Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Antara Etika dan Elektoral di Balik Mundurnya Mahfud MD
2 Februari 2024 17:00 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Konfridus R Buku tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemilihan Umum (pemilu) 2024 kian dekat pada 14 Februari 2024. Suhu politik tanah air kian memanas menjelang waktu pemilihan umum. Ada begitu banyak manuver-manuver politik dan hal-hal menarik yang dilakukan menjelang hari pencoblosan baik oleh para kontestan maupun oleh para tim sukses atau pendukung dari masing-masing kontestan.
ADVERTISEMENT
Salah satu hal yang menarik perhatian publik adalah mundurnya Menko Polhukam Mahfud MD dari jabatan menteri dalam kabinet Presiden Jokowi. Seperti yang diberitakan kumparan.com pada 31 Januari 2024 Mahfud MD memutuskan untuk mundur dari jabatan Menko Polhukam.
Mahfud saat ini merupakan cawapres nomor urut 03. Dia memutuskan untuk mundur karena tak ingin mencampuradukkan jabatannya dengan posisi politiknya saat ini. Mahfud ingin bertemu langsung dengan Presiden Jokowi dan menyerahkan langsung surat pengunduran dirinya. Mahfud MD menyatakan bahwa hal ini merupakan bagian dari etika dalam menjalankan tugas dan amanah yang telah diberikan.
Momentum mundurnya Mahfud MD dari jabatannya sebagai Menko Polhukam menghadirkan sejumlah hal menarik yang patut untuk ditelaah lebih jauh terutama berkaitan dengan niatan atau iktikad mundurnya Mahfud MD. Banyak pihak yang berspekulasi dalam kaitannya dengan peristiwa mundurnya Mahfud MD. Ada begitu banyak yang pro dan memberi apresiasi yang setinggi-tingginya dengan niatan ini. Namun tidak sedikit juga yang kemudian memberi respons negatif berkaitan dengan peristiwa ini.
ADVERTISEMENT
Bertolak dari hal di atas maka momentum atau peristiwa mundurnya Mahfud MD ini menarik untuk ditelaah lebih jauh terutama berkaitan dengan dua hal yang tentunya akan melekat dalam peristiwa ini yakni berkaitan dengan etika dan manuver elektoral.
Berkaitan dengan etika, banyak pihak yang memuji sikap yang diambil oleh Mahfud MD sebagai sikap yang menjunjung tinggi etika kenegarawanan sejati. Misalnya jauh hari sebelum Mahfud MD mengumumkan pengunduran dirinya Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno menilai bahwa implikasi positif yang akan muncul jika Mahfud mundur akan luar biasa.
Pertama, Pak Mahfud akan dinilai sebagai sosok yang gentleman meninggalkan jabatan politiknya supaya tidak terjadi conflict of interest. Kedua, Pak Mahfud akan menjadi contoh di kemudian hari jika ada pejabat-pejabat publik di negara ini mau berkompetisi secara politik, mundur menjadi pilihan terbaik.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pengumuman mundurnya kalau dilakukan itu akan semakin nyaman bagi kubu Mahfud dan Ganjar untuk mengekspos, untuk mengkritik secara terbuka kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh kekuasaan politik yang hari ini mendukung Prabowo-Gibran (detik.com, 27 Januari 2024).
Mahfud MD dinilai sangat gentelmen dan menjunjung tinggi etika seorang pejabat publik agar tidak terjadi conflict of interest dan lebih dari itu bahwa hal ini untuk menghindari adanya abuse of power, penggunaan kekuasaan yang dimiliki untuk memenangkan dirinya. Dalam konteks etika, momentum mundurnya Mahfud merupakan satu bentuk merupakan pengejawantahan nilai-nilai moral dan kepatutan.
Sebagaimana dilansir dari Stanford Encyclopedia of Philosophy, Plato misalnya melihat etika sebagai keterampilan untuk mencapai tujuan tertinggi manusia dari pemikiran, perilaku moral, dan kebajikan manusia. Mundurnya Mahfud dinilai sebagai sebuah kebajikan berpolitik, sebuah sikap moralitas seorang negarawan yang mengedepankan sikap tanggung jawab untuk terhindar dari praktik-praktik politik kotor.
ADVERTISEMENT
Etika prinsipnya berbicara tentang apa yang sebaiknya dibuat yang tentunya juga baik bagi orang lain. Etika punya kaitannya dengan moralitas. Foucault (1979) misalnya melihat bahwa moralitas berkaitan dengan perintah dan larangan sedangkan etika terkait dengan nasihat praktis tentang bagaimana orang harus menghubungkan dirinya dengan yang lain. Moralitas berhubungan dengan serangkaian aturan dan larangan, maka etika terkait dengan praktik aktual subjek.
Dalam kaitannya dengan momentum mundurnya Mahfud MD etika mengacu pada sikap menjunjung tinggi negarawan dan kepatutan untuk membedakan tugas pokoknya sebagai seorang menteri yang tentunya akan terganggu ketika di saat yang sama ia harus ikut bertarung dalam kontestasi pilpres.
Secara normatif Mahfud MD tidak harus mundur karena telah diatur dalam UU no 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 299 yang selanjutnya di atur juga dalam pasal 281 dan 282. Namun secara etika politik akan lebih mashlat jika Mahfud menyatakan mundur dari jabatannya.
ADVERTISEMENT
Secara etika, praktik baik yang dilakukan oleh Mahfud sekaligus memberi gambaran moralitas seorang pejabat publik yang harus menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dan berkaitan dengan etika politik seorang pejabat publik.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Magnis Suseno (1991) dalam bukunya etika politik bahwa seorang negarawan sejati harus memiliki pengetahuan dan mental yang kuat dengan mengedepankan keadilan dan kejujuran. Dalam mempertahankan kekuasaan dan berpolitik harus menjunjung tinggi moralitas politik yang mana harus mengedepankan kepentingan bersama (bonum commune) di atas kepentingan individu dan kelompok tertentu.
Di sisi lain momentum mundurnya Mahfud MD di saat-saat menjelang waktu pemilihan dan di saat hubungan antara Presiden Jokowi dan PDIP sebagai partai pendukung Ganjar Mahfud sedang tidak baik-baik saja tentunya juga menimbulkan spekulasi lainnya.
ADVERTISEMENT
Momentum ini kemudian dinilai juga sebagai bagian dari manuver elektoral. Sebab tidak sedikit juga yang mempertanyakan mengapa Mahfud MD tidak mengundurkan diri saat dirinya dideklarasikan sebagai cawapres mendampingi Ganjar Pranowo? Mengapa baru saat sekarang?
Jubir TKN Prabowo Gibran sekaligus wakil tim pemenangan Prabowo Gibran, Habiburokman dalam dialog di salah satu media televisi menyatakan bahwa momentum pengunduran diri Mahfud MD adalah bagian dari manuver elektoral. Habiburokman bahkan menganalogikannya dengan ketika seseorang memiliki itikad untuk berpuasa tidak dimulai ketika azan subuh berkumandang melainkan baru mau berpuasa ketika hendak berbuka.
Bagi Habiburokman nilai berpuasa saat hendak berbuka tentunya berbeda dengan berpuasa dari awal. Dalam hukum islam puasa setengah hari yang dilakukan orang dewasa, baligh, atau yang sudah memenuhi persyaratan, hukumnya haram alias tidak mendapatkan pahala sama sekali lantaran mereka membatalkan puasa belum waktunya. Analogi ini dinilai cukup tepat ketika coba disandingkan dengan momentum pengunduran diri Mahfud MD di saat menjelang hari pemilihan umum yang tersisa dua pekan saja.
ADVERTISEMENT
Bahkan jika kita melakukan kilas balik dengan melihat jejak digital, pertengahan Oktober 2023 yang lalu Mahfud MD pernah menyatakan tidak akan mundur dari jabatannya sebagai Menko Polhukam dan akan cuti saat berkampanye. Mahfud MD memilih tidak melepaskan jabatannya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) setelah ditetapkan menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres) Ganjar Pranowo untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 (kompas.com, 18 Oktober 2023).
Momentum pengunduran diri Mahfud yang dinilai terlambat maka oleh sebagian pihak dimaknai sebagai bagian dari manuver elektoral terutama dalam rangka menarik simpati rakyat. Hal ini terutama kemudian dikaitkan dengan pernyataan Presiden Jokowi beberapa saat yang lalu bahwa presiden dapat memihak dan berkampanye yang menghadirkan pro dan kontra seputar netralitas presiden. Hal ini disebabkan juga banyak pihak yang meyakini bahwa Presiden tentunya memihak Prabowo-Gibran. Hal ini kemudian dinilai yang menjadi dasar pertimbangan pengunduran diri Mahfud MD.
ADVERTISEMENT
Manuver elektoral ini dinilai sebagai bagian dari memainkan psikologi pemilih yang umumnya rentan secara emosional dan yang merasa tidak setuju dengan sikap Presiden Jokowi yang dinilai tidak netral. Ada etika dan manuver politik yang dimainkan secara bersama-sama dalam rangka menarik simpati rakyat.
Oleh karena itu sebagai seorang negarawan sejati Mahfud harus juga mampu menghindari penyalahgunaan momentum pengunduran dirinya hanya untuk memuaskan nafsu akan kekuasaan. Semoga pengunduran diri Mahfud berdasar pada pertimbangan etika bukan karena pertimbangan strategi atau manuver politik semata. Karena dengan itu maka jiwa kenegarawan sejati akan benar-benar terpatri dalam diri Prof. Mahfud MD.