Konten dari Pengguna

Depresi pada Remaja: Tanda, Penyebab, dan Strategi Penanganannya

KRENILTA
menempuh pendidikan di Universitas Negeri Makassar Sebagai mahasiswa Administrasi kesehatan
16 Oktober 2024 20:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KRENILTA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seorang remaja duduk bersila dengan posisi tertunduk, mengekspresikan perasaan kesepian dan refleksi diri. (sumber : AI (DALL·E, OpenAI)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang remaja duduk bersila dengan posisi tertunduk, mengekspresikan perasaan kesepian dan refleksi diri. (sumber : AI (DALL·E, OpenAI)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Depresi pada remaja bukan lagi masalah yang dapat diabaikan. Prevalensi kasus ini terus meningkat setiap tahun. Menurut data WHO, sekitar 10-20% remaja di dunia mengalami masalah kesehatan mental yang serius. Angka ini menggambarkan sebuah realitas yang mengkhawatirkan: generasi muda kita berada dalam bahaya. Remaja, yang seharusnya menikmati masa-masa pembentukan jati diri, justru menghadapi tekanan luar biasa yang mengancam kesejahteraan mental mereka.
ADVERTISEMENT
Mengapa Depresi Semakin Mengancam Remaja Kita?
Ada banyak alasan mengapa depresi semakin sering menyerang remaja. Tekanan akademik adalah salah satu faktor utama. Banyak sekolah dan keluarga memiliki standar tinggi yang harus dicapai oleh anak-anak mereka. Namun, apakah kita menyadari bahwa tuntutan ini sering kali tidak seimbang dengan kapasitas remaja? Ketika mereka gagal memenuhi harapan, yang terjadi adalah stres dan kekecewaan—dan itulah awal mula dari depresi. Media sosial juga tidak dapat diabaikan. Remaja kini hidup dalam dunia di mana penampilan dan popularitas diukur dengan ‘suka’ dan ‘pengikut’. Tekanan untuk tampil sempurna dan sukses di dunia maya sering kali menciptakan perasaan rendah diri dan kecemasan. Selain itu, perundungan siber (cyberbullying) menjadi fenomena yang semakin marak terjadi, memperburuk kondisi mental remaja kita. Keluarga juga berperan besar. Ketika ketidakharmonisan atau kurangnya dukungan emosional terjadi di rumah, remaja kehilangan tempat berlindung mereka. Akibatnya, mereka merasa sendirian dalam menghadapi tekanan hidup.
ADVERTISEMENT
Apa yang Harus Kita Lakukan?
Penting untuk diakui bahwa menangani masalah ini bukan hanya tanggung jawab remaja itu sendiri. Sekolah, keluarga, dan masyarakat harus turut berperan. Intervensi berbasis terapi perilaku kognitif (CBT) telah terbukti efektif dalam mengurangi gejala depresi pada remaja. Namun, ini tidak cukup jika tidak didukung oleh lingkungan yang mendukung. Program literasi kesehatan mental di sekolah dapat menjadi langkah awal yang baik, tetapi keluarga juga perlu terlibat aktif dalam mendampingi anak-anak mereka. Sebagai masyarakat, kita harus berhenti meremehkan isu kesehatan mental dan mulai mendukung remaja dengan menyediakan akses ke program konseling dan terapi yang memadai. Edukasi tentang dampak media sosial dan pentingnya literasi digital juga perlu diberikan. Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa media sosial, meskipun bermanfaat, memiliki sisi gelap yang perlu disikapi dengan bijak.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Depresi pada remaja adalah tanggung jawab kita bersama. Kita tidak bisa mengandalkan remaja untuk mengatasi masalah ini sendirian. Mereka membutuhkan dukungan dari sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan aman bagi perkembangan mental mereka. Saatnya kita bergerak, memberikan dukungan, dan membangun kesadaran akan pentingnya kesehatan mental. Dengan begitu, kita bisa menciptakan generasi muda yang kuat, sehat, dan siap menghadapi tantangan masa depan.
Profil Penulis:
Nama: Krenilta
Universitas: Universitas Negeri Makassar
Jurusan: Administrasi Kesehatan