Kita Butuh Hening Sejenak untuk Tidak Melahirkan Kesedihan dari Virus Corona

Konten dari Pengguna
6 Maret 2020 15:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KRESNOADI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi corona. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi corona. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pertengahan bulan Februari, saya dan ibu menerjang hujan menuju kawasan Serpong. Saya ingat raut wajahnya di mobil. Excited bercampur gelisah karena hujan mendadak turun. Ini adalah pertama kalinya saya melakukan vaksin untuk perjalanan umrah.
ADVERTISEMENT
Minggu lalu, ia datang ke kosan saya. Di wajahnya ada pasrah yang selonjoran.
“Aneh, deh,” kata Ibu. Membenarkan posisi bantal di kepalanya, dia menatap tembok. Matanya mengawang-awang. Seperti berbicara ke diri sendiri. “Nasib kita sekarang nggak jelas gara-gara Corona. Belum tahu berangkat kapan, tapi Ibu nggak panik kayak biasanya.”
Ya, saya tahu betul karakter ibu. Karakter yang membuat Ayah saya melarangnya mengendarai motor. Jeritan ibu saya ketika ada tamu ke rumah dan menyadari stok teh di dapur kosong, sama nyaringnya dengan jeritan orang-orang ketika dikasih tahu kalau Manchester United kalah tanding melawan Persitara Jakarta Utara.
Kalau dalam sinetron, mungkin kejadiannya kayak gini:
“Masuk, masuk, silakan duduk.” Ibu menoleh ke saya. “Siapin minum, Dek.”
ADVERTISEMENT
“Teh abis, Bu.”
“Ap-a?”
“Teh abis, Bu.”
“APAAAAAA??!!?!” dia berlutut di ruang tamu. Lalu kamera mengitari Ibu, lengkap dengan sound effect petir menggelegar.
Tapi kemarin kondisinya berbeda. Kamar kos saya hening. Ibu dan saya sepakat untuk tidak membuatnya jadi kamar yang melahirkan kesedihan.
Kegaduhan justru muncul di ruangan tempat saya bekerja. Orang-orang berdiri, bersuara, mengetik terburu-buru, notifikasi meloncat, dan yang diam hanya telepon kabel di sebelah saya. Penyebabnya: Presiden Joko Widodo baru saja mengumumkan dua orang Indonesia yang positif terjangkit COVID-19.
Tim di kantor bergegas berbagi tugas. Desainer menggambar dan bergerak cepat. Anak media sosial menyiarkan ciri-ciri orang yang mengalami gejala terjangkit virus beserta pencegahannya. Beberapa berkomunikasi untuk membeli sabun dan hand sanitizer. Suasana mendadak intens.
ADVERTISEMENT
Bagi kamu yang tahu penyakit COVID-19 tanpa backstory, mari saya ceritakan sedikit.
Virus Corona adalah virus yang memiliki bentuk seperti mahkota matahari. Dalam bahasa Inggris ia disebut crown. Dalam bahasa Yunani disebut korone.
Jenis virus yang dapat menularkan penyakit dari hewan ke manusia.
Faktanya, jenis virus seperti ini (yang meloncat dari hewan ke manusia) sudah ditemukan sejak lama. Pertama kali tahun 1960 dengan nama 229E dan OC43 (ya, emang namanya kayak plat nomor).
Melihat sejarahnya, beberapa kali virus seperti ini sempat menghebohkan dunia medis. HIV/Aids tahun 1980-an dari kera besar. SARS 2002 dari kelelawar. Flu burung 2004 dari unggas. Flu babi pada 2009. Ebola dari kelelawar. Dan MERS dari unta di tahun 2012.
ADVERTISEMENT
Biasanya, penyakit yang menjangkiti hewan tidak akan memengaruhi manusia. Kucing kamu yang flu tidak serta merta membuatmu bersin, misalnya. Namun, ketika suatu penyakit mampu lompat menginfeksi spesies lain, ia akan menyebar dengan cepat.
Biar kamu punya gambaran, saya beri contoh bagaimana virus influenza masuk ke tubuhmu. Untuk bisa membuatmu sakit, virus flu harus berhasil mengalahkan sistem imun tubuhmu. Caranya? Mereka harus berevolusi. Evolusinya pun enggak boleh sembarangan. Mereka harus menyelubungi diri dengan protein yang dikenali tubuh kamu. Supaya sistem imun kamu bingung dan bertanya, misi, ini makhluk jahat atau protein ya?
Setelahnya, ia masuk ke sel tubuhmu, membajaknya, dan membuat sel tubuhmu jadi pabrik yang akan melahirkan sel-sel lain yang berisi virus juga.
ADVERTISEMENT
Inti dari segala inti: Untuk menyakitimu, virus butuh berevolusi jadi sesuatu yang spesifik.
Ilustrasi Corona. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Kamu perlu sadar bahwa dunia ini penuh dengan virus. Ia hinggap di mana-mana dan terus berkembang dan bermutasi dan dipengaruhi perubahan iklim. Lucunya, evolusi virus ini biasanya tidak berpengaruh sama sekali atau justru menghasilkan virus yang lebih payah. Dibutuhkan waktu yang lama dan mutasi berkali-kali sampai ia mampu loncat ke inang baru yang berada di luar spesies inang lamanya. Jika itu terjadi, perjalanannya pun masih panjang. Virus tersebut harus sesuai dengan karakteristik tubuh kita, mampu bertahan hidup di sana, dan yang paling vital, ia harus mengalahkan sistem imun kita.
Meski Virus Corona jenis baru (Novel Coronavirus) ini telah menyebar hingga ke 70-an negara. Menjadi wabah bagi hingga lebih dari 90 ribu orang dan menelan korban lebih dari 3.000 jiwa, tapi tingkat kematian orang yang terjangkit cenderung kecil (2% jika dibandingkan dengan Ebola yang mencapai 50%). Hingga artikel ini ditulis, sudah lebih dari 50 ribu orang sembuh dari virus ini.
ADVERTISEMENT

Maka, bagi saya, ini yang terpenting: Jangan kobarkan kepanikan.

Seperti api, kepanikan akan menyebar dengan cepat dan menyulut teror dan ketakutan.
Kita sudah tahu bagaimana karakter Virus Corona. Kita juga tahu masa inkubasinya ada di rentang dua minggu. Artinya, bisa saja kamu terjangkit saat ini (dan menularkan orang lain) dan baru mengalami gejalanya dua minggu kemudian.
Novel Coronavirus juga menular lewat tetesan dari bersin atau batuk orang lain. Itu lah mengapa penggunaan masker belakangan ini menjadi topik yang cukup panas.
Dalam Persistence of Coronaviruses on Inanimate Surfaces and Their Inactivation Biocidal Agents disebutkan bahwa Coronavirus dapat bertahan hidup di benda mati. Meski penelitian ini tidak menyebut spesifik soal Novel Coronavirus, tapi ia menguji SARS—jenis Coronavirus yang paling “mirip” dengan Novel Coronavirus. Di sana disebutkan bahwa SARS mampu hidup di benda mati antara 2 jam sampai 9 hari, tergantung jenis materialnya.
ADVERTISEMENT
Tapi tenanglah sejenak. Tim peneliti mengatakan kita bisa memusnahkannya dengan mudah menggunakan alkohol atau desinfektan.
Oleh sebab itu, kita perlu menjaga daya tahan tubuh, makan makanan bergizi, cuci tangan dengan sabun, siapkan sistem imun agar mampu mengalahkan penyakit busuk tersebut. 
Kedua, kita sudah tahu ciri-ciri mereka yang terjangkit virus ini. Maka, jangan sekali-kali kamu melakukan self diagnose. Jangan menuduh dan menakut-nakuti diri bahwa kamu terkena Novel Coronavirus. Apalagi sampai menuduh orang lain dan ketakutan karenanya.
Juga jangan bersembunyi karena minder.
Segera hubungi siapa pun yang kamu percaya, utarakan keresahanmu. Minta ia mengantarmu ke dokter atau sebaliknya. Kementerian Kesehatan juga memberikan nomor telepon yang bisa kamu hubungi untuk membicarakan masalah Virus Corona, hubungilah (021) 5210411 atau 081212123119.
ADVERTISEMENT
Berhubung kita berada di dunia post truth, penting untuk menyaring berita di tengah kebisingan informasi ini. Keterburu-buruan hanya akan melahirkan kepanikan-kepanikan yang lain.
Kenyataannya, hidup kita terus berubah dan perubahan kepadatan penduduk, ekosistem, iklim, pemanasan global, dan teknologi, mau tidak mau akan juga berimbas pada satu hal: Penemuan penyakit baru.
Pertengahan tahun lalu, Kelsey Piper menulis di Vox tentang habitat nyamuk yang meningkat pesat akibat urbanisasi dan perubahan iklim. Itu artinya, penyakit zika, cikungunya, demam berdarah, dan demam kuning akan semakin buruk ke depannya. Hasil penelitian nature microbiology berjudul Past and Future Spread of the Arbovirus Vectors Aedes aegypti and Aedes albopicus mengungkapkan kalau di tahun 2050, nyamuk Aedes aegypti akan menginvasi 19,91-23,45 juta kilometer, tergantung perubahan iklim dan arus urbanisasi. 
ADVERTISEMENT
Profesor Tim Benton, dalam tulisannya Coronavirus: Why are We Catching More Diseases from Animals mengatakan kalau sampai saat ini, baru 10% patogen yang sudah diidentifikasi. Butuh sumber daya lebih untuk mendapatkan sisanya dan mencari tahu hewan apa yang membawa penyakit itu.  
Di saat seperti ini, kita hanya butuh dua jenis manusia: Yang mau berpikir objektif dan tidak termakan berita kampungan yang menyebarkan ketakutan, dan mereka yang mau ambil peran dan mempelajari persoalan virus dengan serius.
Atau mungkin dunia ini butuh saya dan kamu, seperti halnya saya dan ibu, yang sepakat untuk sama-sama hening sejenak, untuk tidak melahirkan kesedihan dari Virus Corona.