Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Insentif Pajak Hiburan 15% di Bali: Untung Sekarang, Bagaimana Keberlanjutannya?
3 Februari 2025 12:18 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Ni Komang Linda Agiastini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bali dan berbagai destinasi wisata yang tiada habisnya. Dari pantai yang menenangkan, hingga kekayaan budaya yang beragam, Bali selalu memiliki daya tarik tersendiri. Selain keindahan alam dan budaya, Bali juga memiliki berbagai macam hiburan yang menarik perhatian wisatawan, mulai dari pengalaman spa, kesenian, karaoke, hingga kelab malam yang ramai untuk bersenang-senang. Berbagai hiburan tersebut menjadi salah satu sumber pendapatan daerah Bali melalui adanya pengenaan pajak hiburan. Namun, masalah muncul ketika minimal tarif pajak hiburan yang ditetapkan oleh pemerintah sangatlah tinggi sehingga menimbulkan banyak penolakan dari para pelaku usaha, khususnya di Bali. Sebagai respons, pemerintah Bali akhirnya memberikan insentif berupa penurunan tarif pajak hiburan dari 40% menjadi 15%. Namun, meskipun telah dilakukan penurunan pajak tersebut, penting untuk melihat apakah langkah ini akan memberikan dampak yang berkelanjutan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Bali.
ADVERTISEMENT
Peraturan Penetapan Tarif Pajak Hiburan
Tarif pajak hiburan diatur dalam peraturan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Pajak hiburan menjadi bagian dari objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Objek PBJT adalah pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu, yang terdiri atas makanan dan/atau minuman, restoran, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, serta jasa kesenian dan hiburan. Tarif untuk objek PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10%, tetapi khusus untuk tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%. Jika kita melihat peraturan sebelumnya pada UU No. 28/2009, tarif atas pajak jasa hiburan tersebut ditetapkan paling tinggi sebesar 75% tanpa adanya batas bawah. Peraturan pada kedua peraturan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah daerah (Pemda) nantinya dapat menetapkan tarif sesuai batas yang diberikan pemerintah. Peningkatan tarif batas minimum pajak hiburan pada UU HKPD inilah yang menimbulkan berbagai protes dan kekhawatiran oleh pelaku usaha pariwisata di Bali.
ADVERTISEMENT
Dampak Pengenaan Tarif Pajak Hiburan Tinggi terhadap Pelaku Usaha di Bali
Pengenaan tarif pajak hiburan sebesar 40% memiliki berbagai dampak terhadap para pelaku usaha khususnya di sektor pariwisata Bali. Pariwisata Bali telah mengalami penurunan drastis selama masa pandemi sebelumnya sehingga kenaikan tarif ini dapat memberi dampak yang signifikan terhadap sektor pariwisata yang sedang dalam proses pemulihan. Tarif pajak yang tinggi akan berdampak pada harga jasa hiburan, yang pada gilirannya dapat mengurangi daya tarik Bali sebagai tujuan wisata hiburan. Jika kita melihat negara lain, seperti Thailand, kebijakan pajak pariwisata mereka bahkan mengalami penurunan hingga 5%. Thailand, sebagai salah satu pesaing pariwisata Bali, akan semakin menarik bagi wisatawan yang mencari destinasi dengan biaya lebih terjangkau. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah ini dapat menghambat pemulihan sektor pariwisata Bali.
ADVERTISEMENT
Dampak negatif atas kenaikan tarif ini akan sangat berdampak besar terhadap UMKM di Bali terutama usaha hiburan skala kecil seperti karaoke, bar lokal, maupun spa. Spa yang juga masuk ke dalam salah satu objek yang dikenakan tarif pajak hiburan menjadi perhatian karena lebih tepat masuk dalam kategori pengobatan tradisional atau layanan kesehatan, bukan hiburan. Dengan adanya kebijakan tarif tersebut, banyak pelaku usaha spa yang mengeluh karena tarif menjadi lebih mahal dan kurang kompetitif. Hal ini berisiko mengurangi minat wisatawan untuk menikmati layanan spa yang menjadi bagian penting dari kearifan lokal Bali.
Dampak lain adalah penurunan jumlah tenaga kerja karena pelaku usaha yang terpaksa mengurangi karyawan atau bahkan menutup sementara operasional mereka. Hal ini tidak hanya merugikan pelaku usaha, tetapi juga berdampak pada kesejahteraan pekerja yang mengandalkan industri pariwisata untuk mata pencaharian mereka.
ADVERTISEMENT
Kebijakan Insentif Pajak Hiburan
Gejolak yang terjadi di masyarakat ini mendorong Kementerian Dalam Negeri memberikan insentif fiskal yang memungkinkan pemerintah daerah untuk mengenakan tarif lebih rendah dari 40% atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa. Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900.1.13.1/403/SJ. Pemberian insentif fiskal tersebut menjadi respon pemerintah dalam mendukung pemulihan ekonomi pelaku usaha pasca Covid-19.
Pemerintah kota di Bali kemudian menindaklanjuti surat edaran Kemendagri dengan melakukan rapat dengar pendapat dengan wajib pajak. Salah satunya yaitu pemerintah Kota Denpasar yang kemudian menetapkan tarif pajak hiburan sebesar 15 persen dan mulai berlaku sejak Januari 2024. Penetapan pemberian insentif fiskal tersebut juga diiringi dengan peningkatan target penerimaan pajak hiburan Kota Denpasar yang sebelumnya sekitar Rp 29 miliar menjadi Rp 35 miliar untuk tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, realisasi penerimaan pajak hiburan melebihi target yang ditetapkan, yaitu mencapai Rp46,7 miliar atau terealisasi 126 persen dari target. Hal tersebut menunjukkan bahwa penurunan tarif pajak hiburan dari batas minimum 40% tidak menyebabkan penurunan penerimaan daerah, melainkan justru memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan daerah. Selain Kota Denpasar, kabupaten di Bali lainnya juga telah sepakat untuk memberikan insentif pajak berupa penetapan penurunan tarif.
Insentif ini diharapkan dapat menarik lebih banyak wisatawan dan mendukung keberlanjutan usaha hiburan yang vital bagi ekonomi Bali, dengan memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk bertumbuh di tengah kondisi pemulihan ekonomi.
Tantangan Keberlanjutan Pemberian Insentif Pajak Hiburan
Pemberian insentif pajak hiburan 15% di Bali merupakan respons positif yang diberikan pemerintah atas gejolak tarif yang tinggi sebelumnya. Namun, tantangan terbesar kemudian terlihat pada adanya kontradiksi dengan undang-undang yang menetapkan tarif minimum pajak hiburan sebesar 40%. Meskipun pemerintah daerah telah melaksanakan penurunan tarif dalam rangka memulihkan setor pariwisata, namun peraturan yang berlaku secara nasional belum mendukung kebijakan tersebut sepenuhnya.
ADVERTISEMENT
Tantangan yang dapat terjadi adalah timbulnya ketidakpastian di antara para pelaku usaha atas kapan berakhirnya insentif yang diberikan. Jika insentif tersebut tidak diatur lebih lanjut dalam kebijakan yang permanen, maka para pelaku usaha dapat berisiko kembali menghadapi tarif pajak yang tinggi di masa depan. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan apakah insentif pajak hiburan di Bali akan terus diberikan atau diubah menjadi kebijakan yang lebih berkelanjutan.
Tantangan lainnya adalah terkait pengawasan dan penegakan aturan. Dengan adanya insentif pajak, pemerintah daerah dan pusat harus memastikan bahwa pelaku usaha benar-benar mematuhi ketentuan yang berlaku. Selain itu, jika insentif pajak yang diberikan bersifat sementara, perlu adanya pengawasan yang lebih optimal atas pemahaman pelaku usaha terhadap kewajiban perpajakan mereka. Hal ini kemudian dapat memperburuk ketidakpastian dalam sektor pariwisata ke depan.
ADVERTISEMENT
Alternatif Kebijakan Pajak Hiburan dalam Menjaga Keberlanjutan Pariwisata Bali
Upaya yang dapat ditempuh masyarakat akan ketidakpuasan atas tarif yang berlaku adalah dengan melakukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pengajuan ini akan membuka peluang adanya revisi atas UU HKPD yang berlaku sehingga kebijakan penurunan tarif pajak hiburan dapat berlaku secara luas dan berkelanjutan. Tarif yang dikenakan kemudian dapat ditetapkan dengan lebih realistis, seperti dalam rentang 10%-40% yang dapat disesuaikan kembali dengan kebutuhan tiap daerah.
Selain itu, kebijakan pengenaan tarif progresif atau berbasis zona wilayah juga memungkinkan untuk diterapkan, seperti misalnya kawasan wisata utama Bali dapat dikenakan tarif yang lebih tinggi, sementara usaha di daerah dengan tingkat kunjungan wisatawan yang lebih rendah dapat dikenakan tarif yang lebih ringan. Kebijakan pajak ini dapat memberikan insentif lebih kepada pelaku usaha di daerah yang belum sepenuh ya pulih dari dampak ekonomi pandemi.
ADVERTISEMENT
Terakhir, pemerintah dapat menggali opsi insentif pajak jangka panjang yang lebih berkelanjutan, yaitu pengurangan pajak hiburan yang disertai dengan monitoring dan evaluasi dampaknya terhadap sektor pariwisata. Meskipun terjadi penurunan tarif, pendapatan sektor hiburan di daerah tetap tumbuh karena jumlah pengunjung yang meningkat. Oleh karena itu, penting untuk mempertahankan kebijakan pajak yang lebih fleksibel dan berkelanjutan, agar sektor pariwisata dapat terus berkembang dan memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar tanpa menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha.
Kesimpulan
Pemberian insentif pajak hiburan sebesar 15% di Bali memberikan dorongan positif bagi sektor pariwisata yang tengah pulih setelah pandemi. Namun, tantangan besar muncul karena adanya kontradiksi dengan ketentuan Undang-Undang yang menetapkan tarif pajak hiburan minimal 40%. Jika kebijakan ini tidak diatur lebih lanjut, para pelaku usaha akan menghadapi ketidakpastian dan kemungkinan tarif yang tinggi setelah insentif berakhir. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih fleksibel, seperti perubahan dalam regulasi melalui pengajuan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk merevisi ketentuan tarif pajak hiburan, atau penerapan sistem pajak berbasis zona. Langkah-langkah ini penting untuk memastikan keberlanjutan sektor pariwisata Bali yang lebih adaptif dan mendukung daya saing dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Bali Post. (2025, January 11). 2024, Realisasi Pajak Daerah Denpasar Capai Rp1,399 Triliun. https://www.balipost.com/news/2025/01/11/436490/2024,Realisasi-Pajak-Daerah-Denpasar...html
Eka, A. (2024, January 7). Spa Masuk Jenis Pajak Hiburan dan Kesenian, Begini Penjelasannya. https://www.detik.com/bali/berita/d-7128546/spa-masuk-jenis-pajak-hiburan-dan-kesenian-begini-penjelasannya
Freepik. https://www.freepik.com/premium-photo/silhouettes-people-dancing-nightclub-dance-floor-party_5484545.htm#fromView=search&page=1&position=36&uuid=287a4f6f-8ed8-409b-8b20-7cd5d5ade2a3&new_detail=true&query=night+club
Hariani, A. (2024, January 26). Usai Bertemu Pengusaha, Pemkot Denpasar Tetapkan Tarif Pajak Hiburan 15 Persen. https://www.pajak.com/pajak/usai-bertemu-pengusaha-pemkot-denpasar-tetapkan-tarif-pajak-hiburan-15-persen/
Rachmawati, D. (2024, February 7). GIPI Ajukan Judicial Review Pajak Hiburan ke MK. https://ekonomi.bisnis.com/read/20240207/12/1739165/gipi-ajukan-judicial-review-pajak-hiburan-ke-mk.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD)