Konten dari Pengguna

Sastra Anak Sebagai Cara Menerima Duka

Kristophorus Divinanto Adi Yudono
Berkarya di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
22 Juli 2025 17:05 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Sastra Anak Sebagai Cara Menerima Duka
Artikel ini membahas tentang sebuah cara pendampingan anak yang berduka pascakematian dengan memanfaatkan media sastra anak.
Kristophorus Divinanto Adi Yudono
Tulisan dari Kristophorus Divinanto Adi Yudono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Part of the journey is the end".
Kalimat yang diucapkan Tony Stark di akhir film Avengers: Endgame (2021) selalu menciptakan perasaan cemas. Akhir memang bagian dari perjalanan itu sendiri. Berangkat selalu mengenal sampai. Mulai juga akan menemui selesai. Namun akhir bukan hanya tentang ketuntasan yang menyenangkan. Tidak jarang berakhirnya suatu peristiwa membawa kesedihan, seperti berakhirnya kehidupan melalui peristiwa kematian.
ADVERTISEMENT
Kematian tidak pernah diterima dengan cara sederhana. Ketidaksiapan adalah respon yang dominan di depan peristiwa kematian. Meminjam istilah dari buku Rumah Ini Tak Lagi Sama karya Urfa Qurrota Ainy terbitan Buku Mojok tahun 2024: Tidak ada orang siap dengan kematian. Peristiwa kematian tetap akan berdampak pada kebatinan manusia, dari orang dewasa hingga anak-anak. Tidak ada waktu yang tepat untuk kematian. Peristiwa kematian kakek nenek, orang tua, paman, bibi, teman, bahkan hewan peliharaan, selalu akan dirasa tidak tepat pada waktunya.
Peristiwa kematian memberikan dampak besar dalam diri seseorang hingga bisa mengubah kepribadian orang itu sendiri. Ada yang memiliki struktur batin lebih kuat namun tidak sedikit juga yang struktur kebatinannya kian rapuh. Salah seorang murid yang saya ajar di sekolah nyaris tidak naik kelas ketika mendapati anjing peliharaannya mati tertabrak truk. Kemampuan akademis dan non-akademisnya menurun drastis. Menjadi proses yang panjang dan menantang untuk menghiburnya lagi agar bara semangatnya untuk sekolah kembali menyala. Tentu perihal menata ulang kepribadian setelah peristiwa kematian menjadi proses yang melelahkan dan terkadang terasa penuh paksaan.
Anak yang Sedih. Sumber: Ilustrasi generatif Chat GPT
Ketidaksiapan seseorang terhadap peristiwa kematian menempatkan pembahasan kematian itu sendiri sebagai topik yang tabu. Suatu ketika mertua saya membahas tentang dokumen-dokumen dan tindakan yang perlu dilakukan jika suatu hari nanti beliau meninggal dunia. Sontak istri saya langsung merespon dengan sebal dan mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain. Sama seperti saya yang takut ketika mendengar berita kematian seseorang dan hadir ke pemakaman seseorang. Takut jika suatu hari akan mengalami peristiwa kematian selanjutnya. Padahal kematian sama jelasnya dengan ilmu pasti. Pasti terjadi. Nyata dan ada.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang guru, saya selalu dihadapkan kebimbangan ketika menyambut kembali anak-anak yang baru saja mengalami peristiwa kematian. Selalu ada resah untuk memantik gairah belajar anak yang baru saja melewati duka dan perasaan kehilangan. Bagaimana cara memahami duka? Bagaimana cara menemukan kebahagiaan setelah peristiwa kematian? Kegundahan ini ternyata dialami oleh rekan sejawat sesama guru yang mengalami pengalaman serupa. Mereka lumayan kesulitan mendampingi murid-muridnya yang baru saja mengalami peristiwa kematian. Di sisi lain, perguruan tinggi jurusan pendidikan sampai hari ini tidak banyak membekali mahasiswanya tentang keterampilan pendampingan pascaperistiwa kematian. Semasa mahasiswa, perkuliahan dengan substansi semacam ini tidak pernah saya terima.
Baru-baru ini sebuah riset di Inggris memberikan perspektif menarik tentang mendampingi anak yang berduka setelah mengalami peristiwa kematian. Sebuah penelitian berjudul Supporting Primary Teachers to Address Loss and Death in the Classroom yang dipublikasi pada jurnal Pastoral Care in Education tahun 2024 melakukan eksperimen tentang pendampingan guru pada anak yang berduka. Dua belas guru terlibat dalam penelitian yang dilakukan pada anak sekolah dasar yang mengalami duka pascaperistiwa kematian. Eksperimen dilakukan dengan mengajak anak menemukan makna peristiwa kematian dengan lebih humanis melalui karya sastra.
Guru Membacakan Cerita untuk Menghibur Anak. Sumber: Ilustrasi Generatif Chat GPT
Alih-alih menghindari bahasan tentang kematian riset ini justru memanfaatkan cerita-cerita anak bermuatan kematian untuk dimanfaatkan dalam kegiatan belajar anak yang mengalami kedukaan pascaperistiwa kematian. Upaya ini dilakukan dengan tujuan menanamkan kesadaran pada anak bahwa kematian adalah kenyataan. Meski awalnya muncul penolakan, kecanggungan dan keengganan, guru-guru yang terlibat dalam proses riset ini mengungkapkan bahwa sastra anak dapat digunakan untuk ‘mengembalikan kemanusiaan’ anak-anaknya yang berduka.
ADVERTISEMENT
Awalnya guru-guru mengungkapkan metode ini tidak manusiawi atau terlalu ekstrem. Guru-guru takut topik kematian justru memperparah kondisi kebatinan anak yang baru saja mengalami peristiwa kematian. Namun setelah prosesnya dilakukan metode penggunaan sastra anak bertemakan kematian untuk pendampingan justru membantu anak-anak mengambil esensi dari peristiwa duka. Anak-anak mulai menerima kematian tanpa paksaan karena merasa relevan dengan tokoh yang ditonton, dibaca, atau disimak dalam cerita. Penelitian ini juga mengungkapkan pendampingan dengan metode semacam ini justru diperlukan untuk membantu anak mengatasi duka yang bisa mengganggu kegiatannya sehari-hari.
Setelah ditelisik, nyatanya cukup banyak karya sastra anak yang secara langsung membahas tema tentang kematian baik dari mancanegara maupun dalam negeri. Film Coco (Pixar, 2017), buku The Heart and the Bottle (2010) karya Oliver Jeffers, serial Creepy Case Club karya Rizal Iwan, adalah beberapa contoh karya sastra anak yang secara terang-terangan membahas topik kematian. Karya-karya ini dapat digunakan sebagai media pendampingan siswa yang mengalami duka kematian.
ADVERTISEMENT
Pendewasaan perspektif menerima kematian yang dialami oleh tokoh dalam cerita fiksi dapat menjadi pemahaman baru pada anak yang baru saja mengalami peristiwa kematian. Konsep mengikhlaskan dan berdamai dengan diri sendiri yang barangkali rumit dipahami anak melalui tuturan orang dewasa, dapat diterima melalui tokoh dalam cerita yang juga mengalami kematian.
Riset ini menjadi jawaban atas kegalauan guru-guru yang kelabakan mendampingi anak pascaduka. Pemanfaatan sastra anak sebagai media konseling pascaduka menjadi alternatif baru untuk membantu anak menerima duka. Guru memiliki kesempatan mencoba menjadi tempat berbagi duka yang nyaman untuk anak. Proses pendewasaan tidak dilakukan dengan menggurui melainkan menemukan makna baru melalui fiksi. Melalui sastra, guru dapat mengedukasi siswanya untuk menerima akhir yang menyakitkan dan menyedihkan dengan hati yang lapang. Guru bisa mendampingi rasa kehilangan tanpa paksaan melainkan dengan cara yang menyenangkan. Siswa juga bisa menerima peristiwa kematian sebagai kenyataan yang mendewasakan. Riset ini dapat menjadi referensi penyelenggaraan pendidikan yang mengedepankan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT