Urgensitas Amicus Curiae Megawati Soekarnoputri

Konfridus R Buku
Dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula Ende
Konten dari Pengguna
20 April 2024 23:05 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Konfridus R Buku tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang diwakili Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto memperlihatkan Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan untuk MK di Kantor Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (16/4/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang diwakili Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto memperlihatkan Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan untuk MK di Kantor Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (16/4/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemilihan Umum 2024 telah diselenggarakan dan sedang menyisakan proses sengketa yang tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Menjelang akhir persidangan sengketa Pilpres dan di tengah penyerahan kesimpulan sidang sengketa pilpres 2024 oleh masing-masing pihak kepada Mahkamah Konstitusi, Megawati Soekarnoputri melalui Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto dan Djarot Saiful Hidayat, Selasa (16/4/2024) menyerahkan surat atau dokumen Amicus Curiae di Mahkamah Konstitusi (kumparan.com, 16 April 2024).
ADVERTISEMENT
Amicus Curiae yang diajukan Megawati ke MK merupakan kelanjutan dari opininya yang diterbitkan pada harian kompas.id tentang 'Kenegarawan Hakim Mahkamah Konstitusi' pada 8 April 2024. Amicus Curiae ini berangkat dari kegelisahan yang digambarkan Megawati dalam dua hal yakni; Pertama, ujian untuk mengembalikan kepercayaan publik yang sirna akibat dibacakannya Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Kedua, ujian untuk memeriksa sengketa pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) dalam jangka waktu yang singkat namun mampu menampilkan keadilan yang hakiki sesuai dengan sikap kenegarawanan para hakim MK, mengingat Pemilu memiliki dengan dampak yang sangat luas bagi kehidupan bangsa dan negara (kompas.com, 16 April 2024).
Amicus curiae Megawati pada hakikatnya merupakan sebuah permintaan agar hakim MK bisa tetap menjaga marwah supermasi hukum di tanah air. Hal ini didasari atas prinsip dasar bahwa setiap warga negara perlu memperoleh keadilan substantif. Bertolak dari hal inilah yang kemudian dituangkan dalam empat pesan substantif yang digambarkan Megawati dalam dokumen 'amicus curiaenya' tersebut (kumparan.com, 16 April 2024).
ADVERTISEMENT
Pertama, kebenaran tetaplah kebenaran. Ia tidak bisa dimanipulasi, sebab ia menjadi hakikat. Kedua, kebenaran dalam pengambilan keputusan muncul dari pikiran dan nurani yang jernih. Jernih seperti air. Air jernih adalah pikiran dalam alam kebenaran.
Ketiga, qana’ah, merasa cukup terhadap apa yang ada. Ketika konstitusi membatasi jabatan masa presiden dua periode, itulah kebenaran yang harus ditaati, tidak bisa diperpanjang, baik secara langsung maupun tak langsung.
Keempat, dalam bahasa Rusia disebut utrenja, yang artinya fajar. Tidak ada kekuatan yang bisa menghalangi fajar menyingsing di ufuk timur.
Dengan empat pedoman sederhana di atas, setiap pemimpin, termasuk hakim Mahkamah Konstitusi, dapat mengasah hati nurani dan budi pekertinya agar setiap tindakan dan keputusan politiknya selalu memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Megawati juga kemudian meminta para hakim MK untuk belajar dari putusan Nomor 90/PUU-XI/2023 yang sangat kontroversial, yang melahirkan sejumlah polemik. Megawati berharap bahwa ketukan palu hakim Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan menjadi pertanda antara memilih kegelapan demokrasi atau menjadi fajar keadilan bagi rakyat dan negara.
Bertolak dari hal di atas terdapat beberapa hal yang perlu ditelaah lebih jauh. Pertama, apa itu amicus curiae? Amicus curiae adalah sistem yang memiliki mekanisme di mana pihak ketiga, bukan pihak berperkara, bisa memberi masukan kepada pengadilan dalam suatu perkara. Sistem ini adalah warisan dari sistem hukum Romawi kuno, lalu diwarisi oleh sistem common law. Dalam banyak hal, sistem civil law pun memiliki mekanisme serupa, termasuk di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Melalui amicus curiae berbagai pihak dapat memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Kendati demikian pendapat hukum yang disampaikan itu hanyalah sebatas opini semata dan bukan melakukan perlawanan. Ketentuan berlakunya amicus curiae dalam sistem hukum Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dilansir dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), amicus curiae bukan merupakan bentuk intervensi terhadap kebebasan hakim dalam memutus suatu perkara. Akan tetapi, dia justru membantu majelis hakim dalam memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus perkara.
Kedua, urgensitas amicus curiae Megawati Soekarnoputri. Di tengah kegelisahan publik seperti yang gambarkan oleh Megawati dalam suratnya kepada MK, nampak bahwa sebuah amicus curiae menjadi sebuah keniscayaan.
ADVERTISEMENT
Pemilu 2024 berangkat dari kontroversial putusan nomor 90/PUU-XI/2023 yang kemudian melanggengkan dan memuluskan jalan Gibran menjadi Cawapres Prabowo. Banyak pihak yang menilai bahwa putusan tersebut tidak lepas pisah dari campur tangan Anwar Usman yang merupakan paman Gibran.
Di sisi lain kegelisahan juga datang akibat maraknya politisasi bansos yang diduga terjadi dalam Pemilu 2024. Dan hal ini masih sedang dibuktikan dalam sidang sengketa pilpres 2024.
Amicus curiae bisa menjadi salah satu masukan bagi MK untuk mengambil putusan pada perkara sengketa pilpres 2024. Amicus curiae bahkan seruan-seruan moral lainnya menjadi cukup penting agar hakim MK bisa tetap dikawal.
Namun hal yang tetap perlu diperhatikan adalah independensi putusan hakim MK. Amicus curiae pada prinsipnya bukanlah sebuah intervensi melainkan lebih pada seruan moral agar supermasi hukum bisa ditegakan, terlepas dari siapa yang salah dan siapa yang benar.
ADVERTISEMENT
Namun pertanyaannya adalah apakah pantas bagi Megawati mengajuan diri sebagai amicus curiae atau sebagai sahabat pengadilan. Jika merujuk pada rekam jejak Megawati sebagai seorang mantan Presiden RI ke-5 yang merupakan penggagas berdirinya Mahkamah Konstitusi maka Megawati layak untuk dapat menjadi amicus curiae.
Namun di sisi lain posisi Megawati yang adalah ketua umum PDIP yang merupakan partai pengusung Ganjar-Mahfud dan yang merupakan bagian dari pihak sengketa maka Megawati dinilai tidak pantas untuk menjadi amicus curiae. Hal ini terutama didasari bahwa apa yang disampaikan Megawati dalam suratnya umumnya sudah dan merupakan bagian dari pokok aduan perkara dalam gugatan sengketa pilpres.
Selain itu amicus curiae Megawati dinilai juga syarat akan konflik kepentingan karena Megawati termasuk dalam bagian pihak pemohon walaupun bukan pemohon secara langsung. Oleh karena itu Megawati dinilai kurang pantas menjadi amicus curiae selama masih melekat jabatannya sebagai ketua umum parpol. Sebab akan ada konflik kepentingan yang bisa saja melatarinya.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari semua itu pesan-pesan moral yang disampaikan Megawati pada hakikatnya perlu juga diapresiasi secara positif. Lebih dari itu pesan-pesan dan seruan moral dan etika seperti yang disampaikan Megawati dan juga oleh Magnis Suseno dalam kesaksiannya sebagai saksi ahli sekiranya perlu juga menjadi bahan pertimbangan.
Namun lebih di atas semuanya itu keadilan substantif harus tetap ditegakan. Opini dan seruan moral adalah masukan, namun tidak menjadi sebuah kebenaran absolut. Kebenaran dan keadilan harus dapat dibuktikan melalui pembuktian yang empiris.
Sehingga pada akhirnya seperti yang disampaikan oleh Megawati dalam suratnya bahwa keputusan yang diketuk oleh hakim MK tidak seperti palu godam melainkan palu emas. Kita percaya bahwa hakim MK mampu menjalankan tugasnya dengan baik yang pada akhirnya dapat memutuskan yang terbaik bagi masa depan bangsa ini. Walaupun keputusan tersebut belum tentu mampu menyenangkan semua pihak.
ADVERTISEMENT