Apa Kita Bisa Menyembuhkan Penyakit dengan Kepercayaan?

Konten dari Pengguna
4 Februari 2020 14:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KRESNOADI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menyembuhkan penyakit dengan kepercayaan. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menyembuhkan penyakit dengan kepercayaan. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pertanyaan itu saya keluarkan dalam hati setelah membaca tulisan Nicole Wetsman di The Verge. Konteksnya soal pemerintah Tiongkok yang minta masyarakat agar percaya ucapan mereka. Kata mereka, kepercayaan merupakan faktor tak terukur yang bisa membantu meredakan wabah Wuhan Coronavirus.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan ini mengganggu saya sepanjang perjalanan dari kantor menuju indekos. Menurut saya, menjaga kepercayaan adalah hal yang normal. Menjaga kepercayaan adalah menjaga dasi dan topi di hari senin semasa sekolah dahulu. Orang yang mengenakan dasi dan topi saat upacara senin adalah orang yang normal. Nggak ada, tuh, guru piket yang ketika melihat saya mengenakan topi sewaktu upacara, tahu-tahu menepuk pundak saya sambil berkata bijak, “Terima kasih, Nak. Terima kasih telah menjaga kepercayaan ini.”
Sebaliknya, mereka yang skip akan dianggap sebagai siswa badung. Tidak jarang mereka ditempatkan di barisan yang berbeda. Dipertontonkan ke siswa lain bahwa mereka adalah contoh buruk yang tidak sepatutnya diikuti. Maka, setelah menyerahkan kepercayaan, kita hanya dihadapkan kepada dua pilihan buruk: dimanfaatkan atau dikoyak.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana kita bisa menyembuhkan sesuatu dengan hal yang normal?
Rob Blair, asisten profesor ilmu politik dan hubungan publik dan internasional dari Universitas Brown bilang kalau ini terjadi karena hal-hal di masa lalu.
Ketika SARS menyeruak tahun 2002, pemerintah Tiongkok tidak transparan soal bahaya virus tersebut. Ada kebingungan yang beredar di masyarakat. Dari situ lahir keraguan terhadap pemerintah. Benaran, nih, pemerintah bisa nanganin SARS? Dan mungkin, ketika pemerintah bilang “Gakpapa, kok. SARS cuma wabah ringan. Santai.” masyarakatnya langsung gercep balas: “Gikpipi kik. SIRS cimi wibih ringin. Sintii.”
Sedikit demi sedikit, warga Tionghoa tidak percaya pada kemampuan pemerintah menangani masalah.
Apa yang Rob Blair bilang mengingatkan saya pada minggu ketika saya berada di Semarang.
ADVERTISEMENT
Jumat malam, di perjalanan dari minimarket menuju hotel, seorang bapak menghampiri saya. Katanya, tanpa basa-basi, dia bilang ingin pulang ke Wonosobo.
“Naik bis, harganya enam puluh ribu. Tapi kalau enggak percaya nggakpapa.” Dia lalu bertanya asal saya.
“Saya dari Tangerang Selatan.”
Saya memperhatikannya. Bapak berkumis ini mengenakan baju kaus, celana panjang jeans, dan sendal jepit. Kayak orang main ke lapangan depan rumah aja.
“Terus saya harus apa, Pak?”
Dia mendekatkan kepalanya ke pundak saya. Memelankan suaranya. “Saya mau pulang, Dek,” ulangnya. “Tapi kalau adek enggak percaya nggakpapa.”
“Memang terminal di mana, Pak?” tanya saya, yang saya sadari, apapun jawabannya, saya juga kagak tahu itu di mana.
Bapak ini menunjuk ke ujung jalan, menyebut sebuah nama, yang feeling saya mengatakan kalau itu jauh. Rencananya begini: dia akan jalan kaki ke terminal, bercerita kepada orang-orang tentang tujuannya, lalu mencari orang yang percaya dan membantunya pulang.
ADVERTISEMENT
“Saya percaya, Pak,” kata saya, meletakkan tas belanjaan di trotoar, merogoh dompet, dan menyerahkan beberapa lembar uang.
Lucunya, beberapa hari sebelumnya, di dekat indekos, saya juga didatangi ibu paruh baya yang ingin pulang ke jawa tengah (saya tidak ingat nama kotanya). Kalau adek enggak percaya, gini aja, dia meyakinkan saya sambil berusaha membuka kardigan kuning bergambar Spongebob. Katanya, kardigan itu untuk saya, sebagai ganti uang untuk ke jawa.
Saya jawab: “Jangan, Bu. Tolong. Saya masih polos…”
Saya, lagi-lagi, hanya mangut-mangut saja sambil menyerahkan selembar uang. Tentu, saya tidak menerima kardigan Spongebob pemberiannya. Bukan tidak suka, tapi kalau saya ngambang gimana? ngejreng banget, men...
Saat itu yang ada di pikiran saya hanya satu. Apa jadinya kalau ibu atau bapak ini tidak bertemu saya. Maka saya memberinya selembar uang dan segenggam kepercayaan. Kalaupun nantinya mereka mengoyak kepercayaan saya, saya… oh… membayangkannya saja menyakitkan. Jadi mari kita hentikan pengandaian ini.
ADVERTISEMENT
Lebih baik kita kembali ke pertanyaan awal. Apa kita bisa menyembuhkan sesuatu dengan kepercayaan?
Kita memang belum bisa melihat dampaknya dari kasus Wuhan dan Coronavirus. Apa dengan memercayai pemerintah wabah itu jadi terkontrol? Tapi dari apa yang saya alami, sedikit banyak saya punya kisi-kisinya.
Memberi kepercayaan memang seperti memberi sesuatu yang tidak ada. Memberi kepercayaan, seperti yang sudah saya bilang, adalah hal normal yang dilakukan manusia. Kepercayaan justru mendatangkan risiko-risiko buruk bagi pemberinya.
Namun, kepercayaan, bagi para pemberinya, sedikit banyak mampu mengobati rasa pamrih. Sementara mendapat kepercayaan, bagi seseorang, barangkali adalah salah satu jalan pulang, di antara telinga-telinga yang tidak mau mendengar.