Konten dari Pengguna

Track Two Diplomacy, Media Massa, dan Kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan

Kirana Sulaeman
Freelance content writer, Alumni Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
30 Mei 2024 10:46 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kirana Sulaeman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kapal militer. Source: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kapal militer. Source: pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Indeed, only the foolish foreign leader can any longer afford to underestimate the power of TV news." - Marvin Kalb
ADVERTISEMENT
Sengketa teritorial yang tengah terjadi di halaman maritim Indonesia, yaitu Laut China Selatan (LCS), telah menjelma sebagai salah satu titik geopolitik terpanas di dunia. Dengan posisi strategis LCS sebagai jalur lalu lintas perairan tersibuk di dunia setelah Terusan Suez, sekaligus rumah bagi 40% cadangan migas dan 10% total tangkapan ikan laut global, tak ayal ia menjadi perebutan besar-besaran antarnegara, termasuk Tiongkok dan beberapa negara ASEAN. Indonesia, meski berposisi sebagai non-claimant state, punya tanggung jawab menghindari eskalasi konflik yang mengancam kedaulatan di Laut Natuna Utara. Namun, apa jalur yang harus ditempuh Indonesia untuk mencapai hal tersebut ketika diplomasi tampaknya belum berhasil menemukan titik temu?
Pemerintah Indonesia telah mengindikasikan preferensi ke arah jalur diplomasi jangka panjang, alih-alih konfrontasi, sebagai ujung tombak penyelesaian sengketa. Apalagi, dalam sejarahnya, diplomasi telah menjadi instrumen utama Indonesia untuk menangani isu-isu internasional.
ADVERTISEMENT
Namun, tekanan diplomasi terbukti belum efektif melunakkan sikap agresif Tiongkok yang masih melanjutkan aktivitas militernya di LCS meski melanggar konvensi hukum laut internasional di bawah PBB atau UNCLOS. Hal ini diperparah oleh lemahnya posisi negosiasi ASEAN akibat pertimbangan ekonomi, terutama setelah digelontorkannya bantuan dana investasi Tiongkok dalam agenda OBOR. Konsekuensinya, belum terlihat sense of urgency dan tekanan maksimum dari negara-negara ini untuk menyelesaikan konflik.
Sebuah Koridor Diplomasi Baru
Di sinilah peran Track Two diplomacy dapat membantu. Track Two diplomacy merupakan interaksi sektor non-pemerintah (informal channels) yang berfungsi sebagai tangan kanan pemerintah dalam resolusi konflik. Salah satu bentuk diplomasi ini adalah keterlibatan media dalam membangun “diskursus” yang dapat membentuk opini publik dan mempengaruhi kebijakan negara-negara yang terlibat dalam sengketa LCS.
ADVERTISEMENT
Henrik Thune dalam penelitiannya “Beyond the CNN effect: Towards a Constitutive Understanding of Media Power in International Politics” membuktikan bagaimana media massa telah mereviolusionalisasi proses decision-making politik luar negeri yaitu dengan memuat pesan dan simbol yang mengkonstruksi diskursus masyarakat terhadap kekuatan hegemoni tertentu. Peran media dalam konstruksi politik internasional dapat dilihat dari gelombang protes pro-Palestina di media sosial belakangan ini yang memicu demonstrasi fisik di berbagai negara dunia yang semakin menekan posisi hegemoni Israel. Greta Thunberg, aktivis lingkungan, juga memanfaatkan media dan online activism untuk membentuk diskursus publik tentang urgensi krisis iklim. Hasilnya, ia berhasil mempengaruhi pemerintah dunia untuk memprioritaskan isu krisis iklim dalam agenda mereka.
Peran media dalam pembentukan diskusus juga berpotensi besar menyelesaikan sengketa LCS sekaligus melindungi kedaulatan Indonesia di wilayah tersebut. Sebagai langkah awal, kita perlu mengidentifikasi diskursus yang telah dikonstruksi Tiongkok dan negara yang berseteru baik lewat media atau pernyataan resmi pemerintah. Contohnya, bagaimana Tiongkok pada tahun 2016 menyatakan secara terbuka bahwa perairan Natuna adalah wilayah penangkapan ikan bagi negara mereka sejak dari dulu (traditional Chinese fishing grounds). Kemudian, media massa Tiongkok seperti China Daily berulang kali merilis artikel bahwa catatan dan bukti sejarah adalah “the most important legal ground” bagi klaim teritorial sebuah negara.
ADVERTISEMENT
Counter argument atas diskursus tersebut dapat digalakkan dan dipromosikan secara intensif di media negara-negara ASEAN, hingga pada akhirnya terbentuk “sistem pengetahuan” dan persepsi masyarakat regional yang solid dan konsisten tentang pentingnya menjaga kedaulatan politik, ekonomi, dan menghormati hukum internasional yang sudah ada. Bagi Indonesia, kesadaran yang perlu ditanamkan adalah menghindari perang terbuka di halaman sendiri. Cepat atau lambat, tekanan publik yang meluas dapat memberikan sense of urgency secara regional untuk menyelesaikan sengketa.
Sebagaimana pernyataan Menko Polhukam Hadi Tjahjanto, Indonesia berambisi menjadikan LCS sebagai “sea of peace” sesuai amanat UUD 1945. Selain menghindari konflik berkepanjangan di teras sendiri, Indonesia juga ingin mempertahankan hak berdaulat atas ZEE di wilayah LCS. Oleh karena itu, strategi pembangunan diskursus oleh media massa sebagai instrumen Track Two diplomacy harus menjadi prioritas. Konstruksi diskursus tidak hanya dapat menyatukan suara negara-negara ASEAN, tetapi juga memobilisasi dukungan global agar tidak terjadi pelanggaran hukum internasional di LCS.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, resolusi konflik tidak bisa dijalankan oleh pemerintah atau institusi TNI seorang diri, tetapi juga aktor informal dan masyarakat sipil akar rumput. Sebab, hanya lewat upaya kolaboratif-lah perdamaian dan perubahan besar dapat ditegakkan dalam sengketa LCS.