Konten dari Pengguna

Lima Alasan Menolak FCTC

Komunitas Kretek
Komunitas asik yang merayakan kretek sebagai warisan budaya. Kunjungi kami di komunitaskretek.or.id
11 Mei 2017 3:07 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Komunitas Kretek tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Lima Alasan Menolak FCTC
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kemeterian Kesehatan masih getol mendorong aksesi kerangka kerja pengendalian tembakau atau lebih dikenal Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Dari beberapa pernyataan menteri kesehatan, ada dua alasan yang bisa disimpulkan kenapa Indonesia harus turut menandatangani: Pertama, untuk menstandarisasi rokok beserta pengaturan distribusinya; Kedua, kemenkes malu karena sebagai salah satu pihak yang berkontribusi dalam penyusunan FCTC, Indonesia belum turut serta menandatangani.
ADVERTISEMENT
Saat ini, pemerintah Indonesia, dalam hal ini presiden masih enggan menandatangai aksesi yang diusung oleh badan kesehatan dunia, WHO tersebut. Selain presiden, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian baru-baru ini juga tidak sepakat dengan kerangka FCTC. Langkah presiden ini patut mendapatkan apresiasi sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan nasional. Sebab,melalui FCTC dianggap akan dimanfaatkan untuk mencari keuntungan perusahaan farmasi, rokok putih, dan Negara-negara penghasil tembakau Virginia. Kenapa kita harus menolak FCTC? Setidaknya ada lima alasan yang perlu kita ketahui:
1. Tembakau sebagai komoditi strategis
Indonesia merupakan salah satu Negara penghasil tembakau berkualitas di dunia. Kendati bukan tanaman asli Indonesia, tembakau telah dibudidayakan petani sejak ratusan tahun. Ada ratusan varietas tembakau yang dibudidayakan petani di atas lahan seluas 250 ribu hektar. Banyak daerah yang terkenal dengan hasil tembakau seperti Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, Madura, dan Lombok. Perusahaan rokok dan kretek nusantara menyerap 80 persen produksi tembakau lokal. Tidak hanya untuk produk rokok, tembakau juga dimanfaatkan masyarakat dalam keseharian seperti menginang dan prosesi-prosesi adat. Ditambah, ada beberapa varietas tembakau yang dibudidayakan petani diekspor ke luar negeri untuk pembuatan cerutu, seperti tembakau Vorstenlanden dan Deli.
ADVERTISEMENT
2. Kretek sebagai hasil karya rakyat Indonesia
Bicara soal industri tembakau juga tidak bisa memisahkannya dari industri kretek nasional. Bicara tentang kretek juga tidak bisa dipisahkan dari proses panjang sejarah hingga saat ini. Kretek berbeda dengan rokok putih. Kretek menjadi bukti kekayaan produk budaya Indonesia. Kretek menggunakan tembakau lokal dan produk asli Indonesia, cengkeh, klembak, menyan dll.
3. Rentannya tenaga kerja hulu-hilir
Industri tembakau dan kretek merupakan industri padat karya. Menurut data kementerian pertanian ada 6,1 juta tenaga kerja yang terserap dalam industri tembakau dari hulu hingga hilir. Jumlah tersebut meliputi 2 juta petani tembakau, 1,2 juta petani cengkeh, 600 ribu orang tenaga kerja pabrik rokok, 1 juta pengecer, dan 1 juta tenaga percetakan dan periklanan. Hilangnya mata pencaharian akan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
4. Berkurangnya pendapatan negara
Pendapatan Negara dari cukai paling besar diperoleh dari industri pengolahan tembakau, yakni lebih dari 90 persen. Untuk angka pendapatan negara dari cukai ini mengalami kenaikan. Hal ini salah satunya didorong karena cukai yang terus meningkat. Dari angkanya, pada tahun 2013 penerimaan negara dari cukai tembakau mancapai 103,53 triliun. Belum lagi perputaran ekonomi dari bidang lain, seperti cengkeh. Jumlah produksi cengkeh yang terserap ke industri kretek nasional mencapai 98 persen. Sehingga, di beberapa daerah penghasil cengkeh menolak FCTC karena akan merusak kesejahteraan petani cengkeh.
5. FCTC tidak perlu
Dalam salah satu pernyataan penolakannya terhadap FCTC, Direktur Tanaman Semusim Kemeterian Pertanian, Nurnowo Paridjo menilai ratifikasi FCTC tidak statis. Ia mengingatkan tentang ratifikasi makanan yang awalnya hanya mengatur beras dalam perjalanannya juga mengatur soal lain seperti susu. “Kita harus mencermari dampak peraturan internasional yang lain terhadap aspek ekonomi, budaya, hukum,” ujarnya sebagaimana dikutip dari liputan6.com. Hal senada juga diungkapkan oleh Enny Ratnaningtyas, Direktur Makanan dan Tembakau Kementerian Perindustrian. “Aturan FCTC juga dikhawatirkan makin ketat dan dinamis serta rawan paksaan inisator untuk mengikuti kepentingan asing,” ujarnya.
ADVERTISEMENT