atau memaksakan bertahan tetapi berujung menjadi penyakit? Manusia bisa punya rencana, tetapi Tuhan memiliki kendali atas itu semua.
Mengikhlaskan selalu menjadi proses yang panjang dan melelahkan. Tidak ada cara instan untuk merelakan sesuatu yang hilang. Setiap orang memiliki cara dan waktu yang berbeda dalam menghadapi proses ini. Bagaimana Anda bersahabat dengan kata "ikhlas"?
ADVERTISEMENT
Bahkan sampai detik ini, ketika saya menulis ini, saya masih belum tahu apakah saya sudah sembuh dari luka, atau saya hanya berhasil bersandiwara. Kita bisa karena terbiasa. Bukankah itu memang tugas manusia, berpandai-pandai bersembunyi dan menutupi luka?
Beruntung bagi mereka yang sudah berdamai dengan kehilangan, berdamai dengan isi kepala yang seringkali membunuh. Saya sedang mencari kedamaian itu. Dalam proses mengikhlaskan, saya menemukan bahwa kedamaian datang ketika kita menerima kenyataan dengan ikhlas dan tetap berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Hal yang saya pahami adalah bahwa meninggalkan dan ditinggalkan merupakan fase yang akan kita hadapi pada setiap jenjang usia, pada setiap tahap hidup manusia. Yang sedang saya usahakan adalah bagaimana mengendalikan kesedihan dan kekecewaan ini dengan merelakan, dan mengatakan kepada diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.
ADVERTISEMENT