Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
3 + 1 Pandemi
28 Agustus 2020 13:46 WIB
Tulisan dari Korneles Materay tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagaimana mengisi kemerdekaan? Pertanyaan repetisi ini sering hadir dalam benak pribadi juga terdengar dari orang lain menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Beda orang atau komunitas, berbeda juga cara merayakan kemerdekaan. Sebaiknya yang dilakukan ialah hal-hal yang berguna untuk diri sendiri, masyarakat dan bangsa. Yang dimaksud berguna bisa karena memberi semangat, menginspirasi, membangun kesadaran atau mengajak solidaritas antar sesama warga sekaligus negara.
ADVERTISEMENT
Tepat momentum perayaan 75 tahun Republik Indonesia, ada sekelompok musisi/seniman yang bernaung di bawah Perkumpulan Sisters In Danger yang terdiri atas band Sisters in Danger, Nada Bicara, dan Simponi merilis sebuah mini album kolaborasi berjudul “Tiga Pandemi” dan video musik “Parade Garis Depan.” Album yang terdiri dari 7 (tujuh) buah lagu ini mengangkat tiga isu utama, yaitu COVID-19, intoleransi, dan kekerasan.
Karya-karya ini sudah pasti tercipta dari pengalaman hidup yang dialami setiap saat. Para seniman tiga band ini menganggap bahwa tiga hal itu adalah pandemi karena sifatnya menular, mengacaukan, merusak hingga mematikan. Tak ada yang salah dari anggapan mereka tersebut. Lihat saja realitas hidup bermasyarakat dan bernegara kita dalam beberapa dekade terakhir ini sebelum datang pandemi COVID-19, kita terusik setiap saat. Ada banyak aksi atau kejadian menebarkan kebencian, permusuhan, intoleransi, sampai diskriminasi berdasarkan SARA.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, apakah kita semua sudah berpikir layaknya para seniman ini? Penulis mencoba mengelaborasi pemikiran bahwa kita sedang menghadapi tiga pandemi saat ini. Selain itu, penulis mengajukan satu pandemi tambahan.
Tiga Pandemi
Pertama, pandemi COVID-19. Sejak Maret 2020, kita harus menerima kenyataan pahit betapa ganasnya virus asal Wuhan, China ini. Kasus dan penyintasnya masih tinggi dan cenderung terus bertambah. Banyak pakar memprediksi puncak gunung es wabah belum terjadi di Indonesia. Menurut Satuan Tugas Penangan Covid-19 sampai Agustus ini, fatality rate kita mencapai 4,68 persen melewati angka kematian global yakni sebesar 3,97 persen. Selama bertarung dengan corona kurang lebih enam bulan berlalu, kita belum memenangkannya. Mungkin kita sudah berjuang, tapi masih perlu lagi cara yang luar biasa. Menurut hemat Penulis, salah satu faktor yang paling berperan adalah kebijakan (policy).
Penanganan terhadap penyintas, pemulihan hingga mitigasi bencana harus diprioritaskan sedemikian rupa. Dilihat dari optik public policy, sebagai warga negara, Penulis sendiri berat memberikan kredit yang memuaskan terhadap kebijakan-kebijakan dalam konteks kesehatan ini. Penulis tidak mengetahui persis bagaimana warga negara yang lain menilainya, tetapi satu hal yang terang benderang ialah bahwa kepedulian publik terhadap bahaya pandemi semakin tergerus. Ketakutan Penulis, bila faktor kepedulian, kesadaran atau kepatuhan rendah atau mungkin hilang, kita tidak mencapai ujung pertarungan ini.
ADVERTISEMENT
Masih dalam konteks policy, celakanya, di sisi yang lain, sekelompok orang justru memperoleh manfaat ekonomi dari kebijakan negara yang tidak ada hubungannya dengan penanganan kesehatan dan kesejahteraan rakyat di tengah krisis. Nah, ini tidak adil dan semestinya tidak terjadi. Negara wajib sadar diri dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan ke depan. Skala prioritas negara/pemerintah adalah sektor kesehatan.
Kedua, pandemi kekerasan. Pandemi kekerasan dan nanti intoleransi adalah pandemi tertua karena sudah ada sejak lama. Dimensi kekerasan terdiri dari kekerasan psikis, kekerasan fisik, hingga kekerasan seksual. Kekerasan erat kaitan dengan budaya. Satu dari sekian budaya yang memberi efek kekerasan ialah budaya patriarki. Karena itu, hampir mayoritas korban kekerasan adalah perempuan dan anak-anak.
Catatan Tahunan 2020 Komnas Perempuan yang menyebutkan kekerasan seksual dalam 12 tahun terakhir meningkat 8 kali lipat. Lebih dari 430.000 kasus yang dilaporkan. Ada problematika besar yang tidak teratasi yakni ketimpangan relasi berbasis gender dan status sosial. Dalam hitungan lembaga yang terletak di Menteng ini, setiap dua jam ada tiga perempuan mengalami kekerasan seksual di Indonesia. Menurut Andy Yentriyani Ketua Komnas Perempuan, kurang dari 30% kasus kekerasan seksual yang diproses hukum berlanjut hingga vonis pengadilan. Artinya, banyak kasus kekerasan menguap begitu saja. Penegakan hukum tidak menjera atau memperbaiki pelaku juga tidak memberikan keadilan bagi korban.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks penegakan hukum, mengapa kekerasan tidak dapat dicegah atau bahkan diadili? Karena ada kelemahan dari sisi substansi hukum, bisa soal kekosongan hukum atau hukum yang tumpang tindih dan kontradiksi. Misalnya, hingga detik ini pelecehan seksual tidak ada payung hukumnya. Disamping, aparat penegak hukum yang menunjukan keberpihakan masih minim dan layanan kepada korban yang belum maksimal. Masalah hukum ini sebetulnya diharapkan diselesaikan dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang dikeluarkan dari Prolegnas. DPR perlu memasukan kembali rancangan khusus ini ke dalam Prolegnas, sebab sangat dibutuhkan.
Ketiga, pandemi intoleransi. Mungkin menjadi perenungan panjang kita selama ini, Indonesia yang terpandang sebagai negara multi segalanya yang juga dianggap bangsa relijius justru menguat aksi atau kejadian intolerannya. Di negeri ini, atas nama agama darah ditumpahkan, bertameng nama Tuhan orang berbuat jahat kepada sesama yang berbeda. Ada sebagian orang memegang teguh prinsip ini. Seolah-olah, mereka tahu persis Tuhan memperkenankan itu.
Hal ini terkonfirmasi dari survei LSI (2019), survei Setara Institute (2019), atau survei Wahid Institute (2020) soal intoleransi, kebebasan beragama/berkeyakinan hingga radikalisme, ada kecenderungan meningkat. UNDP 2018 menempatkan Indonesia hanya di urutan ke-117 dari 128 negara perihal toleransi keberagaman. Dalam beberapa dekade ini, aktivitas yang bertolak-belakangan dengan khitah perjuangan para pahlawan, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika perlahan-lahan sampai frontal membentuk simpul yang mengancam serta merisaukan masyarakat. Penelitian terkait tema ini menyatakan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo terdapat eskalasi. Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan belum ada upaya nyata dari pemerintah memperbaiki intoleransi beragama dan berpolitik. Di tengah covid-19 ini pun intoleransi hingga radikalisme muncul.
ADVERTISEMENT
Pandemi intoleransi jika dibiarkan terus-menerus akan semakin mencederai nilai dan sikap hidup bangsa. Buah dari intoleransi dapat melahirkan radikalisme, penindasan, pengabaian terhadap hak-hak warga negara yang lain dan seterusnya. Komnas HAM sendiri menyebutkan kasus-kasus intoleransi atas nama agama selama ini, hanya sebagian kecil yang diselesaikan di ranah hukum (litigasi), sebagian besar di luar ranah hukum (non-litigasi), dan sisanya menguap tanpa kejelasan. Karena itulah, kita harus memiliki komitmen untuk mencari solusinya. Negara hendaklah hadir untuk menjamin kenyamanan dan terealisasinya hak-hak konstitusional yang setara bagi setiap orang. Negara tidak boleh permisif lantaran sikap tersebut hanya akan memberi peluang praktik intoleransi semakin meluas dan sistemik.
Plus Satu
Selain tiga pandemi di atas, satu pandemi tambahan, yakni penegakan hukum. Pandemi penegakan hukum adalah praktik penegakan hukum yang dilakukan secara serampangan dan memandang bulu. Misalnya, penerapan UU ITE yang dalam banyak kasus terhadap jurnalis dan aktivis yang menulis dan mengkritik kebijakan pemerintah atau tindakan culas korporat/konglomerat. Anehnya, hukum kita tebang pilih bahkan tidak bertaji dalam banyak kekonyolan yang dipertontonkan para pejabat hingga tindak pidana seperti korupsi. Membuka tahun ini kita bisa melihat fakta yang sesungguhnya dari kasus Harun Masiku, Nurhadi cs, hingga Djoko Tjandra.
Dalam pandemi penegakan hukum, supremasi hukum tidak dikenal melainkan supremasi politik dan modal. Hukum berpihak kepada siapa yang membayar, bukan siapa yang benar. Di ranah ini, berkeliaran mafia hukum yang berkepentingan atas hukum agar diimplementasikan sesuai kepentingan orang atau kelompok tertentu. Ironisnya, praktik mafia hukum selalu melibatkan aparat penegak hukum yang seharusnya menegakan hukum di tiap jenjangnya. Menurut data KPK, sepanjang periode 2004–2019, aparat penegak hukum yang tersangkut kasus korupsi (berdasarkan vonis berkekuatan hukum tetap) sebanyak 22 hakim, 10 jaksa, 2 polisi, dan 12 pengacara.
ADVERTISEMENT
Pandemi penegakan hukum pada saatnya hanya memproduksi sistem penegakan hukum yang bobrok, sulit dan mahal akses terhadap keadilan oleh warga negara terutama kaum miskin, dan ketidakpercayaan masyarakat untuk lembaga penegakan hukum. Reformasi lembaga dan aparat penegakan hukum belum secara fundamental dijalankan. Jika cara bernegara dan berhukum seperti ini, demokrasi kita akan hancur dan negara kita sesungguhnya bukan negara hukum (rechtstaat) melainkan negara kekuasaan (machstaat).
Penulis berharap bahwa keresahan dari para musisi/seniman di atas adalah sesuatu yang kita juga sadari dan akui sebagai masalah masyarakat dan bangsa yang mendesak untuk ditanggulangi. Dengan pertambahan usia bangsa ini, kita isi kemerdekaan dengan menyemarakkan hal-hal yang baik yang berujung pada kebaikan dan kesejahteraan bersama. Hal-hal yang baik lahir dari cita-cita luhur dan sikap menghormati serta menghargai semua orang sebagai manusia yang utuh sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Sudah saatnya, kita harus berhenti memanfaatkan kedudukan/posisi publik untuk meningkatkan benefit atau market power.
ADVERTISEMENT
Selamat merayakan kemerdekaan. Sekali merdeka, tetap merdeka!
Korneles Materay, Peneliti hukum, bekerja di Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Award