Konten dari Pengguna

Moral Pengguna Sepeda Motor di Jakarta yang Memudar

Kraska
Sedang menikmati hidup yang fana bersama Sesdilu 78
12 April 2025 10:28 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kraska tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Anda pengguna sepeda motor? Tersinggung membaca judul ini?
Tenang dulu. Saya pun bagian dari Anda, pengguna setia roda dua. Sepanjang hidup di Indonesia, saya pun belum pernah memiliki mobil.
ADVERTISEMENT
Pagi dan sore, saya turut membelah deras lautan kendaraan menuju pusat Jakarta, yang kita tidak yakin apakah masih disebut Ibu Kota.
Dalam tiap perjalanan itu, saya menyaksikan parade pelanggaran lalu lintas yang kadang lebih dramatis dari sinetron.
Ketika ditanya jumlah pelanggaran yang Saya temui tiap hari, jawabnya bagaikan iklan wafer:
"Puluhan? Ratusan! Lebih!"
Setiap harinya, mobil, motor, angkot, bajaj, semua turut serta. Tapi sebagai pemotor, hari ini kita bercermin bahwa pelanggaran terbesar justru datang dari kita, pengendara sepeda motor.
Sebagian pelanggaran mungkin bisa dianggap sebagai kenakalan atau ekspresi diri seperti tidak mengenakan helm atau menggunakan knalpot ‘brong’.
Terkesan norak, memang, dan berbahaya juga. Tapi biarlah resiko keselamatan mereka tanggung sendiri.
Seorang ibu mengendarai sepeda motor dengan anaknya tanpa helm dan melawan arus. Foto: Dokumentasi pribadi
Yang mengkhawatirkan adalah pelanggaran yang membahayakan orang lain seperti melawan arus, menerobos lampu merah, berkendara ugal-ugalan, hingga merokok sambil berkendara.
ADVERTISEMENT
Belum lagi mereka yang naik ke trotoar, berhenti di atas zebra cross, dan tidak peduli pada lampu penyeberangan orang. Saat orang rela berjalan kaki, justru haknya dikebiri.
Semua itu bukan sekadar mengganggu, tetapi berisiko fatal.
Lebih mengherankan lagi, pelanggaran-pelanggaran itu dilakukan secara massal. Seolah sudah menjadi hal wajar.
Apakah ini pertanda bahwa moral sebagian pemotor telah memudar begitu parah?
Gerombolan pemotor melawan arus pada suatu pagi di Jalan Industri, Jakarta Pusat. Foto: Dokumentasi pribadi
Saya menyadari, kehidupan di kota besar penuh tekanan. Jalanan ibarat medan perang untuk bertahan hidup. Seringkali dalih jalanan macet tertutup mobil, putar balik yang terlalu jauh, dan hemat bensin menjadi alasan.
Namun, apakah itu alasan untuk mengancam keselamatan sesama?
Sedangkan tidak sedikit yang sama-sama berjuang di jalanan, tapi tetap menjaga tenggang rasa sesama pengendara.
ADVERTISEMENT
Saya berpikir, apakah pelanggaran massal ini sebuah fenomena? Atau akan menjelma menjadi norma baru, sebuah kebiasaan menyimpang yang dilumrahkan?
Parade pemotor melawan arus di daerah Kemayoran, Jakarta Utara. Foto: Dokumentasi pribadi
Yang juga patut disorot adalah sikap sebagian aparat, yang terkesan abai. Dalam hal ini, Saya perlu menyebut mereka sebagai oknum.
Di tengah gelombang pelanggaran setiap hari, keberadaan petugas kurang memberi dampak berarti. Seringkali Saya melihat pelanggaran di depan mata yang terjadi di jalan sebesar M.H. Thamrin saat rush hour dibiarkan begitu saja.
Entah karena lelah dengan kelakuan pemotor, kurangnya jumlah SDM, atau karena terlalu bergantung pada kamera tilang elektronik (ETLE). Entahlah.
Jika ingin menyaksikan sendiri, silakan cek di satu sampel titik pada pagi dan sore hari. Bisa di persimpangan Sarinah dan persimpangan Kebon Sirih, atau jika ingin yang lebih sadis, pergilah ke Tanah Abang.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran berlangsung terus-menerus, menerobos lampu merah, melanggar rambu, merokok sambil berkendara, naik ke trotoar, semua dilakukan tanpa rasa sungkan, seolah mengejek para pengendara yang tetap santun dan taat aturan.
Aturan-aturan hukum pun telah ditetapkan, baik di tingkat Undang-undang hingga tingkat Peraturan Daerah. Tapi sepertinya aturan hukum hanya khayalan di mata para pelanggar.
Kadang saya bertanya-tanya, apakah para pelanggar ini memiliki kepercayaan diri yang luar biasa tinggi, wajah yang lebih tebal dari aspal jalanan, atau memiliki ilmu 'Genjutsu'?
Sejumlah pengendara sepeda motor merokok sambil berkendara. Foto: Antara/Muhammad Arif Pribadi
Ada satu pengecualian menarik, yaitu ruas Jalan Sudirman di bawah simpang susun Semanggi. Para pemotor yang nekat masuk akan langsung ‘disergap’ oleh petugas yang entah muncul dari mana.
Pertanyaannya, mengapa ketegasan yang berlaku setiap saat ini hanya berlaku di satu titik? Ketegasan biasanya juga baru berlaku saat operasi lalu lintas yang sangat jarang saya lihat di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, banyak warga yang juga resah, namun memilih diam. Takut diprotes, takut dikonfrontasi, atau mungkin trauma karena pernah diserbu massa. Kultur “keroyokan” memang bukan mitos di jalanan kita, yang juga dimiliki oleh para pelanggar.
Di tengah situasi ini, muncul sosok-sosok yang mencoba bertindak: para 'street vigilante'.
Mereka bukan aparat, tapi berinisiatif menegur pelanggar. Ada yang sopan, ada yang tegas. Kadang berakhir dengan perdebatan, bahkan konfrontasi fisik.
Mulai dari para konten kreator dengan latar belakang petarung dan binaraga, para kelompok pejalan kaki, hingga transpuan yang ikut turun tangan. Anda dapat temui berbagai video aksi mereka di media sosial.
Seorang transpuan memasang penghalang jalan di trotoar yang dilewati pengendara sepeda motor. Foto: Tangkapan layar akun Laurend Lee
Seru? Tentu. Tapi juga menunjukkan betapa parahnya situasi kita.
Tentu saja, para vigilante ini tak luput dari tuduhan bahwa aksi mereka hanya mencari sensasi, mereka tak punya wewenang, bahkan dipandang memperkeruh suasana.
ADVERTISEMENT
Tapi selama aparat masih belum bisa bertindak efektif, saya pribadi menghargai upaya mereka.
Justru jika perlu, aparat bisa memanfaatkan kerja sama dengan para street vigilante untuk memberikan shock therapy dan rasa kapok kepada para pelanggar di berbagai titik rawan pelanggaran.
'Street vigilante' menghalau pemotor yang melawan arus. Foto: Tangkapan layar akun Youtube The Paparock TV
Meskipun demikian, kita perlu ingat bahwa tanpa upaya sistematis dan radikal untuk memperbaiki moral para pemotor, maka pelanggaran massal akan terus terjadi.
Bayangkan, di tahun 2045 yang harusnya kita mencapai Indonesia Emas, tetapi sepeda motor masih melawan arus dan berjalan di atas trotoar.
Jika Anda membaca tulisan ini hingga tuntas, besar kemungkinan Anda adalah pemotor yang masih punya kepedulian. Terima kasih.
Bagi Anda yang gemar melanggar dan merugikan sesama pengguna jalan, bertobatlah. Mungkin pelanggaran Anda tak hanya terekam ETLE, tapi juga akan tercatat dalam catatan hidup yang lebih panjang, akhirat.
ADVERTISEMENT