Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Opini Rafdi: Selamat Tinggal Puisi, Selamat Datang Audio Visual
4 November 2024 9:41 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari SEVIMA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Puisi saat ini benar benar porak poranda. Hampir tak lagi ada lomba baca puisi,lomba menulis puisi, apresiasi puisi. Bahkan hampir tak ada lagi karya karya puisi yang mengisi lembaran lembaran anak muda. Puisi sudah lamur pada catatan pinggir media massa, sudah terlewatkan karena seolah itu hanya goresan goresan zaman nan telah lewat. Puisi juga menjadi kurikulum malas malasan di sekolah sekolah. Puisi benar benar terpuruk.
ADVERTISEMENT
Padahal puisi mampu memandang hidup dan kehidupan dari samping, dari celah celah rasa manusia yang tidak memiliki perwadahan selain puisi itu sendiri. Bahwa ada ruh lain yang harus ditempatkan dari sisi lain dari diri manusia, tidak ditemukan pada kasat dan empirical, tetapi adalah suatu yang hidden. Sebab puisi bukanlah logika atau semacam yang bisa diukur dari kecakapan berfikir. Puisi bermukim pada tempat nan jauh, pada samudra hati yang meluas dalam diri seseorang. Dapat dirasakan tapi bukan untuk ditempatkan atas paradigma setting yang terkondisi.
Bahwa puisi mampu merubah pandangan persfektif personal yang pada keseharian, mampu memenej kelembutan dan rasa iba, mampu menyuarakan kedamaian dari sikap, mampu membobot dan menyuguhkan mutu tentang lingkungan, terutama pada ranah intetaksi dan bahtera sosial dengan penjudulan hablumminannas. Adalah tentang bagaimana kita dari dan untuk bersama, lalu kemana kita setelah itu. Bahwa puisi refleksiologis pengaturan pengaturan ritme suatu nada dengan sebutan irama kehidupan nan berisi serta bernas.
ADVERTISEMENT
Media sosial telah menggenosida puisi melalaui pencurian harkat. Lalu dia pindahkan harkat itu ke produk teknologi audio visual, dia paksa kita untuk tertoreh dan lengket pada slogan slogan cengeng flm korea, dia habiskan sekujur waktu kita pada babak babal tik tok, dan terbuai pulalah kita pada pemanggungan imajinatif atas diri melalui dramatisir performa dan peristiwa pemadatan mutu dengan apa yang disebut Fb, diapun menyuruh kita membangun dunia masing masing atas segala pemaksaan terselubung memanfaatkan potensi kehidupan kolektifitas untuk pembentukan identitas yang disebut WA dan WAG. Habislah kita oleh genosida itu.
Apakah orang orang kini tahu siapa Amir Hamzah, Khairul Anwar, Abdul Muis, HB Jasin, Armin Pane, dan lainnya. Kalaupun ditanyakan siapa tokoh sastrawan puisi ini barangkali kita dianggap menanyakan artis medsos sehingga kita balik ditanya " berapa suscriber orang orang ini ?". Begitu gawatnya akibat kolonial versi medsos ini. Sastrawan ini dulunya menjadi pembahasan yang mengasikkan di sekolah sekolah, tentang karya mereka yang gratis tidak diperjual belikan melalui jumlah viuwer bisnis seperti halnya youtube, tentang kebanyakan mereka berjuang untuk tegaknya negara ini, bahkan memandang sebahagian dari mereka bukan hanya tentang sejarah buah karya nan bermutu, tetapi tinta tinta yang dihabiskan merupakan amunisi melawan penjajah. Hingga sebahagian dari mereka yang angkat senjata melalui pena itu dinobatkan menjadi pahlawan nasional.
ADVERTISEMENT
Tentang Amir Hamzah, satu dari Sastrawan Indonesia yang mendunia. Amir Hamzah dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional Tahun 1975. Kita coba memprosais sepenggal puisinya :
"Kau masukkan aku ke dalam taman-dunia, kekasihku!
Kau pimpin jariku, kautunjukkan bunga tertawa; kuntum tersenyum
Kau tundukkan haluku tegak, mencium wangi tersembunyi sepi
Kau gemelaikan di pipiku rindu daun beldu melunak lemah"
Bahwa Amir Hamzah menyampaikan Kau masukkan aku ke dalam taman dunia, kekasihku ( Rasa suka cita mendalam bahwa dunia semisal taman nan indah ) ; Kau pimpin jariku, kau tunjukkan bunga tertawa ; kuntum tersenyum ( Tentang seseorang yang membimbingnya atas indahnya taman dunia, menuntun jarinya untuk menakjubi adanya bunga yang ceria dan tersenyum / personifikasi atas bunga bernama Putri Malu ) ; Kau tundukkan huluku tegak , mencium wangi tersembunyi sepi ( Seseorang tersebut menundukkan atau menekan kepalanya untuk menangkap bahwa adanya wangi yang tersembunyi dalam keadaan sepi ) ; Kau gemulaikan di pipiku rindu daun beldu melunak lemah ( Lalu daun Putri Malu itu disinggungkan ke pipinya sebagai makna tentang rindu dan kelembutan ). *) Belum terjangkau oleh prosais tentang siapa yang dimaksud Amir Hamzah orang yang bersamanya itu. Namun makna puisi ini secara singkat dapat dianalogikan sebagai ekspersi rasa syukron melalui luapan rasa : betapa indahnya ciptaan Allah, dan betapa taman itu ( dunia ) indah serta bernuansa kelembutan, dan betapa sangat menakjubkan.
ADVERTISEMENT
Bilamana puisi tak lagi mendapat tempat sebagai produk pembelajaran sama halnya memiskinkan kompetensi afektif. Puisi sebagai salah satu media bagi materi pembelajaran berbasis soft skill. Yang mengeksploirasi kecakapan yang hanya bisa dapat dirasa dan dinilai dengan kecenderungan instrumen apresiatif. Agar insan tidak hanya berkutik pada azas material nan kasat saja yang hanya tertangkap panca indra.
Berkomunikasi dengan ragam puitis sama halnya dialog bermanusiawai, kodrat manusia sebagai insan natural eststis. Yang kasar dan saklek cenderung sebagai bentuk hewani. Bukankah saat ini proses sosialisasi pendidikan anak dirasuki berbagai bentuk komunikasi yang kasar hingga tek berportal. Tik tok menjadi media tanpa rambu rambu bahkan tanpa aturan. Tik tok seolah kebal hukum, kebal dari saringan normatif, bahkan membawa jauh dari dasar dasar habit.
ADVERTISEMENT
Tidak ada lagi salah satu media penggiringan kesifatan untuk rasa haru dan sedih karena minggatnya puisi. Puisi sebagai transformasi berbagai luapan kemanusiaan dan takdir bahwa sesungguhnya manusia itu lemah lembut. Sungguhpun terhadap manusia yang sehat, akan bisa menangis dan sedih melalui kehalusan makna dan guide style atau gaya bahasa. Namun kehalusan itu akan semakin jauh bila keseharian berhadapan dengan tontonan audio visual. Sebab audio visual tentang segala sesuatunya telah menyuguhkan secara holistik hingga tidak ada tempat kosong untuk wilayah rasa. Bukankan imajinatif yang estetis lahir dari kekosongan, dari sesuatu yang harus dimaknai karena tidak tertangkap panca indra.
Mayoritas medsos yang digunakan berbasis audio visual seperti tampilan flm,drama, berita, dan konten rekayasa. Sementara puisi hanyalah berbasis narasi dan makna. Bila semakin kuat dominasi audio visual akan semakin jauh narasi dan rasa hingga akan semakin jauh pulalah puisi. Dengan demikian muncul pertanyaan akan bagaimana dan dibagaimanakan puisi sebagai kembali menjadi pembelajaran dan suatu produk hasil karya ke depannya ?
ADVERTISEMENT
Sebab puisi sudah bereksistensi demikian luas, melebihi eksistensinya sebagai sebuah karya sastra. Puisi di Indonesia terkait dengan fase sejarah kesusastraan Indonesia, terkait dengan sejarah para pakar sastra, terkait dengan perkembangan pers, terkait dengan sejarah perjuangan bangsa, terkait sastrawan Indonesia yang perlu setidaknya diperbincangkan karena sudah ada yang mendunia, bahkan tetkait dengan buku buku kesusatraan sudah diterbitkan yang umurnya ada yang sudah ratusan tahun. Berarti meninggalkan puisi karena dominasi medsos sama halnya mengubur sejarah yang di dalamnya terdiri dari lapis lapis yang multy paradigma.
Sumber: Rafdi, Penulis Adalah Kolomnis Pada Berbagai Media Massa Nasional