Campur-campur Bahasa Like Anak Jaksel

18 September 2018 19:58 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bahasa Inggris menjadi bahasa asing paling populer (Foto: Instagram/@jun.050)
zoom-in-whitePerbesar
Bahasa Inggris menjadi bahasa asing paling populer (Foto: Instagram/@jun.050)
ADVERTISEMENT
Gaya bahasa 'anak Jaksel' ramai diperbincangkan publik. Penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang dicampur-campur ini bahkan digunakan bakal calon Wakil Presiden Sandiaga Uno dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil untuk sapa-menyapa di media sosial Instagram.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini pun menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, ada yang menganggap penggunaan gaya bahasa tersebut wajar karena menunjukkan fleksibilitas bahasa sebagai media berkomunikasi. Namun di sisi lain, kebiasaan berbahasa campur-campur memiliki dampak negatif, baik bagi si pengguna maupun kawan bicaranya.
kumparan memiliki beberapa perspektif yang disampaikan langsung pengguna bahasa campur Indonesia-Inggris maupun para ahli untuk para pembaca. Di antaranya ada Sacha Stevenson, bule asal Kanada yang tinggal di Indonesia sejak masih remaja, yang menyebut bahasa campur sebagai 'Englonesian'; Bernadette Kushartanti, Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, yang menggunakan istilah 'Indonenglish'; dan Ivan Lanin, ahli linguistik bahasa Indonesia, yang menyebut fenomena itu sebagai 'code mixing'.
Berikut ini adalah nukilan dari tulisan mereka. Namun jika ingin baca selengkapnya, kamu bisa langsung klik tautan masing-masing tulisan mereka.
ADVERTISEMENT
1. Memaklumkan Bahasa Campur ‘Anak Jaksel’, Baik atau Buruk?
Fenomena penggunaan bahasa Indonesia yang dicampur dengan kosa kata bahasa Inggris sebenarnya bukan hal baru. Gejala ini sudah banyak muncul setidaknya sejak 2010, tahun ketika saya mulai aktif mengampanyekan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Saya belum pernah melakukan penelitian terkait fenomena tersebut, tetapi dalam ilmu linguistik hal ini dikenal dengan code mixing atau campur kode. Jadi tidak perlu kaget, ini memang bukan sesuatu yang baru. Isu ini mengemuka kembali ke publik mungkin karena belakangan ini banyak orang yang membicarakannya di Twitter.
2. Englonesian, Bahasa untuk Si Kurang Paham Inggris dan Indonesia
Saya tidak anti-Englonesian, saya malah berterimakasih kepada Englonesian! I'm not Indonesian though. I'm a bule with limited Indonesian language skills. Dan teman-teman Englonesian saya kebanyakan adalah Indonesians yang kekurangan ilmu Bahasa Inggris. We have that 'kekurangan' thing in common.
ADVERTISEMENT
Kadang-kadang saya pake Englonesian pas orang Indonesia ngajak saya bicara Bahasa Inggris tapi (berdasarkan logatnya dan pilihan kata-katanya) saya takut dia tidak akan mengerti saya sepenuhnya kalau tidak diterjamahkan beberapa kata ke dalam bahasa Indonesia.
3. Q & A: Bahasa ala Anak Jakarta Selatan, Positif atau Negatif?
Lingkungan dan pembangunan di Jakarta Selatan yang dihuni oleh masyarakat menengah ke atas menjadi salah satu faktor berkembangnya bahasa campuran dalam berkomunikasi. Saya kira faktor adanya bahasa-bahasa yang berdampingan, yang digunakan secara simultan oleh mereka. Membuat pencampuran bahasa itu sangat mungkin terjadi, tentu saja lingkungan itu berpengaruh.
Dalam otak seseorang, ada tempat-tempat tertentu di mana kita menyimpan memori tentang kata-kata tersebut. Penggunaan lebih dari satu bahasa membuat seseorang punya tempat dengan kata yang sama namun maknanya bisa berbeda atau sebaliknya, makna sama namun kata-katanya yang berbeda.
ADVERTISEMENT
---------------------------------------------------
Jika kamu tertarik membaca tulisan-tulisan lain tentang berbagai isu dari perspektif para ahli, ikuti topik Perspektif di kumparan.