Konten dari Pengguna

Ketika Bumi Bergetar: Realitas Penduduk di Zona Rawan Bencana

Komang Genta Ayu Saraswati
Mahasiswi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya
17 Oktober 2024 6:24 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Komang Genta Ayu Saraswati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Natural disasters have a way of bringing us back to the core of humanity—compassion, resilience, and hope

ilustrasi gempa bumi. Foto : Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi gempa bumi. Foto : Shutterstock
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
‘setiap kali ada getaran kecil, takutnya masih berasa’
‘gempa mengubah banyak hal sih’
ADVERTISEMENT
‘serem banget, ada suara keras dikit langsung lemes’
6 tahun berlalu namun dengan luka yang masih melekat tentang ketakutan, kehancuran, bahkan kehilangan. Banyak orang di luar sana telah melupakan kejadian mengerikan pada 2018 silam, kejadian yang sama sekali tidak sederhana bagi sang korban. Langit gelap diiringi teriakan dan tangis yang terdengar bahkan di tengah rintik hujan sekalipun, suasana yang memang sudah terjadi bertahun-tahun lalu namun tak juga beranjak dari ingatan. Sayangnya, tak banyak orang yang peduli tentang luka mereka, semua berlalu begitu saja tanpa tahu bahwa banyak di antaranya sedang berusaha untuk untuk hidup seperti sedia kala, entah dengan mengobati lukanya, menguburnya sedalam yang ia bisa, atau memilih hidup berdampingan sekalipun, meskipun artinya ia harus siap untuk kembali ‘sakit’ sewaktu-waktu.
ADVERTISEMENT
Apa yang Terjadi?
Lombok salah satu pulau yang dikenal karena keindahan alamnya, namun menyimpan segala misteri termasuk gempa bumi karena letaknya yang berada di pertemuan lempeng tektonik. Gempa bumi di Lombok terjadi pada Minggu, 5 Agustus 2018 dengan magnitudo 6,9 (2018 Indonesia Earthquake: Facts and Faqs, 2018). Pusat gempa ini terletak di dekat kawasan utara Lombok dan terjadi pada kedalaman sekitar 10 km (Lombok Indonesia Earthquake 2018, 2018). Peristiwa ini mengakibatkan lebih dari 430 orang tewas dan lebih dari 1.300 orang terluka. Selain itu, sekitar 270.000 orang terpaksa mengungsi akibat kerusakan yang parah pada rumah dan infrastruktur, bahkan sekitar 64.534 rumah dilaporkan mengalami kerusakan, dan banyak fasilitas publik, termasuk pusat kesehatan, yang juga terdampak (2018 Indonesia Earthquake: Facts and Faqs, 2018). Bencana ini juga diikuti oleh serangkaian gempa susulan, dengan salah satu yang terjadi pada 9 Agustus 2018 tercatat dengan magnitudo 5,9 (2018 Indonesia Earthquake: Facts and Faqs, 2018). Gempa ini tidak hanya berdampak pada penduduk lokal, tetapi juga pada para wisatawan yang berada di Lombok, banyak di antara mereka yang tak hanya harus kehilangan tempat tinggal namun juga kehilangan orang terkasih. Faktor kehilangan tadi jika dianalisis lebih lanjut dalam konteks psikologi lingkungan tidak hanya dilihat sebagai kejadian fisik, tetapi juga sebagai environmental stressor yang dapat menyebabkan tekanan mental mendalam (Bechtel & Wiley, 2022). Stresor lingkungan seperti ketidakstabilan tanah, gempa susulan, serta kerusakan infrastruktur berperan besar dalam menciptakan stres psikologis di kalangan korban (Bechtel & Wiley, 2022). Namun, dengan kondisi tersebut bagaimana mereka memahami risiko dan adaptasi bencana?
ADVERTISEMENT
Persepsi Risiko dan Adaptasi di Zona Bencana
Steg & Groot (2019) mengungkapkan bahwa salah satu faktor utama dalam bagaimana masyarakat merespons bencana adalah risk perception atau persepsi risiko. Pada kasus gempa Lombok, banyak penduduk merasa bahwa risiko gempa bumi adalah bagian yang tak terhindarkan dari kehidupan mereka, tak ada pilihan lain selain menerima dan hidup berdampingan dengan berbagai kemungkinan yang sewaktu-waktu dapat menghampiri. Persepsi ini memengaruhi kesiapan mereka untuk menghadapi bencana. Dalam banyak kasus, meskipun masyarakat memahami bahaya yang mereka hadapi, keterikatan emosional yang kuat dengan tempat tinggal mereka (konsep place attachment) membuat mereka sulit untuk meninggalkan wilayah rawan gempa. Seperti yang dituturkan oleh P salah satu warga yang pernah merasakan bencana alam tersebut “ya bagaimana lagi, mau pindah juga ga mungkin” Ungkapnya. Selain itu, dalam Bechtel & Wiley (2022) menjelaskan bahwa keterikatan tempat dan persepsi risiko yang rendah dapat mempengaruhi perilaku adaptif. Pada konteks Lombok, meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya edukasi terkait mitigasi bencana, faktor-faktor psikologis ini sering kali menghambat masyarakat dalam mengambil langkah preventif, seperti memperkuat bangunan rumah atau mengikuti pelatihan evakuasi. Lalu apa yang terjadi dengan para korban, apakah mereka tetap mengalami trauma, pulih, atau justru berpasrah?
ADVERTISEMENT
Trauma, Pemulihan, dan Ketangguhan
Pasca bencana, proses pemulihan baik fisik maupun psikologis membutuhkan waktu lama bahkan tak ada jaminan pasti apakah hingga saat ini mereka telah benar-benar ‘pulih’ dari ‘luka’ masa lalu tesebut. Fleury-Bahi et al (2017) menekankan pentingnya ruang-ruang aman dan hijau dalam memfasilitasi pemulihan psikologis korban bencana. Di Lombok, meskipun kondisi infrastruktur sangat terbatas, interaksi sosial di ruang-ruang publik dan dukungan komunitas sangat penting dalam mempercepat pemulihan mental. Penduduk yang saling membantu dan berbagi cerita pengalaman tentang bencana menunjuk kan bahwa dukungan sosial dapat membantu mengurangi rasa trauma yang dialami setelah gempa (Bonanno et al., 2010). Konsep resilience atau ketangguhan psikologis yang dibahas dalam Bechtel & Wiley (2022) juga relevan di sini. Ketangguhan psikologis adalah kemampuan seseorang atau komunitas untuk bangkit kembali setelah menghadapi situasi sulit. Pada kasus Lombok, penduduk menunjukkan ketangguhan yang luar biasa meskipun kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan. Dalam konteks psikologi lingkungan, ketangguhan ini dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kesadaran risiko, memperkuat jaringan sosial, dan memfasilitasi pembangunan kembali yang lebih baik. Jadi, dengan semua proses yang telah dijalani selama 6 tahun terakhir, bagaimana gempa lombok bagi masyarakat di masa depan?
ADVERTISEMENT
Kesiapsiagaan untuk Masa Depan
Gempa Lombok juga memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya kesiapsiagaan terhadap bencana. Salah satu rekomendasi dari Steg & Groot ( 2019) adalah meningkatkan pendidikan masyarakat tentang bencana melalui pelatihan yang berkelanjutan dan mudah diakses. Masyarakat Lombok harus terus didorong untuk beradaptasi terhadap potensi bencana di masa depan dengan memperkuat struktur bangunan dan mengembangkan kebiasaan mitigasi bencana. Dalam konteks kesiapan menghadapi bencana, riset yang terdapat dalam Bechtel & Wiley (2022) menekankan pentingnya membangun lingkungan yang tahan bencana. Ini termasuk penggunaan teknologi bangunan tahan gempa serta pengembangan kebijakan pemerintah yang mendukung perencanaan ruang publik dan permukiman yang aman.
Gempa bumi yang mengguncang Lombok pada Agustus 2018 memang membawa dampak yang mendalam dan menyentuh hati. Dengan magnitudo 7,0, gempa ini bukan hanya mengguncang tanah, tetapi juga jiwa penduduknya. Lebih dari 400 orang yang kehilangan nyawa, dan ribuan lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka, terpaksa tinggal di tenda-tenda darurat sambil menunggu kepastian dan harapan. Kerusakan yang ditimbulkan bukan hanya fisik, tetapi juga psikologis, mengubah cara pandang masyarakat terhadap lingkungan tempat tinggal mereka. Ada banyak riuh pertanyaan tentang siapa yang harus disalahkan, apakah masyarakat? Pemerintah? alam? atau bahkan sang pencipta? Namun, lebih daripada itu, kejadian tak terduga ini tidak seharusnya membuat manusia menyalahkan siapa pun, justru ini adalah waktunya untuk siap dalam berbagai kondisi. Masyarakat dengan beragam interaksinya pada alam, anggap saja mungkin ini cara alam untuk berinteraksi pada kita entah untuk menyapa atau sebagai alarm bahwa ada hal lain yang juga harus dijaga.
ADVERTISEMENT
Di tengah reruntuhan, muncul solidaritas dan ketahanan. Banyak yang menunjukkan keberanian luar biasa, saling mendukung satu sama lain dalam menghadapi trauma dan kehilangan. Upaya pemulihan berjalan lambat, trauma dan luka yang sempat di romantisasi, namun semangat untuk membangun kembali kehidupan tetap hidup di hati masyarakat Lombok. Setiap gemuruh yang terdengar mengingatkan mereka akan pengalaman pahit itu, tetapi juga menyalakan harapan bahwa dari kegelapan, akan muncul cahaya baru yang lebih cerah. Kisah gempa Lombok adalah pengingat akan kekuatan alam dan ketangguhan manusia. Dalam perjalanan untuk pulih, mereka tak hanya belajar bertahan hidup, tetapi juga untuk berkembang meski dalam kesulitan
Daftar Pustaka
2018 Indonesia earthquake: facts and faqs. (2018, October 1). World Vision. https://www.wvi.org/blogpost/2018-indonesia-earthquake-facts-and-faqs
ADVERTISEMENT
Bechtel, R. B., & Wiley, J. (2022). Handbook of Environmental Psychology.
Bonanno, G. A., Brewin, C. R., Kaniasty, K., & Greca, A. M. La. (2010). Weighing the costs of disaster. Psychological Science in the Public Interest, 11(1), 1–49. https://doi.org/10.1177/1529100610387086
Fleury-Bahi, G., Pol, E., & Navarro, O. (Eds.). (2017). Handbook of Environmental Psychology and Quality of Life Research. Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-319-31416-7
Lombok Indonesia earthquake 2018. (2018). Earth Science Applied Sciences, NASA. https://disasters.nasa.gov/what-we-do/disasters/disasters-activations/lombok-indonesia-earthquake-2018
Steg, L., & Groot, J. I. M. De. (2019). Environmental Psychology. http://psychsource.bps.org.uk