Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Strategi Penyanderaan Elite Partai hingga Dinasti Politik Jokowi
29 Agustus 2024 6:24 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Kosmas Mus Guntur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Joko Widodo atau akrab disapa khalayak pada umumnya Jokowi, sejak awal sudah diprediksi, suatu saat akan menjadi Presiden Republik Indonesia (RI). Kemunculan nama Jokowi di pentas politik nasional merupakan hasil dari perubahan politik yang memungkinkan pemilihan presiden (eksekutif) secara langsung.
ADVERTISEMENT
Dikatakan pemilihan secara langsung adalah sebuah sistem politik untuk memilih pemegang jabatan politik di mana pemilih secara langsung memberikan suaranya untuk suatu kandidat, pasangan calon, atau partai politik yang mereka inginkan agar mereka tersebut dapat terpilih.
Secara normatif, indonesia telah berupaya untuk mewujudkan pemilihan eksekutif secara demokratis sesuai amanat UU dan nilai-nilai yang termaktub dalam sistem demokrasi pancasila yang merupakan sesuai dengan kepribadian bangsa kita.
Kehadiran Jokowi atau yang sering muncul dalam gimik politik “tukang kayu” yang dialamatkan kepadanya merupakan sebuah fenomena politik yang menarik untuk di teliti dengan menggunakan pendekatan paradigma politik.
Biasanya, politisi nasional itu lahir dari kalangan atau rahim elite politik yang memiliki garis DNA politik terhadap tokoh tertentu atau dengan kata lain trah politik, hingga lahir dari dinasti politik. Dalam sistem demokrasi kita saat ini, tidak salah kalau yang terpilih adalah anak atau cucu dari seorang tokoh atau pejabat atau bekas pejabat sebelumnya. Hal ini dapat kita jumpai pada era orde baru, dan era reformasi. Pascareformasi pun, politisi-politisi nasional itu lahir dari rahim sipil ataupun kalangan militer. Jokowil ah yang lahir dari rahim rakyat jelata?
ADVERTISEMENT
Memasuki era reformasi, sistem politik indonesia mengalami perubahan yang sangat besar (signifikan) baik pada tingkat daerah maupun nasional. Di mana, sistem demokrasi kita kembali pada rules yang sebenarnya. Abraham Lincoln adalah salah satu ahli yang mendefinisikan demokrasi sebagai “government of the people, by the people, and for the people”. Lincoln mengatakan bahwa demokrasi melibatkan partisipasi aktif rakyat dalam pemerintahan dan mengutamakan kepentingan rakyat.
Secara umum, demokrasi diartikan sebagai sistem pemerintahan di mana kekuasaan berada di tangan rakyat. Memasuki era kontemporer, Indonesia menganut sistem demokrasi pancasila yang merupakan sesuai dengan kepribadian bangsa. Demokrasi Pancasila mengandung nilai-nilai dan tujuan yang tertuang dalam sila-sila Pancasila.
Penyanderaan Elite Partai Politik
Pada tahun 2014, Jokowi atau si “tukang kayu”, betigu julukan yang dilontarkan oleh elite politik yang tidak segerbong, jadi Presiden RI. terpilihnya Jokowi pada Pilpres 2014 menandakan kemenangan rakyat. Hal ini seolah mempertegas posisi politiknya bahwa ia tidak lahir dari elite partai politik atau ada embel-embel politik lain yang melekat pada dirinya.
ADVERTISEMENT
Jokowi lahir dari rahim rakyat jelata. Diketahui, sebelum dilantik sebagai presiden Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2014, Jokowi adalah Gubernur DKI yang menjabat selama kurang lebih dua tahun (2012-2014), dan Wali Kota Solo (2005-2012). Jauh sebelum ia menjadi pejabat politik, Jokowi adalah pengusaha mebel di kampung halaman Solo.
Pemilu 2014, bisa dikatakan pemilu ‘oleh rakyat dan untuk rakyat’. Indikatornya adalah rakyat dapat menentukan pemimpin yang sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Periode awal jokowi terpilih adalah sebagai antitesis dengan gagasan bernas Socrates tentang penguasa The Republic karya Plato yang berisi pandangan Socrates tentang demokrasi yang menjabarkan perspektif sang filsuf tentang bagaimana seharusnya seorang penguasa dan bagaimana ia bisa berkuasa. Bagi Socrates, seorang penguasa haruslah orang yang dipilih bukan hanya karena dia populer.
ADVERTISEMENT
Kalau ditarik dari pandangan Socrates ini, tahun 2014, posisi Jokowi tidak terlalu populer amat. Litbang Kompas menyelenggarakan sejumlah survei nasional untuk menjajaki aspirasi munculnya pemimpin nasional 2014. Hasil survei tersebut diturunkan dalam tiga tulisan.
Survei opini publik yang dilakukan secara berkala (longitudinal survey) terhadap 1.400 responden calon pemilih dalam Pemilu 2014 yang terpilih secara acak di 33 provinsi. Besarnya proporsi pemilih yang sudah memiliki preferensi terhadap sosok calon presiden secara signifikan hanya bertumpu kepada lima nama. Di antaranya: Joko Widodo, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Megawati Soekarnoputri, dan Jusuf Kalla.
Pada survei terakhir (Juni 2013), lima sosok itu mampu menguasai dua pertiga responden. Sisanya (18,2 persen) tersebar pada 16 sosok calon presiden lainnya. Saat ini, tingkat keterpilihan Jokowi mencapai 32,5 persen. Proporsi itu meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tingkat keterpilihannya pada Desember 2012.
ADVERTISEMENT
Pada Pilpres 2014 yang dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014 lalu terjadi head to head antara Jokowi-JK dan Prabowo-Hata. Jokowi-JK diusung oleh PDI Perjuangan, NasDem, PKB, dan Partai Hati Nurani Rakyat. Sementara Prabowo-Hatta diusung oleh Partai Gerindra, PAN, PKS, dan PPP. Suksesi politik itu, dimenangkan oleh si julukan tukang kayu.
Memasuki tahun politik pada Pilpres 2019, Jokowi dan Prabowo kembali head to head. Konstelasi politik nasional pada waktu itu, sangat panas. Pasalnya, isu politik identitas pada pilpres 2019 menjadi sorotan banyak pihak. Salah satu Grand Issue yang mengusik Jokowi adalah isu bahwa ia bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Semua isu adalah bentuk pelemahan terhadap Jokowi. Akan tetapi, di penghujung pertarungan pilpres 2019, lagi-lagi si tukang kayu kembali mendudukan tampuk kekuasaan pada periode ke-2.
ADVERTISEMENT
Untuk kedua kalinya, tanggal 20 Oktober menjadi angka “keramat” bagi Jokowi. Pasalnya, 20 Oktober 2014, Jokowi dilantik untuk Presiden RI Jilid 1 dan 20 Oktober 2019, ia kembali dilantik untuk Presiden RI Jilid 2. Ini menandai secara resmi dimulainya masa jabatan kedua dan terakhir Joko Widodo sebagai Presiden dan masa jabatan pertama Ma'ruf Amin sebagai Wakil Presiden Indonesia. Jokowi-Ma’ruf meraih suara 55,50%. Kemenangan itu sempat digugat Prabowo-Sandiaga ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun akhirnya ditolak.
Memasuki periode kedua, Jokowi mengubah strategi dan taktik agar kekuasaan dan dinasti politiknya langgeng, maka ia memperluas koalisi partai-partai politik pendukung pemerintahannya. Hal ini terlihat rivalitas terberat yaitu Prabowo Subianto berhasil digaet, disusul PAN dan Partai Demokrat masuk dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM).
ADVERTISEMENT
Dinasti Politik Jokowi
Dari politik populis hingga politik oportunis! (populist politics to opportunist politics) Pada periode pertama dan kedua, Jokowi menggunakan strategi politik lokal (populis). Ia sering melakukan blusukan ke akar rumput (grassroot), hingga memenangkan hati publik. Jika tidak terhalang aturan, ia pasti terpilih pada Pemilu Serentak 2024. Betapa tidak, popularitasnya makin melesit.
Data survei Litbang Kompas yang di release Antara pada Jumat, 21 Juni 2024, tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin meningkat dari angka 73,59 persen pada Desember 2023 menjadi 75,6 persen pada Juni 2024. Dengan modal popularitas yang cukup besar dan jika tidak terhalang aturan, maka ia dapat terpilih kembali.
Kali ini, penulis sepakat dengan gagasan Socrates tentang demokrasi. Socrates mengatakan “seorang penguasa haruslah orang yang dipilih bukan hanya karena dia populer,” kata filsuf Yunani kuno yang berpengaruh dalam sejarah dunia di akhir kehidupannya begitu tragis.
ADVERTISEMENT
Manifesto KIM yang dipimpin langsung Jokowi melahirkan pasangan Prabowo Gibran pada Pilpres 2024. Meski awalnya, Jokowi menyampaikan secara terbuka kepada awak media bahwa, jika dirinya pensiun nanti, ia akan kembali ke kampung halamannya di Solo. Akan tetapi muslihatnya tetap tercium, ia melakukan silence operasi politik (Gerpol) melalui KIM. Dan, pada akhirnya, Gibran Rakabuming Raka menyusul jejak ayahnya.
Sebelum dan sudah deklarasi Prabowo-Gibran, isu-isu politik pun mulai berseliweran pada ruang diskursus publik. Salah satunya adalah “dinasti politik”. Dikatakan dinasti politik, secara harfiah dinasti politik dapat diartikan politik di mana jabatan publik diampu secara turun temurun tanpa adanya jeda dari pihak lain.
Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, Tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional, yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi.
ADVERTISEMENT
Sadis! Rupanya upaya penyanderaan elite partai-partai politik yang dilakukan Jokowi masih terus berlanjut. Strategi dan taktik politik “Raja Jawa” yang dikatakan Bahlil Lahadalia di dalam pidato perdananya setelah resmi ditunjuk sebagai ketua umum Partai Golkar rupanya sangat manjur. Dikatakan manjur karena hampir semua elite-elite partai politik itu masuk dalam koalisi besar dan terkungkung oleh satu orang yaitu Raja Jawa.
Satu persatu partai politik yang semula menjadi lawan tanding pada gelanggang politik, berubah menjadi satu barisan. Menariknya, segala muslihat Jokowi terutama untuk mamasuki masa transisi kepemimpinan 2024 yang di dalam struktur dan sistem ada putra sulungnya Gibran Rakabuming Raja.
Betapa rapuhnya tiang demokrasi kita. Bahkan hampir rubuh, akibat kartel politik berkolusi dari dalam istana. Bergabungnya koalisi partai yang besar, dari KIM hingga KIM Plus. Ada 37 provinsi, kemudian 508 kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak pada 27 November 2024.
ADVERTISEMENT
Per hari ini, fokus perhatian politik masyarakat tertuju pada pilkada Jakarta. Pasalnya, pascadeklarasi dukungan partai KIM Plus kepada Ridwan Kamil dan Suswono, tiba-tiba muncul calon independen yang diumumkan secara resmi oleh KPU Jakarta.
Bak, Bim salabim abrakadabra! Pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana Abyoto dinyatakan lolos sebagai calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta melalui jalur independen. Namun, pencalonan ini menimbulkan kehebohan karena muncul laporan bahwa Kartu Tanda Penduduk (KTP) digunakan tanpa izin untuk mendukung pasangan tersebut. Lagi-lagi, strategi ini sangat manjur, bukan? Yah itulah politik, segala taktik dan daya digunakan untuk memenuhi hasrat kekuasaan.
Demokrasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Maka, mari kita kawal terus terhadap pelemahan demokrasi. Titik klimaks dari silence operation ini adalah Pilpres 2029. (*)
ADVERTISEMENT