Berdiam Diri Adalah Perlawanan

Rusda Khoiruz Zaman
Penikmat fiksi karena kenyataan seringkali menyakitkan
Konten dari Pengguna
6 Juli 2022 20:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rusda Khoiruz Zaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perlawanan terhadap penindasan. Sumber: https://pixabay.com/id/photos/kehidupan-hitam-itu-penting-protes-5251408/
zoom-in-whitePerbesar
Perlawanan terhadap penindasan. Sumber: https://pixabay.com/id/photos/kehidupan-hitam-itu-penting-protes-5251408/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Memilih berdiam diri pada situasi-situasi tertentu barangkali bakal dicap sebagai sikap yang apatis, masa bodoh, bahkan a sosial. Bahkan bagi sebagian golongan yang merasa dirinya paling progresif, sikap itu mengandung makna negatif. Apalagi memilih berdiam diri di hadapan kemungkaran seperti penindasan dan kesewenang-wenangan, seolah-olah adalah sikap cari aman tak mau mengambil resiko.
ADVERTISEMENT
Baiklah, Bung! Kita harus melawan dan menyuarakan segala penindasan yang terjadi. Tapi apakah ada jaminan jika kita bergerak dan melawan segala penindasan, dunia akan secara tiba-tiba berubah 360 derajat ke arah yang lebih baik? Tak ada yang tahu. Dari berbagai pengalaman yang telah saya rasakan, terkadang memilih berdiam diri adalah sikap yang paling tepat.
Berdiam diri tak melulu sekedar cari aman. Lebih dari itu, berdiam diri juga merupakan sebuah sikap. Yang saya maksud di sini bukan lah berdiam diri secara total. Sebab dalam kenyataannya memang tak ada seorang pun yang mampu berdiam diri secara total. Setidak-tidaknya dia masih bergerak untuk memenuhi kebutuhan kodratinya seperti makan, minum, buang tai dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Saya membayangkan berdiam diri pada konteks ini serupa sikap Indonesia yang mencetuskan Gerakan Non-Blok di tengah kecamuk perang antara kekuatan Barat dan Soviet. Gerakan Non-Blok bukan lah gerakan yang benar-benar netral. Ia lebih merupakan sebuah sikap politik luar negeri Indonesia kala itu. Artinya, Gerakan Non-Blok adalah blok baru di luar kekuatan Barat maupun Soviet, meski kala itu kita tahu sendiri Indonesia lebih condong ke Soviet.
Saya sering memilih berdiam diri, terutama pasca lengser dari semua kepengurusan organisasi mahasiswa maupun ekstra yang pernah saya ikuti. Ada tawaran untuk melanjutkan ke jenjang lebih lanjut kepengurusan organisasi ekstra, saya iyakan. Tapi saya tetap memilih berdiam diri. Tak banyak ke sana ke mari. Sebelumnya saya memang membayangkan akan menjalani masa-masa akhir studi saya di kampus dengan hidup ugahari bak bijak bestari, namun nyatanya tidak bisa. Saya mesti meralat niat itu.
ADVERTISEMENT
Berdiam diri, seperti yang saya katakan di muka, tak melulu menjamin rasa aman. Sebab meski berdiam diri, tak menutup kemungkinan batang hidung kita tetap akan dituduh sebagai biang keladi keonaran. Pernah suatu ketika saya dianggap bermuka dua. Oleh pihak A dituduh pengepul informasi bagi pihak B. Oleh pihak B dianggap mata-mata bagi pihak A. Hal itu mungkin karena saya mengambil sikap berdiam diri dan dianggap tak jelas.
Dari sini saya pikir rasanya terlalu a politis untuk menyebut berdiam diri adalah sikap cari aman. Berdiam diri, hari ini, bagi saya pribadi merupakan sebuah sikap sekaligus perlawanan. Perlawanan terhadap cara hidup mekanis orang-orang yang sering menyebut dirinya paling progresif.
Cara hidup mekanis orang-orang kampus - sebut saja aktivis - mudahnya begini, saat menjadi mahasiswa baru mereka seringkali terbuai dengan khotbah-khotbah heroisme kakak tingkat. Setelah berhasil diindoktrinasi, mereka akan jadi tambahan amunisi bagi gerakan aktivisme di kampus. Di fase ini mungkin dirinya akan merasa telah menjadi aktivis yang paripurna nan idealis. Latah mengkritisi segalanya. Berebut mimbar orasi atas nama agen perubahan.
ADVERTISEMENT
Idealisme semu saya menyebutnya. Sebab mereka yang sering berkoar-koar tentang idealisme justru yang seringkali menikam idealisme itu sendiri. Saling sikut berebut kursi jabatan prestisius di kampus, membajak organisasi-organisasi yang lebih kecil yang tak sejalan atas nama "demi kepentingan bersama", dan yang lebih menjijikkan bermain anggaran. Tak ada bedanya dengan para dewan yang duduk di Senayan. Dan memang, setelah purna dari organisasi ekstra, mereka seringkali dapat tawaran untuk jadi sekrup-sekrup partai. Sebagian ada yang menolak, lebih banyak yang menerima. Bagi fresh graduate, dapat posisi staff sudah cukup mentereng kan, Kawan!?
Itu tadi sekilas yang saya sebut sebagai cara hidup mekanis kebanyakan aktivis kampus. Tak semuanya. Sebab beberapa ada yang terjun ke dalam dunia advokasi di berbagai isu mulai lingkungan, hukum & HAM, kebebasan beragama & berkeyakinan hingga perempuan.
ADVERTISEMENT
Pola mekanis seperti itu menurut saya lebih destruktif ketimbang represi yang dilakukan birokrasi kampus terhadap gerakan-gerakan mahasiswa yang mengancam posisinya. Apa sebab? Pola mekanis membunuh daya imajinatif. Tawaran-tawaran ide alternatif bagi dekonstruksi gerakan mahasiswa tak ada artinya karena semua harus sejalan dengan pakem yang sudah ada. Seolah-olah apa yang ada sekarang adalah model gerakan terbaik. Padahal tidak ada bedanya dengan gerakan-gerakan yang lalu. Kecuali dalam beberapa hal teknis, seperti cara menyebarkan propaganda via media sosial.
Selebihnya sama saja, mereka yang berkoar-koar di hadapan birokrasi dan kekuasaan adalah mereka yang juga berebut kursi kekuasaan. Baik secara terang-terangan maupun malu-malu. Berdiam diri, pada situasi seperti ini, saya kira adalah pilihan yang tepat. Berdiam diri dengan maksud tidak ikut campur dalam kompetisi saling berebut untuk mendominasi.
ADVERTISEMENT
Berdiam diri bisa jadi sikap dan perlawanan terhadap cara hidup mekanis para aktivis yang sering menyebut dirinya paling progresif. Mari berdiam diri sambil ngopi-ngopi. Nanti saya ceritakan siapa memiliki apa, siapa melakukan apa, siapa mendapatkan apa dan digunakan untuk apa hasil yang didapatkan itu.