Konten dari Pengguna

Memaknai Pengunduran Diri Ratu Wulla

Konfridus R Buku
Dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula Ende
25 Maret 2024 9:48 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Konfridus R Buku tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ratu Ngadu Bonu Wulla, caleg Nasdem dengan suara terbanyak di NTT yang mundur. Sumber:kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Ratu Ngadu Bonu Wulla, caleg Nasdem dengan suara terbanyak di NTT yang mundur. Sumber:kumparan.com
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia khususnya publik NTT akhir-akhir ini dihebohkan dengan berita terkait pengunduran diri calon anggota legislatif nomor urut 5 partai Nasdem, Ratu Ngadu Bonu Wulla, yang mewakili Dapil II NTT. Informasi pengunduran diri ini muncul ke publik pasca diumumkan oleh saksi partai Nasdem Dedy Ramanta diikuti dengan penyerahan surat pengunduran diri kepada KPU.
ADVERTISEMENT
Surat pengunduran diri calon legislatif (caleg) Partai Nasdem dari Daerah Pemilihan (Dapil) II Nusa Tenggara Timur (NTT), saat itu diterima Anggota KPU RI August Mellaz saat memimpin Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Penghitungan Suara Tingkat Nasional untuk Dapil II NTT pada Selasa (12/3/2024) (kompas.com, 12 Maret 2024). Surat pengunduran diri juga diberikan langsung kepada anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Totok Hariyono, yang mengawasi rekapitulasi tersebut.
Pengunduran diri Ratu Wulla ini menjadi heboh dan mengundang banyak tanda tanya dan spekulasi terutama karena berdasarkan hasil rekapitulasi sementara dinyatakan lolos ke senayan dengan 76.331. Anggota Komisi IX DPR RI periode 2019-2024 tersebut memperoleh suara terbanyak dibandingkan enam calon lainnya dari Partai NasDem di Dapil NTT II. Sementara posisi kedua ditempati caleg nomor urut 1, mantan Gubernur NTT periode 2018-2023 Victor Bungtilu Laiskodat, yang mendapatkan 65.359 suara (kompas.id, 15 Maret 2024).
ADVERTISEMENT
Peristiwa pengunduran diri saat rekapitulasi tingkat nasional itu pun menimbulkan spekulasi adanya utak-atik caleg terpilih oleh parpol. Sebab, parpol memiliki ruang untuk mengganti caleg terpilih melalui berbagai jalur. Banyak pihak kemudian berspekulasi berkaitan dengan manuver politik yang dilakukan oleh para elit politik ini.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur mengenai penggantian caleg terpilih. Ada empat kondisi yang mengakibatkan caleg terpilih dapat berubah, yakni meninggal dunia, mengundurkan diri, tidak lagi memenuhi syarat menjadi anggota legislatif, serta terbukti melakukan tindak pidana pemilu, berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Bertolak dari dasar hukum ini maka pengunduran diri Ratu Wulla dianggap sah-sah saja karena dinilai sesuai dengan koridor hukum. Namun oleh publik dinilai janggal dan tentunya penuh dengan intrik dan manuver. Pasalnya pengunduran diri Ratu Wulla ini dilakukan di saat rekapitulasi telah berlangsung dan Ratu Wulla berhak untuk menempati kursi DPR RI karena mengantongi suara terbanyak.
ADVERTISEMENT
Pengunduran diri ini tentunya juga mencederai demokrasi di Indonesia. Pasalnya mayoritas pemilih Ratu merasa seakan-akan dizolimi dengan peristiwa ini. Demokrasi seakan-akan mengalami kemunduran, ketika ada manuver-manuver politik semacam ini. Hal ini terutama karena manuver politik ini seakan-akan mencedrai kepercayaan masyarakat kepada caleg-caleg yang dipilih langsung oleh masyarakat.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan, utak-atik caleg terpilih mencederai sistem proporsional terbuka. Sebab, mandat dari pemilih kepada caleg secara langsung seharusnya dilaksanakan oleh parpol. Tindakan parpol untuk mengganti caleg terpilih melalui berbagai dalih justru menunjukkan pengkhianatan terhadap prinsip kedaulatan rakyat. ”Parpol gagal memahami esensi dari sistem pemilu proporsional terbuka karena dengan seenaknya mempermainkan suara pemilih yang diberikan kepada calegnya secara langsung (kompas.id. 15 Maret 2024).
ADVERTISEMENT
Fadli juga menambahkan bahwa ada dua jalur yang kembali akan digunakan sejumlah parpol untuk mengutak-atik caleg terpilih. Dua jalur dimaksud ialah melalui mekanisme caleg mengundurkan diri dan memberhentikan caleg dari keanggotaan parpol. Kedua jalur penggantian caleg terpilih tersebut rentan dimanfaatkan oleh caleg petahana dan figur yang dekat dengan pemimpin parpol untuk merebut kursi dari caleg internal parpol. Korbannya ialah caleg terpilih dari pendatang baru dan caleg yang tidak memiliki kedekatan dengan elite parpol.
Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago juga menyatakan bahwa ada kepentingan politik dari pengunduran diri Ratu Wulla. Pangi menyebut, di dalam dunia politik, selalu ada kepentingan tertentu. Sehingga hampir mustahil pengunduran diri Ratu Wulla tanpa ada maksud politik yang tengah direncanakan.
ADVERTISEMENT
Pengunduran diri Ratu Wulla bukanlah sebuah kebetulan dan bukan tanpa intrik dan kepentingan politik. Manuver politik ini tentunya erat kaitannya dengan politik transaksional. Ada deal-deal politik yang terjadi di belakang panggung politik. Ada kepentingan tertentu yang terselubung di balik pengunduran diri ini.
Hal ini tentunya sejalan dengan pemikiran Erving Goffman tentang dramaturgi. Goffman menganalogikan dunia sosial seperti layaknya sebuah ‘panggung sandiwara’ yang mengharuskan manusia memainkan berbagai peran yang tidak tunggal dalam kehidupan sehari-hari. Goffman dalam bukunya The Presentation of Everyday Life (1959) mendefinisikan dramaturgi sebagai sandiwara kehidupan yang mengharuskan manusia memainkan peran dengan menampilkan sisi depan (front stage) dan sisi belakang (backstage).
Dalam konteks dinamika politik Indonesia bisa dikatakan bahwa para elit politik kita sedang melakukan drama sandiwara politik. Ketika berada di panggung depan (front stage) para elit politik selalu membarikan sejumlah statement yang berusaha untuk menyembunyikan realitas politik yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Pengunduran diri Ratu Wulla adalah konten politik yang dimainkan oleh para elit politik dalam pentas panggung sandiwara politik. Suara rakyat bukan lagi suara Tuhan, melainkan telah berubah menjadi suara petinggi partai. Suara rakyat bisa dengan mudah dipermainkan hanya demi melanggengkan nafsu akan kekuasaan. Rakyat seakan-akan dibodohi dengan demokrasi yang ditelanjangi oleh para elit politik.
Aturan dalam UU Pemilu dan PKPU untuk mengganti caleg terpilih terkesan sangat longgar. Penggantian caleg terpilih seharusnya hanya bisa dilakukan jika caleg berhalangan tetap, sama seperti ketentuan penggantian calon presiden dan wakil presiden terpilih. Jika ada yang mengundurkan diri, mesti ada kualifikasi yang ketat agar pengunduran diri tidak mudah diajukan.
Bertolak dari fenomena ini maka hendaknya UU Pemilu hendaknya direvisi agar KPU tidak mudah memproses surat pengunduran diri ataupun surat pemberhentian dari parpol. Dalam pemilu yang akan datang KPU harus memverifikasi kebenaran dari berbagai dalih tersebut untuk memastikan tidak adanya unsur paksaan dan kesengajaan untuk mengkhianati mandat dari pemilih. Jangan sampai suara pemilih dan prinsip daulat rakyat seenaknya dipermainkan oleh parpol. Vox Populi Vox Dei.
ADVERTISEMENT