Konten dari Pengguna

Politik Informal: Juru Selamat dalam Proyek Properti Kawasan Bandung Utara

Kirana Sulaeman
Freelance content writer, Alumni Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
7 Januari 2022 18:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kirana Sulaeman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Sumber: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Sumber: pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sistem politik formal tidak selalu berhasil mewadahi kepentingan demokratis masyarakat. Jelasnya, ini terjadi pada proyek alih fungsi lahan di Kawasan Bandung Utara (KBU) yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan masalah sosial.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2004, pemerintah menerbitkan izin hak guna bangunan kepada perusahaan properti PT DAM atas lahan di Punclut, Desa Pagerwangi, KBU, untuk pembangunan kompleks perumahan elite. Padahal, lahan tersebut sebelumnya diresmikan sebagai Kawasan Resapan Air (water catchment area) yang menahan laju air hujan ke daerah cekungan Bandung.
Dampak dari pembangunan ini tidak main-main. Dalam catatan Walhi Jabar, pengalihan fungsi lahan itu mengganggu cadangan mata air yang mengalir ke DAS Cikapundung, Cimahi, Citarik Hulu, Cigugur, Cibeureum, Citepus, dan sejumlah anak sungai lainnya. Ketika musim hujan, tanah yang gersang dari pepohonan akhirnya mengakibatkan banjir bandang dan longsor.
Warga dan petani Punclut yang telah mengelola lahan itu selama berdekade, mengalami manipulasi, ancaman, dan paksaan selama konflik perebutan tanah dengan korporasi. Surat persetujuan perpindahan kepemilikan tanah terpaksa ditandatangani karena perusahaan membawa-bawa preman. Pada tahun 2014, berbagai alat berat didatangkan untuk meratakan pohon-pohon dan perkebunan warga secara paksa. Tidak hanya korporasi, lembaga pemerintah ikut mematok lahan warga tanpa persetujuan. Sampai hari ini, warga masih menempuh jalur hukum agar mendapatkan hak kepemilikannya kembali.
ADVERTISEMENT
Kasus ini membuat kita memikirkan kembali bagaimana sistem politik formal, yaitu bentuk politik yang institusi dan aturannya terkodifikasi secara resmi, telah mengabaikan persoalan ekologis dan mengadang artikulasi politik dari warga. Feeny (1990) dalam studinya The Tragedy of the Commons: Twenty-two Years Later, melihat bahwa ketika pemerintah menguasai sumber daya alam, proses politik yang ada di dalamnya tidak dijamin sempurna dan berpotensi hanya responsif pada kepentingan elite.
Kabar baiknya, sistem politik formal bukanlah satu-satunya sistem politik yang ada. Di dalam lingkungan sistem politik, terdapat juga politik informal, di mana institusi dan aktornya dibentuk dengan standar sosio-kultural, norma, dan codes behavior yang berupaya mencari cara alternatif untuk menyalurkan artikulasi politik. Dalam sejarahnya, politik informal mulai bangkit di negara-negara pasca otoritarianisme di mana transisi ke demokrasi ternyata tidak mengarah pada liberalisasi.
ADVERTISEMENT
Politik informal dapat berbentuk kelompok kepentingan atau penekan. Kelompok kepentingan adalah kelompok informal yang memperjuangkan kepentingan berbasis profesi, misalnya persatuan buruh, dokter, dan petani. Sementara itu, kelompok penekan memperjuangkan hal-hal yang berbasis isu, misalnya lingkungan, hak perempuan, dan sebagainya. Kedua kelompok ini dapat berjalan secara "oposisi" ataupun lewat asosiasi pelobi untuk memberikan tekanan ke pemerintah.
Dalam kasus proyek di KBU, kelompok penekan yang dapat kita temukan adalah Walhi Jabar. Sejak 2012, LSM ini memulai advokasi dengan Warga Punclut dan membimbing gerakan perlawanan warga. Di tahun tersebut, komunitas penggarap berhasil mengirim surat ke DPRD Bandung berisi protes terkait tindakan PT DAM karena merebut izin lahan tanpa melibatkan warga. Forum Masyarakat Peduli Punclut juga mengirim surat ke Gubernur Jawa Barat tentang pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan dengan tembusan ke sejumlah lembaga negara dan independen.
ADVERTISEMENT
Walhi juga turut mewarnai aksi-aksi seperti mengadang ekskavator PT DAM dan ikut dalam demonstrasi bersama para petani. Soft-campaign juga dilakukan dengan berdiskusi dan melobi pemerintah terkait Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan berkampanye di media sosial. Dalam kasus kriminalisasi petani Punclut karena tuduhan pencemaran nama baik terhadap perusahaan, Walhi memberikan pendampingan hukum bersama LBH Bandung.
Kasus degradasi lingkungan akibat pembangunan properti di KBU telah menyadarkan kita bahwa institusi politik formal begitu rawan dibajak oleh elite (elite capture) sehingga wadah partisipasi dan artikulasi politik warga dibungkam dengan ancaman, manipulasi, dan paksaan. Di sisi lain, kehadiran berbagai LSM dan gerakan akar rumput dapat menjelma sebagai juru selamat untuk memperjuangkan demokrasi dan kepentingan lingkungan yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT