Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memahami Insiden Pengusiran Ratusan Diplomat Rusia
8 April 2018 20:46 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Tafwid Mulia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam konteks hubungan antar negara, pengusiran diplomat dari tempat penugasan mereka merupakan suatu hal sensitif yang dipastikan akan mengundang reaksi balasan dari negara asal dan akan mencederai hubungan bilateral kedua negara. Dengan demikian maka langkah pengusiran diplomat selalu menjadi opsi terakhir dari ketegangan antara dua negara.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini puluhan negara-negara di dunia telah mengusir diplomat Rusia yang tengah bertugas di negara mereka. Jumlah diplomat Rusia yang diusir cukup mengejutkan karena mencapai lebih dari 150 diplomat dari berbagai negara termasuk di Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Langkah ini merupakan reaksi atas terjadinya insiden keracunan gas syaraf Novichok yang dialami oleh mantan agen rahasia Rusia di Inggris, Sergei Skripal, dan Putrinya. Melalui sejumlah bukti yang telah ditemukan, pemerintah Inggris menuduh bahwa Rusia berada di balik insiden ini yang berujung pada pengusiran 23 diplomat Rusia dari Inggris.
Keputusan pemerintah Inggris tersebut akhirnya diikuti oleh negara-negara sahabat Inggris sebagai langkah solidaritas, diantaranya Amerika Serikat yang mengusir 60 diplomat, Ukraina mengusir 13 diplomat, dan sejumlah negara Uni Eropa lainnya dengan jumlah diplomat Rusia yang diusir antara 1-3 orang. Mereka mengusir para diplomat Rusia tersebut dilakukan dengan dalih mereka telah melakukan tindakan mata-mata.
ADVERTISEMENT
Rusia sebagai sebuah negara besar tentunya tidak tinggal diam atas pengusiran diplomat mereka. Dalam waktu singkat Rusia langsung melakukan respon simetris dengan mengusir diplomat negara-negara tersebut dari Rusia.
Pada berbagai kesempatan Rusia juga selalu menyampaikan bantahannya atas tuduhan dari insiden gas beracun di Inggris, bahkan sebaliknya, mereka menuduh bahwa sebenarnya Inggris sendiri yang menjadi dalang dalam insiden tersebut dan Rusia dijadikan sebagai kambing hitamnya.
Melalui peristiwa ini kita dapat mengamati bahwa ikatan kuat yang pernah ada pada saat perang dingin masih tetap ada meskipun Uni Soviet telah lama bubar. Langkah solidaritas yang ditunjukkan oleh negara-negara sahabat Inggris tentunya sedikit banyak merefleksikan bahwa mereka semua masih memiliki lawan yang sama, yaitu Rusia.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, hingga saat ini belum ada negara yang menegaskan solidaritasnya dengan Rusia. Bahkan Syria yang saat ini dibantu oleh Rusia dalam menghadapi konflik internalnya juga tidak mengeluarkan pernyataan atau langkah khusus terkait pengusiran diplomat Rusia. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun masih menjadi negara yang disegani di dunia, namun Rusia idak memiliki aliansi atau sekutu dekat yang dapat membantunya disaat sulit.
Keadaan ini tentunya sangat berbeda pada saat perang dingin dulu, dimana Uni Soviet pada saat itu memiliki beberapa sekutu dekat seperti negara-negara anggota Pakta Warsawa, Korea Utara, Kuba, dsb yang siap membantunya kapan saja. Negara-negara tersebut tidak akan tinggal diam jika Uni Soviet mengalami hal yang dialami oleh Rusia saat ini.
ADVERTISEMENT
Saat ini Rusia memang terkesan tidak memiliki sekutu dekat, namun bukan berarti keadaan ini tidak akan berubah, mengingat politik Internasional sangatlah cair. Tidak ada kawan dan/atau lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan nasional yang abadi.