Paradoks Laut Cina Selatan: antara Geostrategis dan Ancaman Kedaulatan Negara

Krisman Heriamsal
Graduate Student of International Relations, Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
20 Mei 2024 8:04 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Krisman Heriamsal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
D ibalik letak geografis Laut Cina Selatan yang strategis, dengan keindahan dan kekayaan sumber daya alam bawah lautnya, terdapat situasi yang sangat rumit dan kompleks, diwarnai oleh ketegangan antar negara, benturan kepentingan, dan ancaman terhadap kedaulatan negara. Peta baru Tiongkok, ten-dash line yang mengeklaim separuh wilayah laut negara-negara di sekitar Laut Cina Selatan, menuai tanggapan dan penolakan dari negara-negara terkait.
ADVERTISEMENT
Ketegangan ini masih terjadi hingga saat ini dan melibatkan banyak aktor. Sementara itu, klaim dan aktivitas Tiongkok yang semakin agresif di kawasan ini, tampaknya memberi sinyal bahwa ketegangan yang ada akan terus meningkat jika tidak diambil langkah tepat untuk menyelesaikannya.
Wilayah Laut China Selatan. Sumber: Reuters
Tidak dapat dipungkiri bahwa sengketa Laut Cina Selatan sangat berkaitan dengan wilayah geostrategis wilayah ini sendiri. Dengan luas wilayah 3,685 juta kilometer persegi, Laut Cina Selatan menyimpan kekayaan sumber daya alam yang besar. Diperkirakan terdapat sekitar 213 miliar barel cadangan minyak dan sekitar 900 triliun kaki kubik gas alam di wilayah ini (Nainggolan et al., 2013). Selain itu, sepertiga total keanekaragaman laut dunia berada di Laut Cina Selatan, dan 10 persen populasi ikan dunia berada di kawasan ini (Citradi, 2020).
ADVERTISEMENT
Laut Cina Selatan juga terletak di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta diapit oleh dua benua, Asia dan Australia (Marsetio, 2023). Posisi geografis ini menjadikannya sebagai kawasan yang sangat berharga, dan banyak negara mengandalkan keamanan ekonominya melalui perairan ini.
Laut Cina Selatan merupakan salah satu jalur perdagangan dunia yang dilalui kapal dagang berbagai negara. Penelitian menunjukkan bahwa Laut Cina Selatan dilalui oleh 1/3 perdagangan maritim global, dengan nilai perdagangan mencapai 3,37 triliun USD setiap tahunnya (China Power Team, 2021).
Nilai perdagangan maritim negara-negara dengan perekonomianterbesar dunia di Laut Cina Selatan. Sumber: CSIS
Namun, seolah seperti kutukan, geostrategis Laut Cina Selatan justru menjadikannya sebagai titik panas atau pusat persaingan di Asia-Pasifik. Persaingan ini melibatkan klaim teritorial yang tumpang tindih antara beberapa negara di kawasan tersebut, termasuk Tiongkok, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan. (Marsetio, 2023). Dari enam negara yang mengajukan klaim, Tiongkok adalah satu-satunya negara yang paling agresif. Hal ini ditandai dengan upaya membangun kapasitas militer secara besar-besaran di kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT

Dari Nine-Dash Line ke Ten-Dash Line

Sengketa Laut Cina Selatan banyak dipengaruhi oleh salah satu kebijakan kontroversial Tiongkok, nine-dash line, yaitu klaim teritorial yang dilakukan Tiongkok secara sepihak di Laut Cina Selatan. Nine-dash line sendiri pertama kali ditunjukkan oleh Tiongkok pada tahun 1947 pada peta bertajuk “Peta Kepulauan Laut Cina Selatan”.
Pada tahun 1949 Tiongkok telah memasukkan peta nine-dash line ke dalam peta nasionalnya. Pada tahun 2009 dan 2011, Tiongkok mengajukan peta tersebut ke PBB namun mendapat tanggapan penolakan dari negara-negara di sekitar Laut Cina Selatan (Mollman, 2016).
Nine-dash line terdiri dari sembilan garis putus-putus yang melintasi sebagian besar perairan Laut Cina Selatan, termasuk wilayah yang diklaim oleh beberapa negara di Asia Tenggara. Luas wilayah yang diklaim Tiongkok dalam peta ini mencapai 2 juta km2 atau sekitar 90 persen luas Laut Cina Selatan (Adhi, 2021).
ADVERTISEMENT
Meski menurut Tiongkok, nine-dash line tersebut didasarkan pada pengalaman sejarah mereka, namun klaim tersebut tetap melanggar Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang menetapkan bahwa negara yang berbatasan langsung dengan laut memiliki zona ekonomi eksklusif (ZEE) sepanjang 200 mil laut dari pantai. pantai mereka (Mollman, 2016). Dalam hal ini, banyak wilayah yang diklaim oleh Tiongkok dalam nine-dash line merupakan ZEE negara lain di Laut Cina Selatan.
Nine-dash line bukan sekadar peta sederhana namun memiliki interpretasi yang lebih rumit atau multitafsir. Dalam konteks ini, Tiongkok menggunakan sembilan garis putus-putus untuk menunjukkan beberapa hal yaitu, pulau dan bebatuan di Laut Cina Selatan yang diklaimnya sebagai wilayah kedaulatannya; zona maritim yang diatur oleh UNCLOS, seperti laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen; dan perairan yang diklaim Tiongkok sebagai hak historisnya (Caruana, 2023).
ADVERTISEMENT
Alih-alih meminimalkan klaimnya di Laut Cina Selatan, pada tanggal 28 Agustus 2023, Tiongkok justru merilis peta terbaru yang mengubah sembilan garis putus-putus menjadi sepuluh garis putus-putus (ten-dash line), dan menambahkan Taiwan ke dalam aneksasinya di Laut Cina Selatan. Perubahan ini menunjukkan luas wilayah Laut Cina Selatan yang diklaim Tiongkok semakin bertambah, atau mencakup lebih dari 90 persen wilayah tersebut.
Ten-dash line membentang di selatan Pulau Hainan, melewati ZEE Malaysia dekat Sabah dan Sarawak, serta wilayah perairan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, dan Indonesia (BNPP RI, 2023). Hal ini juga mencakup wilayah yang disengketakan seperti Taiwan dan menambahkan klaim baru di dua wilayah di sepanjang perbatasan India (Clark, 2023).
Untuk memperkuat klaim teritorialnya melalui nine-dash line maupun ten-dash line, Tiongkok membangun dan memperluas pulau-pulau buatan di kawasan tersebut, khususnya di Kepulauan Spratly dan Paracel, yang dilengkapi dengan fasilitas militer. Selain itu, Tiongkok sering mengerahkan kapal perang, kapal penjaga pantai, dan pesawat militer untuk berpatroli di wilayah yang diklaimnya. Tiongkok juga melakukan eksplorasi dan pengeboran minyak dan gas di wilayah sengketa, serta melakukan penangkapan ikan ilegal di zona ekonomi eksklusif negara lain, termasuk Indonesia (Yamaguchi, 2016).
Lokasi sepuluh garis putus-putus di Laut Cina Selatan. Sumber: Reuters

Klaim Wilayah Tiongkok Mengancam Kedaulatan Indonesia

Meski Indonesia bukan negara pengklaim di Laut Cina Selatan, namun klaim sepihak Tiongkok di Laut Cina Selatan mengancam kedaulatan Indonesia. Hal ini terlihat dari klaim Tiongkok atas wilayah Natuna Utara yang termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Tiongkok juga melakukan aktivitas ilegal seperti penangkapan ikan di wilayah ini. Tindakan tersebut mengancam kedaulatan Indonesia dalam pengelolaan sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusifnya sendiri (Ardila and Putra, 2020).
ADVERTISEMENT
Misalnya, pada bulan Maret 2016, Tiongkok menabrak kapal nelayannya yang ditahan oleh pihak berwenang Indonesia di sekitar Natuna atas tuduhan penangkapan ikan ilegal di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Pada bulan Mei 2016, Tiongkok juga memprotes keras tindakan TNI Angkatan Laut yang menyita kapal Tiongkok di perairan dekat Kepulauan Natuna karena diduga melakukan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah Indonesia (Pradana, 2017). Bahkan saat ini, kapal-kapal Tiongkok masih sering melewati Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Ilustrasi, Sumber: Reuters
Sehubungan dengan itu, setidaknya ada 3 hal yang perlu diantisipasi Indonesia dari klaim Tiongkok di Laut Cina Selatan. Pertama, jika Tiongkok berhasil merongrong keutuhan wilayah Indonesia di Laut Cina Selatan, maka Indonesia akan kehilangan kemampuan untuk menguasai sepenuhnya wilayahnya di kawasan tersebut. Dengan kata lain, hal ini akan menyebabkan Indonesia kehilangan hak ekonomi untuk mengelola sumber daya alam yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kedua, klaim teritorial yang dilakukan Tiongkok melalui sepuluh garis putus-putus akan memberikan legitimasi bagi Tiongkok untuk meningkatkan kehadiran militernya di Laut Cina Selatan sehingga berpotensi mengancam keamanan nasional.
Dalam konteks ini, dengan meningkatnya aktivitas militer Tiongkok di wilayah kedaulatan Indonesia, Indonesia akan terpaksa meningkatkan belanja pertahanan dan mengalokasikan sumber daya untuk menjaga wilayahnya, yang dapat mengalihkan perhatian dari prioritas domestik lainnya.
Ketiga, ketika kedaulatan Indonesia dikompromikan di kawasan, maka akan berdampak pada reputasi dan pengaruh Indonesia di tingkat internasional. Dalam konteks ini, negara-negara yang mampu mempertahankan kedaulatannya cenderung dipandang lebih kuat dan berpengaruh dalam diplomasi global, dibandingkan negara-negara yang rentan terhadap instruksi kedaulatan oleh pihak lain.

Shuttle Diplomacy sebagai Solusi

Indonesia berperan dalam merespons sengketa di Laut Cina Selatan dengan melakukan berbagai strategi untuk menyelesaikan konflik tersebut. Misalnya saja melakukan dialog secara bilateral dan multilateral. Selain itu, Indonesia juga telah meningkatkan infrastruktur militernya, seperti pembangunan pangkalan militer dan fasilitas pendukungnya. Ada pula latihan militer rutin di kawasan Natuna.
ADVERTISEMENT
Diplomasi juga menjadi bagian dari pendekatan Indonesia, dengan mengadakan perjanjian kerja sama dan deklarasi cara damai dengan Tiongkok dalam penanganan dan pengelolaan Laut Cina Selatan (Laksmi et al., 2022). Namun upaya tersebut belum cukup efektif untuk meredam ketegangan di Laut Cina Selatan. Hal ini ditandai dengan masih masifnya aktivitas Tiongkok di kawasan, dan tumpang tindih klaim wilayah yang masih terjadi hingga saat ini.
Memang, untuk menekan negara seperti Tiongkok, rasanya tidak cukup kuat jika hanya mengandalkan kemampuan Militer saja. Apalagi, Tiongkok adalah salah satu negara dengan kekuatan militer yang baik. Sehingga, mustahil untuk menekan Tiongkok agar angkat kaki dari laut China Selatan.
Indonesia perlu mengambil alternatif atau pendekatan lain yang lebih soft dan masif. Dalam konteks ini, Indonesia dapat melakukan Shuttle Diplomacy sebagai upaya yang belum dilakukan selama ini. Shuttle Diplomacy merupakan suatu gambaran keadaan di mana pemerintah suatu negara melakukan kunjungan bolak balik ke beberapa pihak yang dianggap mempunyai keterlibatan atau hubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan sengketa tersebut, di mana kunjungan tersebut mengandung atau membawa misi atau tujuan tertentu dan khusus (Hoffman, 2011).
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan sengketa Laut Cina Selatan, Indonesia sebagai negara yang mempunyai prinsip politik luar negeri bebas aktif perlu melakukan Shuttle Diplomacy atau kunjungan khusus kepada pihak-pihak yang bersengketa dengan membawa misi tertentu yaitu perdamaian di Laut Cina Selatan.
Hal ini dapat diawali dengan mengunjungi Tiongkok sebagai negara yang paling agresif mengklaim Laut Cina Selatan, dan selanjutnya dapat mengunjungi negara-negara lain di Asia Tenggara yang juga terlibat dalam sengketa tersebut.
Melalui Shuttle Diplomacy, Indonesia dapat menghubungkan langsung negara-negara yang terlibat sengketa Laut Cina Selatan, tanpa memerlukan pertemuan fisik di lokasi yang sama. Pendekatan ini diharapkan dapat mengurangi ketegangan dan meningkatkan peluang tercapainya kesepahaman dan kesepakatan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Indonesia mempunyai keleluasaan untuk menyesuaikan strategi dan pendekatannya sesuai dengan dinamika situasi, dan respons masing-masing pihak yang terlibat memungkinkan Indonesia memfasilitasi dialog dengan cepat dan efisien tanpa perlu menunggu pertemuan formal di satu lokasi. Selain itu, pendekatan ini membantu menjaga kerahasiaan proses negosiasi dan mengurangi risiko konfrontasi atau eskalasi konflik.