Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengapa Gen Z Memilih Quiet Quitting? Ini Dampaknya untuk Karir Kamu!
25 November 2024 15:31 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Stress Management Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernah mendengar istilah quiet quitting? Jika tidak, jangan khawatir, kamu tidak sendirian. Fenomena ini pertama kali mencuri perhatian pada tahun 2022, dan sejak itu menjadi topik panas dalam dunia kerja, terutama di kalangan Gen Z. Tapi, meskipun terdengar seperti tren baru, quiet quitting bukanlah sekadar kata-kata kekinian yang viral di media sosial. Ini adalah fenomena yang punya dampak nyata bagi keseimbangan kehidupan kerja dan karier, terutama bagi generasi yang baru memasuki dunia profesional.
ADVERTISEMENT
Apa Itu Quiet Quitting?
Pada dasarnya, quiet quitting berarti seorang karyawan memilih untuk tidak melakukan lebih dari apa yang menjadi kewajibannya, meskipun mereka masih menjalankan tugas mereka sesuai ekspektasi. Dalam konteks ini, "quit" tidak berarti berhenti dari pekerjaan, melainkan berhenti untuk melampaui batas-batas yang tidak dibayar atau dihargai. Ini adalah bentuk pengambilan jarak dari budaya kerja yang menuntut pekerja untuk selalu "lebih" – lebih produktif, lebih terlibat, lebih berkomitmen, bahkan ketika kompensasi atau pengakuan tidak sesuai dengan upaya yang diberikan.
Kenapa Gen Z Terlibat dalam Fenomena Ini?
Gen Z, yang lahir antara 1997 dan 2012, dikenal sebagai generasi yang sangat memperhatikan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Mereka lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental dan lebih berani mengungkapkan ketidakpuasan terhadap budaya kerja yang toksik atau berlebihan. Menurut sebuah penelitian dari Gallup, sekitar 50% pekerja Gen Z mengatakan mereka merasa tidak terhubung dengan pekerjaan mereka, yang meningkatkan tingkat stres dan kelelahan mental. Inilah salah satu alasan mengapa quiet quitting bisa jadi pilihan yang menarik bagi mereka yang merasa pekerjaan mereka tidak memenuhi kebutuhan pribadi atau profesional.
ADVERTISEMENT
Dampak dari Quiet Quitting terhadap Karier Gen Z
Walaupun terdengar seperti cara mudah untuk melawan tekanan dunia kerja, quiet quitting memiliki konsekuensi yang bisa memengaruhi karier dalam jangka panjang. Berikut adalah beberapa dampaknya:
1. Stagnasi dalam Karier
Meskipun quiet quitting bisa memberi waktu lebih untuk diri sendiri, terlalu sering menghindari inisiatif tambahan bisa menyebabkan stagnasi dalam karier. Ketika tidak ada usaha lebih yang ditunjukkan, kemajuan profesional mungkin menjadi lambat atau bahkan terhenti. Menurut sebuah laporan oleh Harvard Business Review, individu yang enggan mengambil tanggung jawab lebih sulit untuk dipromosikan karena mereka tidak menunjukkan potensi untuk berkembang.
2. Keseimbangan Kehidupan Kerja yang Lebih Baik
Di sisi positifnya, quiet quitting memberikan pekerja ruang untuk menjaga keseimbangan kehidupan pribadi dan profesional. Ini membantu mengurangi burnout yang semakin banyak dirasakan oleh pekerja muda. The Center for Workplace Mental Health mencatat bahwa burnout adalah salah satu masalah kesehatan mental yang paling berkembang di dunia kerja, dan quiet quitting dapat menjadi mekanisme pertahanan yang efektif terhadap hal ini.
ADVERTISEMENT
3. Menurunnya Kepuasan Kerja
Jika quiet quitting terlalu lama diterapkan, hal ini dapat menyebabkan penurunan kepuasan kerja. Karyawan yang melakukan quiet quitting mungkin merasa terisolasi atau terasing dari rekan kerja dan atasan mereka. Penelitian oleh Gallup menunjukkan bahwa karyawan yang merasa kurang terhubung dengan pekerjaan mereka lebih mungkin untuk merasa kurang puas dan akhirnya mencari pekerjaan lain.
Mengapa Ini Lebih dari Sekedar Tren?
Salah satu alasan quiet quitting bukan sekadar tren adalah bahwa ini mencerminkan perubahan paradigma yang lebih besar dalam dunia kerja. Gen Z adalah generasi yang tidak takut untuk berbicara tentang batasan mereka dan memperjuangkan kesejahteraan mental mereka. Meskipun fenomena ini sering dipandang sebagai bentuk pemberontakan terhadap budaya kerja yang berlebihan, itu juga menunjukkan keinginan untuk bekerja dengan cara yang lebih sehat dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Menurut sebuah penelitian oleh PwC pada 2022, 60% pekerja Gen Z mengatakan mereka lebih memilih pekerjaan yang memberikan fleksibilitas dan mendukung kehidupan pribadi mereka. Mereka lebih memilih bekerja dengan cara yang memungkinkan mereka untuk tetap produktif tanpa harus mengorbankan kebahagiaan dan kesehatan mental mereka.
Menyikapi Quiet Quitting: Apa yang Harus Dilakukan oleh Perusahaan?
Bagi perusahaan, penting untuk memahami bahwa quiet quitting adalah sinyal yang harus diperhatikan, bukan sekadar tren yang bisa diabaikan. Jika Gen Z merasa bahwa pekerjaan mereka tidak memberikan pengakuan atau penghargaan yang cukup, mereka akan semakin menjauh. Sebagai alternatif, perusahaan perlu fokus pada pemberian feedback yang konstruktif, pengembangan karier yang lebih jelas, dan memastikan bahwa keseimbangan kerja-hidup tetap menjadi prioritas.
ADVERTISEMENT
Quiet quitting lebih dari sekadar sebuah tren – ini adalah refleksi dari perubahan besar dalam cara kita memandang pekerjaan dan keseimbangan kehidupan. Bagi Gen Z, yang mengutamakan kesehatan mental dan kesejahteraan pribadi, memilih untuk tidak melampaui batas pekerjaan bisa menjadi cara untuk menjaga hidup yang lebih seimbang. Namun, seperti halnya setiap keputusan dalam karier, penting untuk memikirkan baik-baik dampak jangka panjangnya, baik itu dalam hal pengembangan diri maupun peluang karier.