Konten dari Pengguna

Opini Bapak Rafdi: Guru Berseragam Dosen

SEVIMA
Sentra Vidya Utama (Sevima) adalah Education Technology yang berdiri sejak tahun 2.004, dengan komunitas dan pengguna platform yang tersebar di lebih dari 1.000 kampus se-Indonesia. Bersama kita revolusi pendidikan tinggi, #RevolutionizeEducation!
11 Oktober 2024 14:24 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari SEVIMA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Membongkar kedalaman secara empirical, menyelami jati diri dosen merupakan suatu fenomena kausalitas tentang ketersediaan jumlah dosen yang berkelayakan secara strata pendidikin dengan penyeberannya pada berbagai Perguruan Tinggi Swasta/PTS . Sengaja tidak mengotak ngatik Perguruan Tinggi Negri /PTN karena masalah yang akan dibahas hanya kasuistik kalaupun ada terjadi di PTN. Kelayakan seorang dosen paling sederhananya diukur dari strata pendidikan, minimal strata dua serta memiliki kecakapan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
ADVERTISEMENT
Asumsi yang paling melekat dan sudah membumi di kalangan masyarakat bahwa dosen disamakan kinerjanya dengan guru, yakni mengajar. Hanya saja menurut sehari hari bahwa dosen mengajar murid murid yang lebih tua, bahkan pada berjenggot dan ada yang beruban. Lazim pula bila mahasiswa lebih tua usianya dibanding dosen. Jadi dosen itu digeneralisasi untuk defenisi yang sempit, singkatnya dosen itu adalah seorang pengajar di tempat perkuliahan bagi murid tamatan SLTA yang mana muridnya sudah pada tua. Defenisi sekelas pembicaraan pasar ini rupanya mendeskripsikan faktanya secara role. Ini memang benar tapi gawat. Sebab yang mana guru yang mana dosen tipis bedanya.
Campur aduk role dosen dengan guru pada persepsi ringan ini fenomena yang terjadi di PTS. Ada yang aslinya guru,mengajar pagi di Sekolah. Sorenya sebagai dosen,mengajar di perguruan tinggi. Hebatnya lagi ada mahasiswa yang mengatakan bahwa dosennya sekarang merupakan guru sekolahnya dulu.
ADVERTISEMENT
Memang tidak bisa dipungkiri mana kala ada variabel korelasional itu bisa jadi sebagai akar masalahnya : Pengaruh Jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia Terhadap Jumlah Guru yang Menjadi Dosen. Bahwa jumlah perguruan tinggi di Indonesia menduduki peringkat dua terbanyak di dunia yaitu 3.277, disusul Amerika serikat sebagai peringkat tiga sebanyak 3.180. Sedangkan peringkat satu terbanyak adalah India yakni sebanyak 5.349.
Persfektif asesmen guru menjadi dosen bukan hanya bahasan lingkup status, tetapi yang lebih vital dan fatal adalah tentang dosen berkarateristik guru. Faktor inilah sebagai salah satu penyebab lambatnya perkembangan perguruan tinggi di Indonesia, yaitu perkembangan PTS. Hal ini terkait dengan lingkup tugas dan kinerja perguruan tinggi, adalah tentang tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi.
ADVERTISEMENT
Identifikasi katarteristik dosen sebagai guru adalah fenomena mayoritas pada PTS, yaitu hanya berkinerja pada ranah Dharma 1 pendidikan dan pengajaran. Dosen seperti ini memiliki asumsi bahwa tugas dan eksistensi sebagai dosen sudah terpenuhi. Hebatnya lagi merasa menjadi dosen yang bagus bilamana sudah mengajar dengan baik. Tetapi standar pengajar yang baik itupun sesungguhnya tidaklah measurble/terukur. Dosen yang bagus diasumsikan sebagai pengajar yang bagus : rajin, menguasai materi, mahasiswa antusias kepadanya, dan segala jenis instrumen tatap muka lainnya.
Padahal reputasi pada dharma 1 menurut standarisasi terkini bilamana dosen berkemampuan mengajar secara kolaboratif dan inovatif, mampu menguasia kurikulum OBE, mampu membuat RPS, mampu membuat buku ajar, punya pengalaman di luar kampus, karyanya diadopsi di luar kampus. Nah, sebegitupun apakah sudah mendeskripsikan role dosen ? Tentu saja belum. Bahwa eksistensi dosen dan role dosen bisa terpenuhi bila melakukan tiga Dharma : Mengajar, meneliti, Pengabdian ke pada Masyarakat. Lalu apa penamaan yang layak bila hanya eksis pada Dharma 1 ? Justru inilah yang disebut guru. Guru hanya dibebani tugas pendidikan dan pengajaran sehingga regulasi kinerjanya adalah mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. Sementara dosen ada plusnya, yakni tugas pendidikan dan pengajaran yang satu regulasi dengan guru plus standar penelitian dan pengabdian ke pada masyarakat. Istilah ini disebut dengan SNDIKTi.
ADVERTISEMENT
Jadi konotasi sebagai seorang dosen harus mampu mentransformasi ilmu ke pada mahasiswa ( Dharma 1), mampu memecahkan masalah ( Dharma 2 ), mampu untuk melakukan sumbangsih /menyumbang potensinya dalam lingkup pengetahuan,sikap, dan keterampilan ( Dharma 3 ). Dapat disimpulkan kalau guru ranahnya pada Dharma 1, sedangkan dosen berada pada ketiga ranah ini.
Realita dosen pada ranah Dharma 2 adalah masalah klasik yang belum terselesaikan. Tentang dosen yang menganggap Dharma 2 itu hanya sebagai makanan cemilan bukan nasi. Namun yang lebih radikal lagi adalah dengan bangga memperforma kan diri sebagai dosen karena banyak mengajar tetapi kalau disuruh melahirkan karya penelitian justru tersandung. Bingung dari mana hendak kemana. Menulis Kata Pengantar Saja bisa tiga hari. Kadang kadang muncul pula pembelaan dengan diplomasi klasik , bahwa katanya dia berkemampuan memecahkan masalah tetapi tidak bisa menuangkan ke dalam bentuk tulisan. Apa apaan ini. Kan jelas orang yang memiliki modal memecahlan masalah itu jelas melalui instrumen dalam bentuk tulisan. Jadi bagaimana kita menjastifikasinya bahwa dia punya tabungan kemampuan memecahkan masalah sementara instrumennya belum dipunyai. "Tidak bisa menari disalahkan lantai yang tidak datar".
ADVERTISEMENT
Ada pula dosen yang katanya dengan niat yang teguh harus bisa menulis. Mulai sekarang belajar menulis. Tetapi yang dilakukan adalah gonta ganti judul. Menulis satu dua kalimat lalu dicoret kemudian dicari lagi ide baru. Tong sampah penuh robekan kertas bertuliskan ide ide setengah hati dan setengah jadi.
Menyuruh dosen menulis karya penelitian sama halnya menyuruh yang berpenyakit anti dingin mandi air hujan. Alergi pokoknya. Biarlah habis satu bulan gaji daripada disuruh menulis. Apakah yang begini namanya dosen ? Jadi tidak mengherankan kalau muncul usaha pembuatan jurnal ilmiah, nasabahnya para dosen serdos yang tidak bisa menulis, atau dosen yang mau naik jabatan yang juga tidak bisa menulis. Gagah melangkah tapi meminjam sepatu orang lain. Sungguh lucu lucu menyedihkan.
ADVERTISEMENT
Pada bidang Pengabdian ke Pada Masyarakat juga dipandang sesuatu yang gelap. Apa yang diabdikan dan ke pada siapa mengabdi. Wong keseharian hanya pulang pergi kampus dan rumah. Paling juga kalau ada senggang waktu buka hp atau laptop lihat tik tok.
Yang terpaksa melakukan Pengabdian ke Pada Masyarakat oleh sebab status Serdos dan Peningkatan JAD melakukannya mirip shooting flm. Spanduk nya besar lalu berfoto dengan masyarakat di samping spanduk tema pengabdian itu. Bahwa di kampung ini telah diadakan pengabdian , walaupun aktifitasnya tidak dijelaskan tentang bagi bagi indo mie dan beras. Dibungkus pakai kantong kresek mirip bingkisan tahlilan. Kalau begitu, akademisi kalah jauh pengabdiannya dibanding caleg yang kampanye. Caleg hampir semua dibagikan termasuk ada yang menjual rumah untuk bisa bagi bagi. Bahkan antar caleg adu tarif. Yang seratus ribu per kepala sekarang sudah tidak main. Minimal dua ratus ribu. Katanya pembagian ini atas nama kesejahteraan masyarakat tetapi habis itu dia yang miskin karena kursi tidak dapat hartapun habis.
ADVERTISEMENT
Mengapa dosen negri ini separah itu ? Ini tentang portofolio. Sedikit banyak dipengaruhi portofolio pendidikan, mengambil S1 di kelas cabang, S2 di kelas ruko. Setelah tamat langsung pula jadi dosen. Mirip kuliah di STIH, bukan singkatan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, tetapi Setelah Tamat Ilmu Hilang. Pemerintah konsen ke penguatan dosen linieritas prodi, tetapi yang terjadi di atas standar dikti. Ada magister yang mengajar berbagai macam mata kuliah. Mungkin saja gelarnya M.Si ( Magister Segala Ilmu ).
Kalau didiagnosis , lalu dipertanyakan, ada berapa macam jenis penyakit pada seputar eksistensi dosen. Pertama, status guru menjadi dosen, dosen yang berkarakteristik guru karena rumahnya hanya di blok Dharma 1, dosen yang alergi Dharma 2 dan Dharma 3, dosen yang menempuh pendidikan berasal dari kelas instan/kelas cabang, dosen yang mengajar rupa rupa ilmu. Tapi adapula fenomena historical yang sama. Bahwa dosen yang tamatan kelas cabang mengajar pula mahasiswa kelas cabang. Ini dikhawatirkan kalau kalau lulusan yang dihasilkan adalah kelas ranting. Sebab semakin lama manisnya semakin hilang tetapi dia tetap ada, seperti permen karet.
ADVERTISEMENT
Untuk pembeda role dosen dengan guru sebaiknya diberi icon ke pada role dosen yang bernuansa Tri Dharma. Misal, kalau guru disebut pengajar, kalau dosen disebut Pepedi ( Pengajar peneliti pengabdi ). Agar menjadi semacam hidden doktrinisasi bagi yang bersatus sebagai dosen bahwa dia bukan hanya pengajar tetapi juga peneliti dan pengabdi. Selain pemisahan tegas dari karakter sebagai guru bermanfaat pula sebagai pendalaman dan penjiwaan tentang luasnya cakupan kinerja dosen itu, jauh melampaui guru. Pada asesmen BKD , nilai Dharma satu 45, Dharma dua 35, Dharma tiga 10, Dharma penunjang ( masih berkonotasi sebagai Dharma tiga ) 10 . Dari deduktif pembobotan ini sudah cukup jelas bahwa interpretasinya menunjukkan kalau seorang dosen hanya berada pada role Dharma satu berarti level dirinya sebagai dosen baru mencapai 45%, masih jauh untuk menuju 100%.
ADVERTISEMENT
Sumber: Rafdi Penulis Adalah Kolomnis pada Berbagai Media Massa Nasional.