Konten dari Pengguna

Menelaah Netralitas Presiden Di Tengah Diskursus Presiden Boleh Memihak

Konfridus R Buku
Dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula Ende
29 Januari 2024 8:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Konfridus R Buku tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat menjawab sejumlah pertanyaan wartawan di Terminal Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat menjawab sejumlah pertanyaan wartawan di Terminal Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Iklim politik di Indonesia kian memanas sejalan dengan semakin dekatnya waktu pemilihan umum 14 Februari 2024. Iklim politik ini semakin memanas terutama dipicu oleh manuver-manuver politik sejumlah pejabat publik mulai dari isu mundurnya sejumlah menteri hingga isu terbaru soal presiden boleh memihak dalam pemilu 2024. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan seorang Presiden boleh memihak dan berkampanye selama masa pemilihan presiden (pilpres), selama berpedoman pada aturan kampanye, serta tidak menggunakan fasilitas negara. Hal tersebut disampaikan Jokowi di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1) (CNN Indonesia.com, 25 Januari 2024).
ADVERTISEMENT
Pernyataan presiden boleh memihak kemudian menghadirkan sejumlah tanggapan pro dan kontra. Menurut wakil TKN Prabowo-Gibran Habiburokhman, presiden tidak harus netral asalkan tidak menyalahgunakan kekuasaannya untuk menguntungkan atau merugikan pasangan tertentu. Namun, di sisi lain, calon presiden nomor 01, Anies Baswedan, menyatakan bahwa pernyataan Jokowi saat di Halim Perdanakusuma berbeda dengan yang dia dengar sebelumnya bahwa presiden akan netral, mengayomi semua, memfasilitasi semua (Tempo.co, 25 januari 2024).
Ketua DPP PDIP Nusyirwan Soejono menyebut seharusnya Jokowi bersikap seperti apa yang pernah diucapkan terkait netralitas. Sejalan dengan itu Jubir TPN Ganjar-Mahfud Achmad Baidowi atau Awiek mengatakan memang tidak ada larangan asalkan tidak memakai institusi kepresidenan untuk kepentingan politik. Dia mengingatkan agar Jokowi tidak menggunakan instrumen kepresidenan jika ingin kampanye. Awiek mengatakan secara pribadi, Jokowi memiliki hak untuk menentukan pilihannya. Namun, dia mewanti-wanti agar tidak ada konflik kepentingan dari dukungan Jokowi tersebut (detik.com, 25 Januari 2024).
ADVERTISEMENT
Melihat sejumlah diskursus tentang netralitas presiden dan pernyataan presiden boleh memihak yang berkembang di ruang publik menyebabkan Jokowi kemudian lebih lanjut menjelaskan pernyataannya. Presiden Jokowi memberikan penjelasan terkait pernyataannya soal boleh memihak dan kampanye di Pilpres. Katanya, yang disampaikan adalah ketentuan sesuai UU bukan sebaliknya menyatakan beliau akan turut dalam kampanye dan memihak salah satu calon (kumparan.com, 26 Januari 2024).
Presiden Joko Widodo menyampaikan aturan soal presiden boleh kampanye di Istana Bogor, Jumat (26/1/2024). Foto: Youtube/Sekretariat Presiden
Bertolak dari pro dan kontra bahwa presiden boleh memihak dan berkampanye yang walaupun kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Jokowi namun diskurus ini seakan-akan mengusik kembali keraguan publik akan janji netralitas presiden Jokowi dalam pemilu 2024. Pada kesempatan sebelumnya Presiden Joko Widodo berulang kali menegaskan sikap netralnya pada Pemilihan Presiden 2024. Tak sebatas itu, instruksi netral selama pemilu disampaikan presiden untuk para pemimpin daerah, aparatur sipil negara, hingga personel TNI-Polri. Meski demikian, tak mudah untuk meyakinkan publik, apalagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju di pemilihan sebagai bakal calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
ADVERTISEMENT
Sikap netral Presiden Jokowi pertama kali disampaikan pada 22 Oktober lalu. Saat ditanya terkait dengan preferensi dukungannya di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Jokowi menjawab mendukung semua pasangan capres-cawapres yang ada demi kebaikan bangsa. Sikap netral itudisampaikannya untuk menjawab suara publik yang ingin Jokowi netral, seperti disuarakan bakal capres saat Jokowi makan siang bersama ketiga bakal capres, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto, di Istana Negara, Senin (30/10/2023) (kompas.id, 2 November 2023).
Janji netralitas presiden dalam pemilu 2024 seakan-akan kembali diuji terutama berkaitan dengan diskurus yang terjadi akhir-akhir ini. Jika merujuk pada arti netralitas sendiri berasal dari kata netral yang artinya tidak membantu dan memihak salah satu pihak. Netralitas adalah keadaan dan sikap netral (tidak memihak) sehingga seseorang dapat dikatakan netral apabila ia tidak memihak kepada salah satu pasangan calon dan atau pihak manapun dalam pemilihan umum dan atau pemilihan kepala daerah (Rahmansyah;2021). Presiden sebagai kepala negara seharusnya menjunjung tinggi netralitas sebagaimana Hegel menegaskan bahwa negara yang dianggap memiliki kekuasaan dan nilai-nilai moral yang utama, harusnya berdiri netral di tengah-tengah individu warga masyarakat yang memiliki beragam kepentingan yang subyektif. Negara (presiden) harus mampu mengurusi, memfasilitasi dan menjembatani kepentingan-kepentingan individu warga masyarakat secara absolut agar mereka mampu tinggal dalam masyarakat negara yang merdeka dan sejahtera bagi semua (Gedeona:2013).
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan apa yang dikatakan Hegel, maka netralitas presiden dan atau apakah presiden boleh memihak tentunya berkaitan dengan dua hal yakni kepantasan atau kepatutan (etika, nilai-nilai moral yang utama) dan keadilan elektoral (memfasilitasi dan menjembatani kepentingan masyrakat). Pertama, kepantasan atau kepatutan dapat merujuk pada dua hal yakni pantas atau patut secara etika normatif dan pantas secara etika politik. Secara etika normatif seorang presiden dapat memihak dan berkampanye karena hal tersebut telah tertuang dalam UU Pemilu nomor 7 tahun 2017 Pasal 299 ayat 1 bahwa presiden wakil presiden serta pejabat negara lainnya yang berstatus sebagai anggota partai politik boleh berkampanye dan selanjutnya diatur dalam Pasal 281 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu “ yang menyatakan bahwa kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota, dan Wakil Wali Kota harus memenuhi ketentuan: (a) Tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan; dan (b) Menjalani cuti di luar tanggungan negara. Serta hal ini juga diikuti oleh beberapa pasal lainnya misalnya dari pasal 282 dan 283 undang-undang pemilu nomor 7 tahun 2017 (kumparan.com, 25 Januari 2024).
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Idham Holik mengatakan bahwa Undang-Undang Pemilu memperbolehkan presiden dan menteri ikut berkampanye. Meski diperbolehkan ikut kampanye, presiden dan wapres yang masih menjabat harus memenuhi pelbagai persyaratan. Di antaranya harus cuti di luar tanggungan negara serta tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya (kumparan.com, 25 Januari 2024). Artinya bahwa secara normatif presiden memiliki hak politik termasuk di dalamnya soal memihak dan berkampanye. Namun hal yang dilarang adalah berkaitan dengan penggunaan fasilitas negara, pengambilan kebijakan dan keputusan yang menguntungkan salah satu pihak. Jika kemudian Presiden memutuskan untuk ikut berkampanye maka presiden harus mengajukan cuti. Hal ini terutama agar tidak terjadi abuse of power atau pengerahan kekuasaan untuk memenangkan paslon tertentu.
ADVERTISEMENT
Jika berkaitan dengan kepantasan atau kepatutan secara etika politik atau etika sosial maka presiden diharapkan menjaga netralitas. Sebagai seorang negarawan maka presiden diharapkan mampu menunjukan marwahnya sebagai negarawan sejati dengan tetap menjunjung tinggi netralitas. Jika pada kesempatan-kesempatan sebelumnya presiden menghimbau bahwa sejumlah bawahannya ASN, TNI-Polri dan sejumlah pejabat publik lainnya harus menjunjung tinggi netralitas maka secara etika pula presiden harusnya tetap mampu memberikan contoh netralitas yang baik kepada pejabat publik lainnya. Kepantasan ini melakat pada jiwa negarawan sejati. Sebagai negarawan presiden tentunya diharapkan mampu mengayomi, dan memfasilitasi semua calon untuk bertarung secara ksatria dan elegan hingga kemudian rakyatlah yang menentukan siapa yang layak memimpin bangsa ini kedepannya.
ADVERTISEMENT
Kedua, berkaitan dengan keadilan elektoral. Konsep keadilan elektoral (electoral justice) merupakan instrumen penting untuk menegakkan hukum dan menjamin sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan pemilihan yang bebas, adil, dan jujur (International IDEA, 2020). Jika kemudian presiden harus 'turun gunung' ikut berkampanye banyak pihak yang kemudian mempertanyakannya walaupun secara normatif adalah sah. Sebab hal ini akan sangat menguntungkan paslon yang didukung presiden. Hal ini dianggap tidak adil bagi pasangan calon yang lainnya dan dianggap mengganggu prinsip demokrasi elektoral. Keadilan elektoral menjadi penting agar setiap pasangan calon memiliki peluang yang sama untuk bertarung secara apple to apple, toh pada akhirnya rakyatlah yang menentukan kepada siap negara ini dititipkan selama 5 tahun ke depan.
ADVERTISEMENT
Presiden hendaknya tetap mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi elektoral dan menjaga marwah negarawan sejati sekaligus kembali mengedepankan prinsip netralitas seorang pejabat publik. Demokrasi sejati ditentukan oleh keeleganan seorang pemimpin yang memberi contoh dan mengayomi. Akan sangat elegan ketika Jokowi tampil mengedepankan netralitas dan mengesampingkan politik kepentingan. Hal itu bisa dilakukan hanya dengan menumbuhkan kembali apa yang oleh HA Giroux (1992) disebut sebagai suatu budaya baru, yaitu sebuah budaya yang didefinisikan sebagai acuan dan praktik bagi kenegarawanan yang kritis, perjuangan untuk demokrasi dan kepedulian terhadap kesejahteraan umum (bonum commune). Dengan kata lain, diperlukan sebuah transformasi kultural untuk merekonstruksi struktur kekuasaan. Kekuasaan memang sungguh memikat, namun pesona dari kekuasaan tersebut bisa berubah mengeroposkan komitmen pada nilai-nilai demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya keputusan untuk menentukan apakah presiden akan ikut berkampanye dan secara terbuka menyatakan dukungannya terletak pada pertimbangan presiden sendiri. Namun harapannya bahwa presiden hendaknya tetap menjaga marwah negarawan sejati dengan tetap menjaga netralitas.