Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Korupsi Kembali Menjadi Momok
29 Desember 2024 17:53 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Kosmas Mus Guntur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Kosmas Mus Guntur, Praktisi Hukum
Kasus korupsi di Indonesia memiliki sejarah panjang, dengan
ADVERTISEMENT
banyaknya kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi negara, pengusaha, dan birokrasi. Korupsi telah menjadi masalah sistemik yang menghambat pembangunan dan kemajuan sosial-ekonomi negara ini. Hari ini, Korupsi kembali menjadi momok setelah Kasus korupsi yang melibatkan Harvey Moeis kembali menjadi sorotan publik setelah ia dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 210 miliar. Kasus ini sangat merugikan negara, dengan kerugian yang disebut mencapai Rp 300 triliun, sehingga menjadi salah satu kasus korupsi terbesar di Indonesia, meskipun telah ada berbagai upaya pemberantasan.
Disisi lain, korupsi di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan Belanda, dan terus berlanjut hingga saat ini. Masa penjajahan Belanda, korupsi sudah menjadi bagian dari sistem pemerintahan, dengan praktik pungutan liar dan suap yang dilakukan oleh pegawai pemerintah Belanda dan penguasa lokal.
ADVERTISEMENT
Meski Indonesia baru merdeka namun masalah korupsi sudah ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia di era Orde Lama, beberapa kasus korupsi diantaranya: Pada 11 April 1960, dalam Koran Pantjwarta terdapat berita tentang 14 pegawai negeri yang terbukti melakukan tindakan korupsi, pada tahun 1961 juga terungkap sebuah kasus korupsi yang melibatkan Yayasan Masjid Istiqlal, Pada 25 Januari 1964 terdapat berita mengenai kasus korupsi di RSUP Semarang, pada 24 Maret 1964, terdapat sebuah berita korupsi dalam sebuah perusahaan semen, pada tahun 1962, terungkap sebuah kasus korupsi dalam pembangunan "Press House".
Tidak berhenti sampai disitu, masa pemerintahan Presiden kedua Indonesia, Soeharto,korupsi semakin sistematis, dengan pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) oleh Soeharto. Sebut saja lima kasus korupsi besar di masa Orde Baru antara lain, Kasus Coopa, Kasus Badan Urusan Logistik, Kasus PERTAMINA, Kasus Bapindo, terkhir Korupsi Soeharto.
ADVERTISEMENT
Temuan Transparency International 2004,mantan Presiden Soeharto ditempatkan sebagai Presiden terkorup sedunia dengan total perkiraan korupsi sebesar 15-25 miliar dolar AS. Dana tersebut digunakan untuk membiayai tujuh yayasan milik Soeharto; Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung No 2896 K/Pdt/2009 tanggal 28 Oktober 2010, memutuskan Yayasan Supersemar dihukum mengganti kerugian negara sebesar 315.002.183 US dolar dan Rp.139.229.178 atau sekitar Rp 3,07 triliun. Namun, hingga kini putusan tersebut belum dieksekusi lantaran aset Yayasan Supersemar tidak mencukupi untuk membayar ganti rugi.
Setelah jatuhnya Soeharto, berbagai upaya dilakukan untuk memberantas korupsi, termasuk pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002. Pada tahun 2023, tercatat ada 791 kasus korupsi dengan jumlah tersangka mencapai 1.695 orang. Beberapa kasus korupsi dengan kerugian negara terbesar, antara lain, Kasus penyerobotan lahan negara untuk kelapa sawit, Pengolahan kondensat ilegal di kilang minyak di Tuban, Jawa Timur, dan Pengelolaan dana pensiun di PT Asabri. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa total kerugian negara akibat korupsi di Indonesia sepanjang 2013 hingga 2022 mencapai Rp238,14 triliun.
ADVERTISEMENT
Persentase Kasus Korupsi di Indonesia
Data yang dirilis melalui laman kpk.go.id tercata pada periode 2020-2024, KPK telah menangani 2.730 perkara. Selama 5 tahun, KPK mencatat telah melakukan penyelidikan (541 perkara); penyidikan (622 perkara); penuntutan (510 perkara); perkara yang berkekuatan hukum tetap/inkracht (533 perkara;) dan pelaksanaan eksekusi (524 perkara). Dengan jumlah tersebut, selama kurun 2020-2024 KPK telah menetapkan tersangka sebanyak 691 tersangka, dengan 36 kali kegiatan tangkap tangan dan 29 perkara TPPU.
Berdasarkan data per 16 Desember 2024, KPK telah melakukan serangkaian upaya penindakan, yang terdiri atas penyelidikan sebanyak 68 perkara; penyidikan (142 perkara); penuntutan (79 perkara); perkara yang berkekuatan hukum tetap/inkracht sejumlah 83 perkara; dan pelaksanaan eksekusi sebanyak 99 perkara. Dalam periode 2020-2024, KPK juga telah menangkap 6 orang yang termasuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO). Saat ini, KPK masih terus melakukan pencarian untuk 1 orang DPO tahun 2017 dan 4 orang DPO pada 2020-2024. Yang menarik dari data ini adalah hingga hari ini, masih ada yang berstatus DPO!
ADVERTISEMENT
Selain itu, KPK juga mencatat beberapa kasus korupsi yang terjadi di sektor pemerintahan, terutama dalam hal pengadaan barang dan jasa serta proyek pembangunan, sering menjadi target utama kasus korupsi. KPK mencatat bahwa sekitar 40-50% dari kasus korupsi yang terungkap terkait dengan sektor ini. Untuk kasus korupsi di kalangan anggota DPR dan legislatif daerah sangat tinggi, dengan beberapa kasus besar melibatkan suap terkait dengan pengesahan anggaran dan kebijakan. Kasus-kasus di kalangan legislatif bisa mencakup sekitar 20-30% dari kasus yang ditangani KPK.
Selain itu, ternyata kasus korupsi terjadi juga di Sektor Swasta dan Bisnis. Terdapat banyak hubungan antara sektor swasta dan pejabat pemerintah yang memungkinkan terjadinya korupsi, terutama dalam proyek-proyek besar dan pengadaan barang. Kasus-kasus yang melibatkan pihak swasta dapat mencakup sekitar 15-20% dari keseluruhan kasus. Sementara di Pemerintahan Daerah, korupsi di tingkat daerah sering kali melibatkan penyalahgunaan dana publik untuk proyek-proyek lokal dan suap dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Sebagian besar kasus yang terungkap di daerah ini berfokus pada proyek-proyek infrastruktur dan pembagian anggaran, mencakup sekitar 10-15% dari kasus yang ada.
ADVERTISEMENT
Data diatas menjadi salah satu indikator ketidakseriusan pemerintah dalam hal menangani kasus korupsi yang semakin hari semakin menambah angka persentasi korupsi. Meskipi saat ini, pemerintah telah mengambil berbagai langkah untuk memberantas korupsi, termasuk pembentukan KPK dan pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Meskipun demikian, tantangan besar tetap ada, karena sistem peradilan yang terkadang lemah dan budaya yang belum sepenuhnya berubah. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dan upaya penegakan hukum yang lebih kuat, diharapkan Indonesia dapat terus mengurangi prevalensi korupsi di masa depan.
Pengampunan Koruptor
Membaca data diatas, tren korupsi di Indonesia grafiknya semakin naik. Betapa tidak, peningkatan kasus korupsi yang terjadi secara konsisten menunjukkan bahwa berbagai upaya yang dilakukan pemerintah kian menemui jalan buntu. Nah, pemerintah hari ini justru membacanya terbalik. Belum lama ini, Presiden Prabowo Subianto mengatakan ingin memberikan kesempatan kepada koruptor untuk bertobat. Dia menuturkan pemerintah akan memaafkan koruptor yang mengembalikan kerugian negara, dan identitasnya tidak akan dipublikasikan. Hal ini, dia sampaikan di hadapan mahasiswa Indonesia di Gedung Al-Azhar Conference Center, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Rabu, 18 Desember 2024.
ADVERTISEMENT
Meski mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk dari Supratman Andi Agtas, kader Partai Gerindra yang menjabat Menteri Hukum makin ngawur dan tidak terarah. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, Pengembalian Aset Lebih Baik dari Sekadar Menghukum Koruptor.
Wacana mengenai pengampunan terhadap pelaku korupsi atau amnesti bagi mereka yang sudah menjalani proses hukum sangat kontroversial, karena bisa dianggap sebagai bentuk kompromi terhadap hukum yang berlaku. Jika negara mengeluarkan kebijakan pengampunan bagi koruptor, hal tersebut bisa menciptakan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum dan menurunkan moralitas publik. Di sisi lain, tanpa penegakan hukum yang tegas, justru akan sulit menciptakan sistem yang adil dan bersih dari korupsi lebih khusus lagi melemahkan KPK!
Di Cina, pelaku koruptor di hukum mati dengan jumlah eksekusi terbanyak pada tahun 2015, bersama dengan Iran dan Pakistan. Namun, data mengenai eksekusi ini sangat tertutup, sehingga sulit mendapatkan angka pasti. Pada tahun 2011, Xu Maiyong, mantan wakil wali kota Hangzhou, dan Jiang Renjie, mantan wakil wali kota Suzhou, dihukum mati setelah dinyatakan bersalah menerima suap senilai US$50 juta atau sekitar Rp700 miliar. Kasus terbaru adalah eksekusi mati terhadap Li Jianping, mantan sekretaris Partai Komunis China, yang terbukti melakukan tindak korupsi senilai lebih dari 3 miliar yuan (sekitar Rp6,6 triliun). Selain itu, dibeberapa negara juga menerapkan hal yang sama seperti di Korea Utara, Irak, Iran, Thailand, Laos, Vietnam, Myanmar, dan Maroko.
ADVERTISEMENT
Nah, di Indonesia tercatat, pada tahun 2012, sekitar 130 terpidana mati. Namun, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menolak wacana hukuman mati, menegaskan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang tidak dapat diganggu gugat.
Wacana pengampunan bagi pelaku korupsi, seperti yang mungkin dibahas dalam konteks kasus Harvey Moeis, menimbulkan dilema besar. Sementara negara sangat membutuhkan supremasi hukum untuk memberantas korupsi dan melindungi kepentingan masyarakat, kebijakan pengampunan dapat melemahkan upaya tersebut. Maka dari itu, Indonesia harus memilih jalan yang memastikan penegakan hukum yang tegas dan efektif, yang dapat memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap negara dan pemerintah. (*)