Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Urgensi Pembentukan Undang-Undang Contempt of Court di Indonesia
14 Mei 2025 10:11 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Kosmas Mus Guntur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Oleh: Kosmas Mus Guntur
Mahfud MD, dalam tulisannya yang dimuat di media daring, menyoroti pentingnya pembentukan Undang-Undang (UU) khusus mengenai contempt of court di Indonesia. Menurutnya, meskipun beberapa ketentuan terkait telah ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pengaturannya masih bersifat umum dan tidak spesifik. Hal ini menyebabkan kurangnya kepastian hukum dalam menanggapi tindakan yang merendahkan martabat lembaga peradilan.
ADVERTISEMENT
Contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan merujuk pada perbuatan, tingkah laku, sikap, atau ucapan yang dapat merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan lembaga peradilan. Dalam Naskah Akademis Penelitian Contempt of Court 2002, beberapa bentuk tindakan yang termasuk dalam kategori ini antara lain:Berperilaku tercela dan tidak pantas di pengadilan (misbehaving in court); Tidak mematuhi perintah pengadilan (disobeying court orders); Menyerang integritas dan sifat tidak memihak pengadilan (scandalising the court); Menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan (obstructing justice); Melakukan tindakan penghinaan terhadap pengadilan melalui pemberitahuan atau publikasi (sub-judice rule)
Kekosongan Hukum
Meskipun ketentuan mengenai penghinaan terhadap pengadilan telah diatur dalam beberapa pasal dalam KUHP dan KUHAP, seperti Pasal 207 KUHP yang mengatur penghinaan terhadap penguasa atau badan umum, serta Pasal 217 dan 218 yang terkait gangguan terhadap persidangan, pengaturannya dinilai masih terlalu umum dan belum menjawab kompleksitas permasalahan contempt of court di era modern ini.
ADVERTISEMENT
Pasal-pasal tersebut tidak membedakan secara tegas antara kritik yang sah terhadap lembaga peradilan sebagai bagian dari kontrol publik dengan tindakan yang benar-benar mengganggu jalannya proses hukum atau merendahkan martabat hakim. Akibatnya, aparat penegak hukum kesulitan menindak kasus-kasus penghinaan terhadap pengadilan secara proporsional dan berbasis kepastian hukum.
Ketiadaan UU khusus juga membuat respon terhadap insiden-insiden yang mencoreng wibawa pengadilan menjadi inkonsisten. Dalam praktiknya, tindakan intimidasi terhadap hakim, kericuhan di ruang sidang, hingga penyebaran informasi yang menyesatkan terkait perkara yang sedang berjalan tidak dapat secara efektif ditindaklanjuti.
Sebagai pembanding, negara-negara dengan sistem hukum maju seperti Inggris dan Amerika Serikat memiliki ketentuan contempt of court yang secara tegas melarang tindakan mengganggu proses peradilan, termasuk penyiaran opini publik yang berpotensi memengaruhi keputusan hakim. Di Inggris, pelanggaran contempt of court dapat dikenai hukuman penjara hingga dua tahun tanpa melalui proses juri.
ADVERTISEMENT
Indonesia sempat mencoba mengadopsi semangat ini dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Salah satunya melalui Pasal 281 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang merendahkan kehormatan atau martabat pengadilan dapat dipidana dengan penjara paling lama satu tahun atau denda maksimal Rp10 juta. Namun, rumusan pasal ini justru menuai kritik.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil, termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), menilai bahwa klausul dalam RKUHP berpotensi digunakan secara represif untuk membungkam kritik terhadap institusi peradilan. Misalnya, peliputan pers atas proses persidangan yang kritis terhadap kinerja hakim atau jaksa bisa dianggap sebagai penghinaan, padahal itu merupakan bagian dari hak publik untuk tahu.
Kekhawatiran serupa juga disuarakan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menyebut RKUHP belum membedakan secara jelas antara penghinaan yang merusak integritas lembaga peradilan dan ekspresi publik yang sah. Dengan demikian, alih-alih melindungi pengadilan dari pelecehan, pasal ini justru bisa mengancam transparansi dan akuntabilitas peradilan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Ketiadaan UU yang spesifik dan proporsional membuka ruang abu-abu yang rawan disalahgunakan. Sebaliknya, keberadaan UU contempt of court yang dirancang dengan pendekatan demokratis akan memperkuat posisi lembaga peradilan, sembari tetap menjamin kebebasan berpendapat dan kontrol publik terhadap proses hukum.
Kasus-Kasus dan UU Khusus
Serangkaian insiden yang melibatkan kekerasan fisik maupun verbal terhadap hakim dan pengadilan dalam beberapa tahun terakhir menjadi alarm keras akan rapuhnya perlindungan hukum terhadap institusi peradilan di Indonesia. Kekosongan hukum terkait contempt of court membuat tindakan penghinaan dan serangan terhadap pengadilan kerap luput dari penanganan hukum yang tegas dan konsisten.
Salah satu kasus yang sempat menghebohkan publik terjadi pada tahun 2005, ketika seorang hakim Pengadilan Agama Sidoarjo ditikam oleh pihak yang tidak puas terhadap hasil putusan perkara. Penyerangan ini berlangsung di ruang sidang, mencoreng marwah institusi pengadilan yang seharusnya menjadi tempat tegaknya hukum dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Delapan tahun kemudian, pada 2013, seorang hakim Pengadilan Negeri Limboto, Gorontalo, menjadi korban penyerangan saat tengah mengendarai kendaraan pribadinya. Kasus ini menimbulkan keprihatinan karena menunjukkan bahwa bahkan di luar ruang sidang, aparat peradilan tidak sepenuhnya aman dari ancaman kekerasan.
Sebuah peristiwa yang menjadi perhatian nasional terjadi pada 23 Desember 2008 di Pengadilan Negeri Poso, Sulawesi Tengah. Seorang jaksa penuntut umum secara emosional menyerang hakim sesaat setelah hakim membacakan putusan bebas terhadap terdakwa. Aksi kekerasan itu terjadi di hadapan publik dan mencerminkan betapa lemahnya pengendalian terhadap emosi dan etika di ruang sidang, serta lemahnya pengaturan hukum untuk menangani insiden semacam ini.
Insiden yang paling baru dan mencolok terjadi pada 18 Juli 2019, saat seorang advokat menganiaya hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan menggunakan ikat pinggang. Peristiwa ini berlangsung dalam sidang terbuka untuk umum saat majelis hakim tengah membacakan putusan. Tindakan tersebut bukan hanya bentuk pelecehan terhadap hakim secara pribadi, tetapi juga simbol penghinaan terhadap proses hukum itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, tidak satu pun dari kasus-kasus tersebut ditindak menggunakan instrumen hukum khusus yang menyasar contempt of court. Mayoritas pelaku hanya dijerat dengan pasal pidana umum seperti penganiayaan, tanpa menyentuh aspek perusakan wibawa pengadilan sebagai lembaga negara.
Bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang telah memiliki UU contempt of court, Indonesia tampak jauh tertinggal. Di Singapura, misalnya, pelecehan terhadap pengadilan dapat langsung diproses melalui pengadilan khusus tanpa menunggu laporan polisi. Di Amerika Serikat, siapapun yang mengganggu jalannya proses persidangan bisa langsung dikenai sanksi, bahkan dikeluarkan dari ruang sidang secara paksa.
Tanpa regulasi yang jelas dan tegas, ruang sidang yang seharusnya menjadi arena pencarian keadilan bisa berubah menjadi tempat intimidasi terhadap hakim, jaksa, maupun pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses hukum. Wibawa dan independensi lembaga peradilan menjadi taruhannya.
ADVERTISEMENT
Serangkaian kasus tersebut menggarisbawahi pentingnya pembentukan Undang-Undang contempt of court yang komprehensif. Regulasi tersebut tidak hanya akan memberikan perlindungan hukum terhadap aparat pengadilan, tetapi juga mempertegas batasan perilaku yang dapat diterima dalam lingkungan yudisial. Dengan demikian, marwah peradilan sebagai penjaga keadilan dapat benar-benar ditegakkan, bukan sekadar retorika dalam teks hukum.
Pendapat Para Ahli dan Praktisi Hukum
Gagasan untuk membentuk Undang-Undang Contempt of Court mendapatkan respons beragam dari kalangan akademisi, praktisi hukum, dan lembaga swadaya masyarakat. Mayoritas menyepakati pentingnya melindungi kehormatan dan integritas lembaga peradilan, namun terdapat perbedaan tajam dalam hal bagaimana aturan tersebut dirancang dan diimplementasikan agar tidak menjadi alat represi baru dalam sistem hukum Indonesia.
Salah satu pendukung kuat pembentukan UU ini adalah Denny Indrayana, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada sekaligus mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM. Menurutnya, contempt of court penting diatur secara tegas dalam bentuk UU tersendiri agar proses peradilan tidak tercederai oleh intervensi, penghinaan, atau intimidasi terhadap hakim dan institusi pengadilan.
ADVERTISEMENT
“Kita butuh UU ini untuk menjaga marwah peradilan. Tapi penggunaannya harus hati-hati, jangan sampai mengkriminalisasi kritik atau mengebiri kebebasan pers,” ujar Denny dalam wawancaranya kepada Hukumonline.
Denny mengingatkan bahwa kritik terhadap proses peradilan, termasuk dari media dan masyarakat sipil, merupakan bagian dari kontrol demokratis dan seharusnya tidak dikategorikan sebagai bentuk penghinaan. Oleh karena itu, UU contempt of court harus disusun dengan parameter yang jelas dan akuntabel, agar tidak disalahgunakan oleh aparat atau lembaga peradilan itu sendiri.
Pandangan yang lebih kritis datang dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Lembaga ini menilai bahwa RUU Contempt of Court yang pernah muncul dalam berbagai rancangan legislasi bersifat terlalu luas dan berpotensi membatasi kebebasan berekspresi, kebebasan pers, serta hak publik untuk mengawasi proses peradilan.
ADVERTISEMENT
Dalam salah satu siaran persnya, ICJR menyatakan:
“RUU ini berpotensi besar menjadi alat pembungkam terhadap kritik yang sah. Ketentuan-ketentuan dalam draf sebelumnya terlalu kabur, multitafsir, dan tidak menunjukkan kehati-hatian dalam menimbang dampaknya terhadap hak asasi manusia.”
ICJR juga menyoroti bahwa banyak praktik contempt of court di negara lain yang bersifat terbatas, hanya digunakan dalam konteks menjaga jalannya persidangan yang adil, bukan untuk membungkam kritik publik. Oleh karena itu, menurut ICJR, Indonesia sebaiknya mengadopsi pendekatan yang ketat dan sempit terhadap definisi contempt, agar tidak terjadi kriminalisasi atas nama menjaga martabat pengadilan.
Di sisi lain, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) telah sejak lama mendesak agar UU ini segera dibentuk. Dalam pernyataannya, IKAHI menilai bahwa lemahnya perlindungan terhadap hakim, baik dari tekanan eksternal maupun serangan langsung di ruang sidang, membuat independensi peradilan terancam. Mereka menegaskan bahwa UU ini bukan untuk melindungi individu, melainkan menjaga institusi peradilan agar tetap menjadi tempat yang netral dan adil dalam menyelesaikan sengketa hukum.
ADVERTISEMENT
Ketegangan antara kebutuhan menjaga kehormatan pengadilan dan perlindungan atas kebebasan sipil mencerminkan tantangan legislasi dalam negara demokratis. Agar tidak menjadi alat pembungkaman, RUU Contempt of Court harus dirancang secara inklusif, dengan melibatkan publik, akademisi, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil dalam proses pembahasannya. Transparansi dan kehati-hatian menjadi kunci agar UU ini tidak berbalik menjadi momok bagi kebebasan sipil, melainkan menjadi fondasi bagi sistem peradilan yang berwibawa dan akuntabel.
Pembentukan UU khusus mengenai contempt of court di Indonesia sangat diperlukan untuk menjaga martabat dan kewibawaan lembaga peradilan. Namun, perlu diingat bahwa pembentukan UU tersebut harus dilakukan dengan hati-hati dan proporsional, agar tidak mengekang kebebasan berpendapat dan mengkritik proses peradilan. Penting bagi pemerintah dan DPR untuk melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat, dalam merumuskan UU ini agar dapat menghasilkan regulasi yang adil dan bermanfaat bagi semua pihak.
ADVERTISEMENT