Konten dari Pengguna

Menggali Esensi Pendidikan dan Pemahaman dalam Tafakur Bersama Budi Djatmiko

SEVIMA
Sentra Vidya Utama (Sevima) adalah Education Technology yang berdiri sejak tahun 2.004, dengan komunitas dan pengguna platform yang tersebar di lebih dari 1.000 kampus se-Indonesia. Bersama kita revolusi pendidikan tinggi, #RevolutionizeEducation!
13 November 2024 11:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari SEVIMA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang semakin materialistis, pendidikan kerap kali dipersepsikan sebagai jalan menuju kesuksesan duniawi. Gelar, status sosial, dan harta menjadi tujuan utama banyak orang saat menuntut ilmu. Kita seringkali beranggapan bahwa keberhasilan dalam pendidikan diukur dari seberapa tinggi jabatan yang dapat diraih, atau seberapa banyak harta yang dapat dikumpulkan.
ADVERTISEMENT
Dalam kajian daring yang disampaikan oleh Dr. Ir. H. M Budi Djatmiko, M.Si., MEI, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), beliau mengajak kita untuk merefleksikan kembali tujuan sejati dari pendidikan dan pencarian kebenaran hakiki yang sering kali terlupakan.
Budi Djatmiko memaparkan sebuah perspektif yang jarang dibahas di ruang kelas maupun seminar-seminar pendidikan konvensional. Menurutnya, kita terlalu sering terjebak dalam paradigma pendidikan yang hanya fokus pada pencapaian materi. Dari tingkat pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi, orientasi kita cenderung diarahkan pada bagaimana cara menghasilkan lebih banyak harta dan meraih posisi tertinggi di masyarakat.
"Kita memotivasi seseorang untuk mengejar kehidupan dengan membangga-banggakan gelar dan jabatan," ucap Budi Djatmiko dalam kajiannya.
ADVERTISEMENT
Namun, beliau menekankan bahwa dalam tafakur dan perspektif tasawuf, harta bukanlah tujuan utama, melainkan ujian. Dr. Budi mengingatkan bahwa harta sering kali menjadi godaan terbesar yang mengalihkan manusia dari tujuan sejatinya, yakni mencari kebenaran hakiki dan kebahagiaan akhirat. Ia mengajak audiens untuk memandang pendidikan sebagai alat untuk memperkuat iman dan mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan semata-mata mengejar duniawi.
Budi Djatmiko juga menyoroti fenomena di mana kampus-kampus lebih banyak mengajarkan teori-teori dari para ahli dan budaya Barat, tetapi jarang mengutamakan ajaran kitab suci sebagai pedoman hidup. "Berbagai asal kebenaran banyaknya bukan main, dari budaya, tradisi, hingga pendapat para ahli. Namun, kita lupa bahwa kitab suci harus menjadi pegangan utama," tegasnya.
Menurutnya, pendidikan tidak boleh hanya berorientasi pada pemahaman ilmiah yang bersumber dari metode fisika, kimia, atau sains Barat. Justru, pendidikan harus mengajarkan kita untuk mencari kebenaran melalui kitab suci, seperti Al-Qur'an, yang dianggap sebagai sumber kebenaran hakiki.
ADVERTISEMENT
Beliau memberikan contoh tentang bagaimana konsep demokrasi yang diadopsi di Indonesia, yang menganggap suara mayoritas sebagai kebenaran. Namun, dalam pandangan Islam, tidak semua suara mayoritas bisa dianggap benar, terutama jika tidak berdasarkan ilmu dan keimanan yang kuat. Hal ini mengingatkan kita bahwa kebenaran bukanlah hasil kesepakatan mayoritas, tetapi harus berlandaskan pada ajaran agama yang benar.
Budi Djatmiko menekankan pentingnya kembali kepada ajaran Al-Qur'an dan sunah sebagai panduan hidup. Beliau menceritakan kisah Rasulullah yang pernah memberikan nasihat kepada seorang petani anggur dan kurma. Meskipun petani tersebut mengikuti saran Rasulullah SAW, hasil yang diharapkan tidak tercapai.
Rasulullah SAW pun dengan rendah hati mengakui bahwa beliau bukan ahli dalam bidang pertanian, dan menyarankan untuk mencari solusi dari ahlinya. Cerita ini menjadi pengingat bagi para pemimpin, termasuk dalam dunia pendidikan, untuk tidak merasa tahu segalanya dan selalu bersikap rendah hati dalam mencari kebenaran.
ADVERTISEMENT
"Kebenaran bukanlah apa yang kita anggap benar, melainkan apa yang bersandar pada Al-Qur'an dan sunah," ujar Budi Djatmiko.
Beliau mengajak para peserta kajian untuk lebih kritis dalam menerima informasi dan teori yang datang dari luar Islam. Banyak teori barat yang tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur'an, sehingga perlu ada kehati-hatian dalam mengadopsi dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pencarian kebenaran hakiki menjadi sangat penting, terutama di zaman yang dipenuhi oleh berbagai informasi dan kebenaran versi masing-masing pihak. Dr. Budi menekankan bahwa jika kita keliru dalam memilih kebenaran, maka kita akan terjebak dalam kebingungan yang akhirnya menyesatkan kita dari tujuan utama, yaitu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam penutup kajiannya, Budi Djatmiko memberikan peringatan bahwa sering kali kita merasa paling benar padahal pemahaman kita sangat dangkal. "Orang yang merasa benar padahal sebenarnya keliru adalah orang yang paling rugi," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, ia mengajak audiens untuk terus mendalami ilmu, terutama yang bersumber dari kitab suci, dan tidak mudah terpengaruh oleh kebenaran-kebenaran yang disampaikan oleh budaya dan tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.