Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Kisah Dua Anak Petani Tembakau dalam Merawat Tradisi
20 Mei 2017 11:39 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Komunitas Kretek tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ulin Nuha. Alumni pelajar SMA Muhammadiyah Wonsobo ini adalah satu dari sekian anak petani tembakau yang memiliki semangat berbakti kepada orang tua. Pemuda yang kini menempuh studi Ilmu Komunikasi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini tak sungkan atau merasa malu melariskan hasil panen tembakau orang tuanya. Pengalaman berjualan tembakau rajangan itu dilakoninya semasa SMA dulu.
ADVERTISEMENT
Tentu sebagai anak, Ulin tidak merasa dirinya dieksploitasi oleh pilihan yang dijalaninya pada masa itu. Bahkan Ia meyakini berjualan tembakau hasil jerih tanam orangtuanya termasuk upaya pelestarian kearifan lokal. Bukanlah hal baru yang diketahui masyarakat kita, bahwa varietas tembakau di Indonesia begitu banyak ragamnya. Jenis tembakau yang dilariskan Ulin ini adalah yang termasuk jenis tembakau rakyat.
Tembakau asli olahan ayahnya yang dijual di pasar Induk Wonosobo itu diakuinya bisa mendapatkan uang sampai Rp 250,000. Uang sejumlah itu hanya bisa dicapai ketika pasar terbilang sedang ramai. Pilihan untuk berjualan tembakau muncul saat melihat keuletan bapaknya dalam memanen tembakau. Menurutnya, sebagai petani tembakau, bapaknya biasa mengolah daun tembakau sendiri, dari merajangnya, mencampurnya dengan gula, memadatkan tembakau, nganjang (proses menata rajangan tembakau pada satu tempat yang dinamakan irig), menjemur, pengembunan, dan yang terakhir menjualnya dalam keadaan tembakau jadi.
ADVERTISEMENT
Biasanya anak muda merasa malu mengonsumsi rokok lintingan. Apalagi harus berjualan tembakau seperti yang dilakoninya. Dia maklum akan hal itu, fitrah kebudayaan memang dinamis, banyak orang lebih mengikuti tren dan larut dalam modernisasi, tetapi tidak sedikit orang juga yang perhatian pada akar tradisi. Baginya arus modernisasi bukan suatu halangan untuk membantu usaha keluarganya. Aktivitas ini baginya masih dalam semangat pelestarian budaya lokal. Namun tak sedikit orang muda di kampungnya yang merasa gengsi.
“Biasane cok padha isin nek da adhol mbako. Tapi, kancane nyong akeh akhire seng da udud lintingan. Tak kon da tuku mbako pas nyong adol mbako. Iki buktine,” Jelas Ulin menggunakan bahasa khas Wonosobonya, sambil menunjukkan foto teman-teman yang sedang membuat dan merokok lintingan. Memang yang terjadi kecenderungan orang muda di kampungnya mengikuti tren yang ada. Apalagi, jika sesuatu produk dipakai oleh anak orang kaya yang notabene menjadi cerminan di kalangan pemuda.
ADVERTISEMENT
Jika di Wonosobo ada Ulin Nuha, mahasiswa UIN Kalijaga. Lain dengan di Ciputat. Ada Slamet Widodo. Mahasiswa murah senyum ini juga tengah menempuh studi di Universitas Islam Negeri, tepatnya di UIN Syarif Hidayatullah, jurusan Tafsir Hadist. Berdasar pengalamannya sebagai anak petani tembakau di Rembang. Hal serupa yang berhubungan dengan usaha pertembakauan pernah pula dilakoni Dodo.
Semasa tinggal bersama orang tuanya di Rembang, Dodo kerap membantu aktivitas orang tuanya. Meski biasanya lebih kerap membantu menyiangi tembakau pada masa panen. Menurutnya aktivitas masyarakat desanya pada musim panen terasa betul semangat gotong-royongnya. Tidak hanya di urusan tembakau. Pada masa panen padi pun semangat serupa masih terjaga.
Kadang Dodo merasa ngenes jika mendengar tembakau panenan bapaknya dihargai murah oleh perantara. Tahun lalu bahkan pernah hanya dihargai Rp 12,000/Kg. Menurut Dodo, pekerjaan petani yang dia alami dari kehidupan orang tuanya sangatlah penuh perjuangan, “saya sendiri ngerasain ikut menyiangi tembakau, Bang. Iya karena dilakoni secara gotong royong, itu semua jadi menyenangkan.” Ungkap Dodo seraya menyulut rokoknya.
ADVERTISEMENT
Bagi mereka yang mengalami langsung aktivitas kehidupan masyarakat tani. Jelas membantu usaha orang tua bukan suatu hal yang mengganggu aktivitas sekolah. Biasa dilakukan sepulang dari sekolah, menurut Dodo. Lain pada Ulin Nuha, hari-hari yang dipilihnya untuk berjualan di tiap hari Sabtu atau Minggu di saat libur sekolah.
Ulin mengakui dari berjualan tembakau Ia mendapat uang jajan yang lumayan. Berbeda dengan Dodo, aktivitas membantu orang tua bukan diniatkannya untuk mendapatkan uang jajan lebih, namun lebih diitikadkan untuk meringankan beban kerja orang tuanya. Sampai sekarang Dodo masih mendapat biaya kuliah dari orang tuanya, meski ia sendiri sudah bisa mendapatkan uang tambahan dari kemampuannya di bidang jurnalistik.