Mantra-mantra Heroik Mahasiswa yang Telah Usang

Rusda Khoiruz Zaman
Penikmat fiksi karena kenyataan seringkali menyakitkan
Konten dari Pengguna
18 Februari 2022 15:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rusda Khoiruz Zaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mahasiswa dari berbagai kampus membawa poster saat demo di kawasan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (1/10/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mahasiswa dari berbagai kampus membawa poster saat demo di kawasan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (1/10/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Semester 8 menjadi penanda senajakala umur saya sebagai seorang mahasiswa S1. Jika mengacu norma kebiasaan, maka pada semester ini pula saya harus lulus. Apalagi biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) saya nyaris menyentuh angka 5 juta. Hal ini pula yang mendesak saya agar lulus tepat waktu. Semua terasa begitu cepat, perasaan baru saja kemarin saya mengikuti Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK). Sekarang, saya lah yang menonton adik tingkat yang mengikuti PBAK.
ADVERTISEMENT
Selama menjadi mahasiswa, tentu saya juga tak bisa lepas dari pergulatan pencarian jati diri. Terkhusus jati diri sebagai seorang mahasiswa. Katanya, mahasiswa adalah agent of change, agent of social control dan agent-agent yang lain. Istilah-istilah tersebut setidaknya pertama kali saya dengar ketika menjadi mahasiswa baru dulu. Entah saya lupa persisnya mendengar di mana. Yang jelas, istilah-istilah tadi sering kali digaungkan, baik ketika berdiskusi di sudut-sudut kampus ataupun saat demo.
Rasanya begitu heroik membayangkan para anak muda yang belajar di kampus, sudi buat turun ke akar rumput mendampingi serta mengabdi kepada rakyat untuk memberantas pembodohan, kezaliman, penindasan, perampasan ruang hidup, perusakan alam, sekaligus menyuarakan suara mereka yang tak bisa bersuara.
Tapi semakin ke sini saya semakin ragu dengan mantra-mantra heroik semacam agen perubahan dan kawan-kawannya tersebut. Semuanya bagaikan tong kosong nyaring bunyinya manakala menengok fakta yang ada.
Sejumlah mahasiswa terlibat kericuhan saat berunjuk rasa di depan kompleks Parlemen di Jakarta, Selasa (24/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Fakta yang ada berbicara sebaliknya. Apa yang pernah saya ekspektasikan saat menjadi mahasiswa runtuh. Jargon-jargon heroik yang sering dikhotbahkan terdengar usang. Dalam kesehariannya, kegiatan mahasiswa tak lebih sekadar menggarap tugas yang diberikan oleh dosen. Realita sosial seakan tersekat oleh tembok-tembok kampus yang menjulang tinggi.
ADVERTISEMENT
Memang saya tak punya data yang rigid untuk berkata seperti ini. Satu-satunya data valid yang saya punya adalah pengalaman saya sendiri selama duduk di bangku perkuliahan. Pengalaman yang kelak menjawab keresahan saya pribadi, "kepada siapa seharusnya mahasiswa mengabdikan dirinya?"
Sedikit ke belakang, semester awal menjadi fase bulan madu bagi seorang mahasiswa. Fase di mana para mahasiswa akan berlomba-lomba untuk mengaktualisasikan dirinya. Banyak yang terlibat dengan gerakan aktivisme kampus, pula tak sedikit yang memilih untuk menjadi mahasiswa normal—masuk kelas, pulang ke kos atau kontrakan, lalu mengerjakan tugas yang diberikan dosen.
Saya telah melewati fase tersebut dan mengamati apa saja yang terjadi selama fase itu. Meski sebenarnya terlalu simplifikasi mengelompokkan mahasiswa menjadi dua golongan, yaitu golongan aktivis dan mahasiswa normal. Tapi dengan adanya penggolongan ini, setidaknya saya bisa lebih mudah untuk mendeskripsikan keduanya.
ADVERTISEMENT
Untuk yang pertama, umumnya mereka yang memilih untuk terjun dalam dunia aktivisme kampus ada yang karena benar-benar prihatin dengan kondisi sosial yang ada, ada juga yang cuma ikut-ikutan.
Saya termasuk mahasiswa dalam golongan ini. Alasan saya memilih menjadi aktivis cukup kompleks jika tidak mau dibilang konyol. Sejak awal masuk kuliah saya sudah masuk ke dalam organisasi yang fokus kajiannya pada persoalan-persoalan sosial dan politik. Praktis, awal mula saya terjun ke dalam aktivisme kampus pun hanya sekadar ikut-ikutan kakak tingkat.
Mahasiswa meneriakkan slogan saat longmarch menuju Istana Kepresidenan pada demo tolak Omnibus Law, di Jakarta, Kamis (8/10). Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
Seiring berjalannya waktu, saya baru bisa menyadari bahwa persoalan sosial politik dan ekonomi di Indonesia memang benar-benar nyata adanya dan mendesak buat diarusutamakan. Dari situ lantas saya menenggelamkan diri dengan banyak membaca buku seputar teori-teori sosial, politik hingga ekonomi sekadar untuk memuaskan dahaga intelektual. Saban minggu beberapa organisasi yang saya ikuti selalu menggelar forum diskusi. Cukup duduk melingkar beralaskan banner lusuh bekas acara yang digelar di lingkungan kampus, jadilah diskusi yang membahas persoalan bangsa terkini.
ADVERTISEMENT
Tak jarang pula kami turun ke jalan ketika pemerintah bertindak semena-mena seperti membuat undang-undang absurd, menggusur, merampas ruang hidup rakyat, merusak lingkungan, dan lain sebagainya. Harapannya kami tak muluk-muluk, sekadar menekan pemerintah agar menghentikan kezaliman.
Terlihat sangat heroik bukan? Tapi justru di sinilah letak absurditas itu berada. Kebanyakan aktivis kampus memang terlihat heroik di depan khalayak, meneriakkan kezaliman pemerintah, ketimpangan, , dan perampasan ruang hidup. Tapi bersamaan dengan itu pula, mereka sering menindas kawannya sendiri demi memuaskan hasrat untuk berkuasa.
Jenis aktivis kampus seperti itu kerap saya temui. Di hadapan khalayak, mereka sangat senang memoles citra persis seperti para wakil rakyat yang sering mereka kritik sendiri. Namun, di belakang layar, mereka akan menghalalkan aneka ragam cara untuk merebut slot-slot kekuasaan yang ada di dalam kampus. Seperti jabatan di organisasi intra-kampus.
ADVERTISEMENT
Mulai dari tatanan jurusan hingga universitas. Tak sedikit pula temannya sendiri disingkirkan karena alasan beda haluan kepentingan. Bagi saya, mereka sama saja, sama-sama saling menyingkirkan. Ketika ada kesempatan yang lain untuk balas dendam, maka mereka akan melakukannya. Mereka bahkan tak punya visi ke depan. Hanya mengikuti alur perpolitikan seraya mengumpati lawan politiknya dan mengunggulkan kelompoknya sendiri.
Saya tak begitu yakin jika mereka berkuasa kelak bakal lebih baik, ketimbang pemerintah yang sering mereka kritik dan gugat hari ini.
Atas dasar hal tersebut, golongan aktivis kampus, dalam pandangan pribadi saya, tak kalah menyedihkannya dengan golongan mahasiswa normal yang masuk kelas kemudian pulang ke kos atau kontrakan, lalu mengerjakan tugas yang diberikan dosen. Begitupun turut serta memantapkan asumsi saya di awal: mantra-mantra semacam agent of change, agent of social control dan seterusnya tak lebih dari sekadar jargon usang.
ADVERTISEMENT