Konten dari Pengguna

Kota Depok: Dari Perkebunan Kolonial Menjadi Kota Komuter yang Dinamis

Kitty Katherina
Seorang peneliti sosial di BRIN dan seorang Ibu yang suka jalan-jalan.
11 Oktober 2024 20:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kitty Katherina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa hari terakhir saya berkesempatan bertemu dan berbincang dengan beberapa teman yang lahir dan besar di Kota Depok. Sembilan tahun menjadi komuter Depok-Jakarta, saya hanya mengenal baik jalur dari sekitar Stasiun Depok Lama hingga Gatot Subroto, Jakarta. Melalui obrolan sederhana tersebut, saya tertarik untuk menelusuri sejarah dan cerita dari Kota Depok.
ADVERTISEMENT
Secara historis, Depok awalnya merupakan perkebunan kopi yang dimiliki oleh VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Sebagai tanah partikelir, tanah yang diperjualbelikan sekaligus beserta penduduk yang berada di tanah tersebut, pada tahun 1679, perkebunan kopi ini dibeli oleh Cornelis Chastelein, seorang pedagang dan mantan pegawai VOC. Chastelein kemudian mengembangkan berbagai jenis perkebunan lainnya di Depok, dengan salah satu tanaman andalannya adalah belimbing. Inilah yang kemudian menjadi asal mula Depok dijuluki sebagai “Kota Belimbing”, meskipun saat ini pohon belimbing sudah sulit ditemui.
Perkebunan Depok kemudian dikelola oleh para budak yang dibawa oleh Chastelein dari wilayah timur Indonesia. Sekitar 150 budak yang nantinya diberikan kebebasan untuk mengelola 1.244 hektar lahan dengan syarat mereka harus memeluk agama Kristen. Para mantan budak yang terbagi ke dalam 12 marga tersebut berhasil mengubah Depok menjadi daerah yang subur dan berkembang. Nama-nama marga tersebut adalah Jonathans, Soedira, Laurens, Bacas, Loen, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob dan Zadokh (Naredi, dkk., 2021) yang dikenal dengan sebutan "Belanda Depok", yaitu orang pribumi, pekerja Cornelis Chastelein yang berkehidupan layaknya orang Belanda. Mereka bersekolah di sekolah Belanda, berpakaian seperti orang Belanda, dan menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa sehari-hari. Sebelum kemerdekaan Indonesia, Depok telah memiliki sistem pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh seorang Presiden. Beberapa literatur menyebutkan bahwa DEPOK merupakan akronim dari “De Earste Protestante Organisatle van Kristenen” yang berarti “Organisasi Kristen Protestan Pertama”.
ADVERTISEMENT
Hingga kini, peninggalan zaman kolonial masih bisa ditemukan di Jalan Pemuda. Beberapa di antaranya adalah dua bangunan bekas pemerintahan Gementee Depok, bekas Rumah Sakit Harapan yang dulunya adalah bekas kantor Presiden Depok, dan rumah keluarga M.C. Jonathans, presiden terakhir Kota Depok. Wilayah Jalan Pemuda dan sebagian Jalan Siliwangi ini merupakan kawasan kota tua Depok. Jika dibandingkan dengan kota besar lain seperti Bandung, Surabaya dan Jakarta, kota tua Depok terlihat berbeda. Di kota-kota besar, kota tua umumnya merupakan kawasan perdagangan lama yang didominasi oleh etnis Tionghoa atau yang sering disebut Kawasan Pecinan. Sementara di Depok, kota tuanya lebih merupakan kompleks perumahan peninggalan kolonial, tanpa jejak kawasan Pecinan.
Bangunan Bekas Kantor Presiden Depok dan RS Harapan sekaligus Titik Nol Kota Depok. Sumber: dokumentasi pribadi.
Dalam Buku Berkembang dalam Bayang-bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950 - 1990an oleh Tri Wahyuning M Irsyam dan skripsi Rian Timadar, Persebaran Data Arkeologi di Permukiman Depok Abad 17-19 M: sebagai Kajian Awal Rekonstruksi Sejarah Permukiman Depok, disebutkan bahwa ketika Depok mulai berkembang sebagai kawasan perkebunan, Chastelein membangun pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para pekerja perkebunan. Para pedagang Tionghoa, terutama dari Glodok, memanfaatkan kesempatan itu untuk berjualan, namun mereka hanya diizinkan berdagang pada siang hari. Menjelang malam, mereka harus meninggalkan Kota Depok. Disebutkan bahwa Chastelein tidak menyukai beberapa kebiasaan buruk para pedagang Tionghoa saat itu, seperti berjudi dan menggunakan candu. Karena jarak Glodok yang cukup jauh, banyak pedagang yang memilih tinggal sementara di sekitar Kampung Bojong, dekat rumah tua Pondok Cina. Rumah tua yang menjadi penanda kawasan Pondok Cina tersebut berada di antara Mall Margo City dan Margo Hotel, yang saat ini menjadi lokasi salah satu gerai kopi terkenal, Starbucks.
Rumah Tua Pondok Cina diantara Mall Margo City dan Margo Hotel. Sumber: dokumentasi pribadi.
Pada masa kemerdekaan, situasi di Depok berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya. Tidak terlihat bendera merah putih berkibar, tidak terdengar seruan kemerdekaan di kediaman Belanda Depok (Wenri, 2011). Hal ini memicu kemarahan warga setempat dan terjadilah peristiwa Gedoran Depok. Pertempuran pun antara tentara pemerintahan Indonesia dengan Belanda Depok untuk memperebutkan wilayah Depok ini. Pada akhirnya, pada tahun 1953, tanah partikelir Depok secara resmi diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Depok memulai babak baru sebagai bagian dari Wilayah Republik Indonesia dengan status kecamatan, bagian dari Kabupaten Bogor.
ADVERTISEMENT
Kedekatan dengan Ibukota Jakarta membuat wilayah ini direncanakan sebagai kawasan perumahan bagi para pekerja DKI Jakarta (dormitory town) yang tidak mampu membeli rumah di pusat kota. Pada tahun 1976, Perum Perumnas membangun Perumnas I di Kecamatan Beji, yang merupakan perumnas pertama di Indonesia (Santosa dan Noviyanti, 2020). Kecamatan Beji berbatasan langsung dengan Jakarta. Perumnas ini tidak hanya diperuntukkan untuk pegawai negeri sipil (PNS) Jakarta saja tetapi juga profesi lainnya sesuai dengan kemampuan finansial mereka. Pembangunan Perumnas I ini merupakan salah satu titik awal perkembangan Kota Depok.
Seiring berjalannya waktu, Depok terus berkembang pesat. Pembangunan perumahan semakin padat, diikuti dengan tumbuhnya berbagai kegiatan ekonomi penunjangnya. Pada 27 April 1999, Depok resmi ditetapkan sebagai Kotamadya, setelah sebelumnya selama 17 tahun sebagai kota administratif. Ketika ditetapkan menjadi kota otonom, Depok memiliki enam kecamatan, yaitu Kecamatan Beji, Pancoran Mas, Sukmajaya, Limo, Cimanggis, dan Sawangan. Sensus Penduduk tahun 2000, sensus pertama Depok sebagai kota otonom, menunjukkan jumlah penduduk Kota Depok sudah mencapai 1,14 juta jiwa. Sensus selanjutnya, yaitu tahun 2010 dan 2020 jumlah penduduk Kota Depok semakin meningkat, yaitu 1,74 juta jiwa dan 2,12 juta jiwa secara berurutan.
ADVERTISEMENT
Sejak awal, Kota Depok memang direncanakan sebagai kota perumahan bagi pekerja Jakarta sehingga tidak mengherankan jika jumlah komuter Depok-Jakarta sangat tinggi. Statistik mencatat, Kota Depok merupakan kota dengan persentase komuter dibandingkan dengan jumlah penduduknya terbesar dibandingkan wilayah lain di Jabodetabek. Jumlah komuter Kota Depok mencapai 485.355 merupakan 24,5% dari keseluruhan penduduk Kota Depok berusia di atas 5 tahun. Disusul Kota Bekasi dan Kota Tangerang Selatan sebesar 19,2% dan 18,5% secara berurutan. Sebagian besar komuter Depok menuju Jakarta Selatan (42,6%), diikuti Jakarta Pusat(14,2%) dan Jakarta Timur (12,4%).
Transformasi Depok dari perkebunan kopi di era kolonial menjadi kota yang ramai dan padat ini merupakan hal yang unik dan memiliki nilai sejarah. Meskipun telah menjadi kota otonom dengan jumlah penduduk yang sangat besar, 2,15 juta jiwa pada tahun 2023, Kota Depok tetap tidak bisa dipisahkan dari Jakarta. Secara administratif, Depok memang bagian dari Provinsi Jawa Barat tetapi secara fisik, kota ini sangat menyatu dengan Jakarta. Tingginya mobilitas penduduk Depok ke Jakarta tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan kota, sehingga mempertimbangkan dinamika yang terjadi di Kota Jakarta sangat penting di dalam perencanaan masa depan Kota Depok. Identitas Depok sebagai pusat permukiman menjadikannya bagian integral dari lanskap perkotaan wilayah Jabodetabek.
ADVERTISEMENT