Konten dari Pengguna

Koopssus Harus Diperhatikan secara Khusus

KontraS
Akun resmi KontraS
1 Agustus 2019 10:12 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KontraS tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anggota TNI AD. Foto: ANTARA FOTO/Rahmad
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anggota TNI AD. Foto: ANTARA FOTO/Rahmad
ADVERTISEMENT
Pada Selasa (30/7), Panglima TNI, Hadi Tjahjanto, meresmikan pembentukan Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI. Pembentukan tim tersebut didasari oleh beberapa Peraturan Perundang–undangan: Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia, dan Peraturan Panglima (Perpang) TNI Nomor 19 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tugas Komando Operasi Khusus Tentara Nasional Indonesia.
ADVERTISEMENT
Berkenaan dengan hal tersebut, KontraS kembali menekankan bahwa pelibatan TNI dalam penanganan terorisme harus mempertimbangkan instrumen, aturan hukum yang terkait, termasuk keselarasan tugas dan fungsi masing-masing lembaga atau institusi terkait, sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang berlaku, hingga akuntabilitas, dan hak asasi manusia. Berkenaan dengan hal-hal tersebut, berikut catatan kritis KontraS terhadap pembentukan Koopssus.
Pertama, dalam melakukan penanganan terorisme, TNI terikat dalam ketentuan Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 7 ayat (2) dan (3); pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme harus tetap dalam konteks Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik.
Lebih jauh, dalam hal ini militer bukanlah penegak hukum tetapi alat pertahanan negara, sehingga potensi pendekatan war model oleh Koopssus TNI dalam penanganan terorisme sangat mungkin terjadi. Oleh karenanya, keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme harus dipastikan tunduk pada aturan UU tersebut. Dalam praktiknya, selama ini pun TNI sudah terlibat dalam penanganan terorisme di Poso tanpa harus membentuk Koopssus, sehingga pembentukan Koopssus bukanlah sesuatu yang mendesak untuk penanganan terorisme.
ADVERTISEMENT
Kedua, dalam pertimbangan Perpres Nomor 42 Tahun 2019, keberadaan Koopssus disebut sebagai upaya menghadapi ancaman yang memiliki eskalasi tinggi dan dapat membahayakan ideologi negara. Menggabungkan matra darat, laut, dan udara, yang bercirikan kemampuan khusus dengan tingkat kecepatan gerak dan keberhasilan tinggi secara terintegrasi.
Berkaitan dengan frasa 'eskalasi tinggi', ukuran yang dimaksud pun tidak dijelaskan secara mendetail. Tidak dijelaskan pula terkait keselarasan tugas dengan institusi yang sudah ada, seperti Densus (Detasemen Khusus) 88 juga BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme).
Masih belum jelas sejauh mana kewenangan yang nantinya akan dimiliki oleh Koopssus TNI, serta bagaimana hubungan antara Koopssus TNI dengan Densus 88 Polri. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai, apakah Koopssus TNI nantinya akan bekerja secara otonom tanpa berada di bawah komando Polri sebagai aparat keamanan negara? Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan, pengulangan tindakan, hingga kompetisi antar institusi atau kesatuan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pelaksanaan UU Tindak Pidana Terorisme harus tunduk pada sistem peradilan pidana (criminal justice system). Dalam hal ini TNI bukanlah penegak hukum yang punya kewenangan menyelidiki dan menyidik dugaan tindak pidana terorisme. Oleh karenanya, kewenangan Koopssus TNI yang luas tanpa batasan yang jelas dalam penanganan terorisme, rentan merusak sistem peradilan pidana.
Keempat, mekanisme akuntabilitas TNI masih menjadi pekerjaan rumah sampai hari ini. Agenda revisi undang–undang peradilan militer mengalami kemandekan. Pengadilan militer masih menjadi celah terjadinya impunitas. Dalam hal keterlibatan TNI, Koopssus TNI dalam penanganan terorisme tidak disertai dengan mekanisme akuntabilitas dan pengawasan yang memadai dan efektif. Sehingga, potensi terjadinya impunitas (ketiadaan penghukuman) terhadap anggota TNI yang melakukan pelanggaran, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran HAM dalam penanganan terorisme bisa saja terjadi.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, kami mendesak DPR RI dan Presiden RI, selaku institusi yang memiliki kewenangan politik, untuk mengawasi dan mengendalikan TNI, memastikan mencegah terjadinya kerentanan dan persoalan yang kami sampaikan di atas.
Jakarta, 31 Juli 2019
Badan Pekerja KontraS
Yati Andriyani
Koordinator
narahubung: 081298019266