Konten dari Pengguna

Faktor Psikologis Penjaminan Mutu

SEVIMA
Sentra Vidya Utama (Sevima) adalah Education Technology yang berdiri sejak tahun 2.004, dengan komunitas dan pengguna platform yang tersebar di lebih dari 1.000 kampus se-Indonesia. Bersama kita revolusi pendidikan tinggi, #RevolutionizeEducation!
13 Agustus 2024 16:17 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari SEVIMA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Faktor Psikologis Penjaminan Mutu
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Artikel ini adalah Opini yang dikirimkan ke Majalah SEVIMA. Baca selengkapnya Majalah SEVIMA dengan cara klik di: https://sevima.com/ebook/majalah-sevima-edisi-2/
ADVERTISEMENT
Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo, M.A., M.Psi., Psikolog - Kepala Lembaga Penjaminan Mutu dan Dosen Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya.
Penjaminan mutu adalah bagian tak terpisahkan dari manajemen pendidikan tinggi karena bertujuan meningkatkan mutu penyelenggaraannya secara berkelanjutan. Dengan berpegang pada siklus PPEPP (Perencanaan, Pelaksanaan, Evaluasi dan Pengendalian/Peningkatan), setiap perguruan tinggi merencanakan penjaminan mutu internalnya sebagai cerminan otonominya menjaga mutu di hadapan pemangku kepentingan.
Atas nama penjaminan mutu, maka bertebaranlah berbagai aplikasi, beragam sistem informasi dan beraneka portal, dibuat baik oleh perguruan tinggi sendiri maupun oleh pemerintah. Tak heran apabila para pejuang mutu akrab dengan berbagai akronim seperti SISTER, SIMONEV, SIMBELMAWA dan saudara-saudaranya yang terus beranak pinak bagaikan jamur di musim hujan.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, keberadaan aneka ria sistem informasi memang mendukung penjaminan mutu karena memastikan ketersediaan data secara sistematis dan konsisten. Di sisi lain, data tersebut sejatinya berasal dari sumber daya manusia yang mencakup dosen dan tenaga kependidikan. Karena semuanya akhirnya kembali di manusia, maka penting bagi perguruan tinggi untuk memperhatikan faktor psikologis yang ikut berperan serta dalam penjaminan mutu.
Faktor psikologis ‘klasik’ yang kerap dipandang erat melekat pada penjaminan mutu adalah kepatuhan (obedience) dan ketaatan (compliance). Nuansa ini terasa kental dalam berbagai surat edaran maupun sosialisasi terkait penjaminan mutu. Boleh jadi memang benar faktor psikologis tersebut masih diperlukan. Kenyataan di lapangan terkadang menunjukkan rimba raya pendidikan tinggi. Oleh karenanya ya sudah, yang penting patuh, yang penting taat, itu saja dulu.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, penjaminan mutu sejatinya tak hanya berbuat semata-mata pada urusan seputar patuh dan taat. Acapkali kita terlupa bahwa esensi penjaminan mutu sebenar-benarnya adalah perbaikan berkelanjutan (continuous improvement). Oleh karena itu, faktor-faktor psikologis dalam konteks pengembangan organisasi (organizational development) pun jadi ikut berperan serta.
Salah satu dari beragam faktor tersebut adalah perilaku pegawai bersuara (employee voice behavior, selanjutnya disebut voice). Voice yang didefinisikan sebagai informal and discretionary communication by an employee of ideas, suggestions, concerns, information about problems, or opinions about work-related issues to persons who might be able to take appropriate action, with the intent to bring about improvement or change” (Morrison, 2023, halaman 80)
Dapat dilihat bahwa voice merupakan komunikasi yang dilakukan pegawai secara informal dan sukarela. Voice ini ditujukan kepada pihak yang dapat mengambil tindakan dengan tujuan demi perbaikan maupun perubahan. Voice tersebut dapat berupa gagasan, usulan, kepedulian dan informasi mengenai masalah atau opini tentang berbagai isu terkait pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Voice diketahui memiliki dimensi promotif yakni “employee's expression of new ideas or suggestions for improving the overall functioning of their work unit or organization” (Liang et al., 2012, halaman 74). Promotive voice mencerminkan ekspresi pegawai berupa gagasan maupun usulan baru untuk meningkatkan fungsi unit kerja atau organisasi secara keseluruhan. Dimensi ini penting karena berfokus pada usulan terkait peluang, kesempatan serta inisiatif demi kemajuan organisasi.
Dimensi lainnya adalah perilaku bersuara prohibitif yang didefinisikan sebagai “employee’s expressions of concern about work practices, incidents, or employee behaviour that are harmful to the organization” (Liang et al., 2012, halaman 75). Sebagai ekspresi pegawai berupa kepedulian tentang praktik kerja, kejadian, perilaku pegawai yang membahayakan organisasi, prohibitive voice berfokus pada ungkapan masalah yang ada demi menghindari kerugian organisasi.
ADVERTISEMENT
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa voice berkaitan dengan penjaminan mutu karena punya esensi yang sama yakni perbaikan berkelanjutan. Maka apabila perguruan tinggi ingin penjaminan mutunya mumpuni, maka sebelum perguruan tinggi berfokus pada skor akreditasi, matriks penilaian dan hal-hal teknis lainnya, perguruan tinggi perlu mengajukan pertanyaan reflektif berikut. Apakah dosen dan tenaga kependidikan yang ada di perguruan tinggi sudah bisa mengartikulasikan voice? Di sisi lain, apakah voice dosen dan tenaga kependidikan telah didengarkan oleh perguruan tinggi?
Telaah literatur menunjukkan bahwa voice dipengaruhi oleh banyak faktor, baik individual maupun organisasional. Individu yang memiliki renjana kerja (work passion) serta merasa berdaya secara psikologis (psychological empowerment) diketahui cenderung mengekspresikan voice. Hal ini karena mereka bekerja dengan gembira dan bersemangat, meyakini pekerjaannya bermakna dan diri mereka berdampak pada organisasi. Tak heran bahwa individu dengan karakteristik seperti ini cenderung gemas jika ada hal-hal yang dapat dibenahi di organisasi dan ingin mengungkapkannya agar organisasi tidak terjerembab dalam kubangan bencana di masa depan. Perguruan tinggi dapat mulai mengidentifikasi: apakah dosen dan tendik di perguruan tinggi bekerja dengan passion? Apakah dosen dan tendik sudah merasa diri mereka berdaya secara psikologis?
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, perguruan tinggi juga dapat merefleksikan praktik-praktik tata pamong dan tata kelola dalam organisasinya untuk memastikan bahwa dosen dan tenaga kependidikan dapat mengartikulasikan voice. Hal ini karena individu yang mengartikulasikan voice menghadapi risiko, mulai dari dianggap sok pintar sampai dikucilkan karena menggurui. Ketika dosen dan tenaga kependidikan merasa prosedur tertentu sudah usang, apakah organisasi bersedia mendengar dan mengakomodasi usulan tersebut? Ketika dosen dan tenaga kependidikan memandang bahwa ada strategi rencana operasional dan rencana strategis yang selama ini kurang tepat, apakah organisasi bersedia menerima kritik dan saran tersebut?
Faktor psikologis tersebut pun berlaku pada diri kita sendiri: para pejuang mutu, alias sederetan pejabat struktural yang didapuk untuk menggawangi penjaminan mutu di institusi masing-masing? Apakah kita sudah terjun langsung menyambangi teman-teman di lapangan untuk melihat sendiri seperti apa pelaksanaan aneka kebijakan dari hari ke hari? Apakah kita sudah berempati pada para pelaksana prosedur, ataukah prosedur tersebut kita koleksi rapi di lemari dan laci untuk dikunci lalu kita sakralkan ibarat kitab suci?
ADVERTISEMENT
Sebagai kata penutup, penjaminan mutu bukanlah semata-mata urusan skor akreditasi, peringkat unggul, hafal mati matriks penilaian dan tertib isi portal. Apabila hal-hal seperti ini yang semata-mata dikejar, maka yang bermunculan adalah patuh sebatas di permukaan, taat yang penting asal bapak/ibu senang, sampai bersikap menghalalkan segala cara demi meraih tujuan, termasuk aksi sulap simsalabim apabila kepepet. Ketika kita semua melihat ke dalam untuk bercermin pada organisasi kita masing-masing dan memastikan bahwa semua orang dapat menyampaikan voice, maka perilaku inilah yang dapat membawa kita semua pada mutu pendidikan tinggi yang hakiki dan mumpuni.
Daftar Pustaka
Liang, J., Farh, C. I. C., & Farh, J. L. (2012). Psychological antecedents of promotive and prohibitive voice: A two-wave examination. Academy of Management Journal, 55(1), 71–92. https://doi.org/10.5465/amj.2010.0176
ADVERTISEMENT
Morrison, E. W. (2023). Employee voice and silence: Taking stock a decade later. Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behavior, 10, 79–107.