Konten dari Pengguna

Realita-Citra Bhayangkara

KontraS
Akun resmi KontraS
1 Juli 2022 10:02 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KontraS tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi garis polisi. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi garis polisi. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Hari ini, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tepat berusia 76 tahun. Sebagai badan yang tidak lagi muda, Korps Bhayangkara telah merasakan asam garam kehidupan. Artinya, Polri sudah menemui berbagai tantangan yang selayaknya dijadikan landasan perbaikan.
ADVERTISEMENT
Saya lahir di era Orde Baru. Di masa itu, saya banyak mendengar celotehan orang dewasa yang menempatkan Polri dan anggotanya laksana momok atau kenistaan. Ketika saya berperilaku ugal-ugalan, para tetua menakut-nakuti saya dengan pernyataan “Awas lho, nanti kamu ditangkap polisi.” Tatkala membicarakan cita-cita, giliran pernyataan-pernyataan seperti “Jangan menjadi polisi; menjadi dokter saja agar hidup lebih makmur” atau “Orang-orang yang menjadi polisi tuh bodoh-bodoh; berbeda dengan yang menjadi tentara” yang lumrah saya temui.
Ekspresi-ekspresi di atas menjadi penanda bahwa citra Polri di mata masyarakat saat itu sangat hina. Alhasil, pasca Reformasi 1998, berbagai upaya peningkatan citra Korps Bhayangkara dilakukan dengan hasil yang memuaskan. Survei Indikator Politik Indonesia (IPI), misalnya, menunjukkan bahwa setidaknya sejak 2014 hingga 2021 terdapat peningkatan tajam kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Di 2014, tingkat kepercayaan masyarakat hanya sekitar 57,5%. Tujuh tahun kemudian, angka tersebut melejit ke kisaran 80,2%.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah langkah-langkah Polri meningkatkan impresi di benak masyarakat selaras dengan ikhtiar memperbaiki kinerja? Apakah langkah-langkah memperbaiki image sama dengan langkah-langkah mewujudkan fungsi penegakan hukum yang lebih profesional dan manusiawi? Saya rasa tidak.

Membedakan Citra dan Kinerja

Kedua hal tersebut berada di ruang yang berbeda. Upaya memperbaiki citra tidak serta merta diikuti perbaikan kinerja. Contohnya, salah satu langkah peningkatan citra Polri terlihat dari kampanye ‘Turn Back Crime’ beberapa tahun terakhir.
Penggunaan slogan berbahasa inggris memberi kesan modern, menggantikan slogan-slogan terdahulu yang abreviatif, jargonistik, dan ‘jadul.’ Masyarakat pun tiba-tiba disuguhkan dengan anggota kepolisian yang beraksi mengenakan atasan biru kelasi, celana kargo, dan sepatu kets; lebih modis ketimbang seragam kepolisian yang identik dengan warna abu-abu kecokelatan atau polisi berbaju ‘preman’ yang beroperasi dengan kaos belel yang dilapisi kemeja berwarna pudar.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah lantas slogan yang tampak progresif dan polisi yang berpenampilan lebih perlente sama artinya dengan kapasitas yang lebih profesional dan manusiawi? Tidak. Kita tetap menemui keterlibatan polisi dalam berbagai tindak kekerasan.
Dalam setahun terakhir saja, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menemukan setidaknya 677 kasus dugaan kekerasan yang melibatkan anggota kepolisian. Bentuk kekejian yang mendominasi adalah penembakan, dengan jumlah 456 kasus, dan disusul oleh penganiayaan dengan 83 kasus dan 47 kasus penangkapan sewenang-wenang.
Setidaknya 59 orang menjadi korban penangkapan sewenang-wenang, 928 orang luka-luka, dan 1.240 nyawa melayang. Lebih kejamnya lagi, anak-anak pun menjadi korban. Contohnya, di Oktober 2021, anggota kepolisian di Bali menyetrum, menendang, memukul, dan menginjak seorang siswa SMP hingga mengalami patah kaki. Di Ternate, seorang bayi berusia lima bulan mengalami sesak nafas akibat terkena gas air mata saat kepolisian berusaha membubarkan aksi unjuk rasa pada April 2022.
ADVERTISEMENT

Tidak Pernah Ada Rencana Meraih Kemenangan?

Temuan KontraS memperkuat keyakinan saya bahwa perbaikan citra tidak serta merta diikuti peningkatan kinerja. Polri seolah-olah tidak mengambil pelajaran dari pengalaman buruknya di masa lampau. Di periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo saja terdapat setidaknya total 2.249 dugaan kekerasan yang melibatkan Polri: 921 kasus di periode 2019 sampai 2020, 651 kasus di 2020 sampai 2021, dan 677 kasus setahun ke belakang.
Lantas, hasil-hasil survei atas kinerja kepolisian perlu ditanggapi dengan hati-hati. Pasalnya, penilaian masyarakat bisa jadi tidak menyeluruh, hanya berlandaskan pada pengalaman yang bersifat partikelir, dan dipenuhi bias. Responden survei yang terbuai dengan kampanye-kampanye peningkatan citra Polri dan luput mencermati praktik-praktik kekejaman tentu akan menilai baik kinerja kepolisian dan menyatakan bahwa dirinya percaya pada Korps Bhayangkara.
ADVERTISEMENT
Saya jadi teringat ketika di 2011 Julian Assange, pewarta asal Australia yang ditahan karena membocorkan dokumen-dokumen rahasia perang Amerika Serikat, berkata bahwa operasi militer Amerika Serikat di Afghanistan “dirancang untuk tidak berakhir dan bukan untuk meraih kemenangan.” Pernyataan Assange didasari atas dugaan adanya kepentingan bisnis dalam perang di Afghanistan.
Mengingat bahwa jumlah kasus dan korban kekerasan Polri tentu akan bertambah secara signifikan jika kita menghitung temuan dari berbagai waktu di masa lampau, salahkah ketika kita beranggapan bahwa Korps Bhayangkara sejatinya gagal menjadi penegak hukum yang profesional dan manusiawi? Bisakah kita berasumsi bahwa, jangan-jangan, Polri memang tidak pernah berencana untuk meraih kemenangan dalam aspek reformasi kelembagaan dan justru merancang agar ketidakbecusan tak pernah berakhir? Jika iya, lantas kepentingan apa (atau siapa) yang membuat Korps Bhayangkara seolah tidak pernah merencanakan keberhasilan?
ADVERTISEMENT

Perbaiki Polri Sekarang

Yang jelas, jika asumsi-asumsi di atas benar, maka bukan kepentingan masyarakat lah yang diperjuangkan kepolisian karena saya dan banyak orang lainnya menginginkan Polri yang transparan, bertanggung jawab, bertindak saat perlu, tidak berlebihan, dan ramah.
Upaya-upaya perbaikan dapat dimulai dengan mengevaluasi Korps Bhayangkara secara struktural dan mengidentifikasi akar permasalahan melalui kolaborasi dengan lembaga-lembaga independen seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ombudsman Republik Indonesia, dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Hal ini dapat dibarengi dengan menghentikan kriminalisasi dan pendekatan represif yang menyasar masyarakat, seperti pembungkaman kebebasan berpendapat dan pendekatan keamanan di Papua.
Kami tidak ingin stigma negatif terhadap Polri yang kerap diutarakan di era Orde Baru bertahan. “Jangan menjadi polisi” harus dapat diubah menjadi “Ayo menjadi polisi!”
ADVERTISEMENT
-
Oleh Fatia Maulidiyanti, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)