Rentetan Pelanggaran Khartoum Resolutions: Isu di Balik Serangan Hamas ke Israel

Krisman Heriamsal
Master of International Relations, Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
24 November 2023 9:12 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Krisman Heriamsal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Para pejabat negara-negara Arab pada KTT Liga Arab, Sudan 1967. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Para pejabat negara-negara Arab pada KTT Liga Arab, Sudan 1967. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Telah lebih dari satu bulan konflik paling mematikan antara Israel dan Hamas yang melibatkan kekuatan militer secara besar-besaran berlangsung dengan sangat mengerikan.
ADVERTISEMENT
Data dari PBB menyebutkan bahwa hingga pada 10 November 2023 terdapat sekitar 12,254 warga palestina, dan 1,245 warga israel yang menjadi korban jiwa dalam perang tersebut (Tan, 2023). Peristiwa ini bermula ketika kurang lebih 2.200 roket ditembakkan ke wilayah israel, pada 7 Oktober 2023. Selang beberapa waktu, kelompok militan Hamas merilis pernyataan video yang mengeklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut (Hutchinson, 2023).
Israel merespons aksi Hamas tersebut dengan serangan balasan yang sangat besar. Selain melakukan serangan terhadap rumah-rumah penduduk di Gaza, tentara Israel juga menghancurkan fasilitas umum seperti Sekolah, Masjid, Gereja, Rumah Sakit, dan Kantor Pemerintahan. Hingga 6 November 2023, sebanyak 160 bangunan sekolah (60 hancur total), 88 bangunan kantor pemerintahan, 25 gedung rumah sakit, 58 Rumah ibadah, dan 220 ribu unit rumah yang diserang oleh tentara Israel (Annur, 2023).
Sejumlah Fasilitas Umum yang diserang Israel (7 Oktober-6 November 2023). Foto: databoks

Mengenal Khartoum Resolutions

Serangan Hamas terhadap Israel tentu saja bukan tanpa alasan, melainkan ada banyak kemungkinan-kemungkinan logis yang dianggap telah melandasi serangan Hamas tersebut. Salah satunya adalah semakin masifnya tekanan yang diberikan oleh Israel bagi rakyat Palestina yang kemudian membuat Hamas juga semakin ingin memantapkan misinya dalam melawan Israel. Di sisi lain, ada indikasi kekecewaan Hamas terhadap negara-negara Arab yang mulai mengabaikan kesepakatan mereka dalam Khartoum Resolutions.
ADVERTISEMENT
Khartoum Resolutions sendiri berawal dari perang 6 hari pada 5-10 Juni 1967 yang melibatkan Israel dan 3 negara Arab yaitu Mesir, Yordania, dan Suriah. Konflik tersebut memakan korban jiwa kurang lebih 20.000 orang Arab dan 800 orang Israel. Setelah dimediasi oleh PBB, perang 6 hari tersebut berakhir, dan Israel berhasil meraih kemenangan di atasnya. Atas kemenangannya, Israel mengambil alih Dataran Tinggi Golan dari Suriah, juga mengambil alih Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, dan mengambil alih Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania (Adryamarthanino et al. 2022).
Merespons kemenangan Israel dan kekalahan mereka dalam perang 6 hari tersebut, sebulan setelahnya pimpinan negara-negara Arab yaitu presiden Mesir, raja Yordania, perdana menteri suriah, Lebanon, Algeria, Irak, Kuwait dan Sudan, dan delegasi negara arab lainnya melakukan pertemuan di Khartoum, Sudan, pada 29 Agustus hingga 1 September 1967 dalam rangkaian KTT Liga Arab ke-4. Konferensi tersebut membahas bagaimana agar negara-negara Arab kembali merebut tanah yang diambil oleh Israel. Pertemuan ini kemudian melahirkan Khartoum Resolutions (Tamara, 2012).
Ilustrasi ketegangan hubungan Liga Arab dan Israel. Foto: shutterstock
Khartoum Resolution menghasilkan 7 kesepakatan bersama antara negara-negara arab (League of Arab States (LAS), 1967). Pertama, menegaskan persatuan barisan Arab, kesatuan aksi bersama dan perlunya koordinasi dan penghapusan semua perbedaan. Para Raja, Presiden dan perwakilan Kepala Negara Arab lainnya yang hadir dalam konferensi ini telah menegaskan sikap negara mereka untuk mendukung dan melaksanakan Piagam Solidaritas Arab yang telah ditandatangani pada konferensi tingkat tinggi Arab ketiga di Casablanca.
ADVERTISEMENT
Kedua, konferensi menyepakati perlunya mengkonsolidasikan semua upaya untuk menghilangkan dampak agresi atas dasar bahwa tanah yang diduduki adalah tanah Arab dan bahwa beban untuk mendapatkan kembali tanah tersebut berada di pundak semua Negara Arab.
Ketiga, negara-negara Arab sepakat untuk menyatukan upaya-upaya politik mereka di tingkat internasional dan diplomatik untuk menghilangkan dampak dari agresi dan untuk memastikan penarikan pasukan agresor Israel dari tanah Arab yang telah diduduki sejak agresi 5 Juni. Hal ini akan dilakukan dalam kerangka prinsip-prinsip utama yang dipegang teguh oleh Negara-negara Arab, yaitu tidak ada perdamaian dengan Israel, tidak mengakui Israel, tidak ada negosiasi dengan Israel, dan menuntut hak-hak rakyat Palestina di negara mereka sendiri.
Keempat, konferensi memutuskan untuk melanjutkan pemompaan minyak, karena minyak adalah sumber daya Arab yang positif yang dapat digunakan untuk melayani tujuan-tujuan Arab. Hal ini dapat memberikan kontribusi pada upaya untuk memungkinkan Negara-negara Arab yang terkena agresi dan dengan demikian kehilangan sumber daya ekonomi untuk berdiri teguh dan menghilangkan efek dari agresi. Negara-negara penghasil minyak, pada kenyataannya, telah berpartisipasi dalam upaya-upaya untuk memungkinkan Negara-negara yang terkena dampak agresi untuk berdiri teguh dalam menghadapi tekanan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Kesepakatan kelima, para peserta konferensi telah menyetujui rencana yang diusulkan oleh Kuwait untuk mendirikan Dana Pembangunan Ekonomi dan Sosial Arab berdasarkan rekomendasi konferensi Menteri Keuangan, Ekonomi, dan Minyak Arab di Baghdad. Keenam, Para peserta telah menyetujui perlunya mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperkuat persiapan militer dalam menghadapi segala kemungkinan. Kesepakatan ketujuh, konferensi telah memutuskan untuk mempercepat penghapusan pangkalan-pangkalan asing di Negara-negara Arab (League of Arab States (LAS), 1967).
Ilustrasi Kesepakatan Bersama. Foto: hutterstock
Tercapainya Khartoum Resolutions menunjukkan komitmen atau persatuan yang kuat antara negara-negara Arab untuk bersama-sama menempuh kebijakan yang serupa dalam menghadapi Israel. Penekanan utamanya adalah pada kesepakatan ketiga yang kemudian umum diketahui dengan istilah "Three Nos" (Tidak ada pengakuan terhadap Israel, tidak ada negosiasi dengan Israel, dan tidak ada perdamaian dengan Israel) (Center for Israel Education, 2023).
ADVERTISEMENT

Pelanggaran Negara-negara Arab atas Khartoum Resolutions

Pasca dicapainya Khartoum Resolutions, kelompok Palestine Liberation Organization (PLO) seolah mendapatkan legitimasi dan dukungan dari pimpinan negara-negara Arab. Hal itu membangkitkan semangat bagi kelompok tersebut untuk berjuang merebut kembali wilayah yang telah direbut oleh Israel.
Pada Oktober 1973, Perang Yom Kippur terjadi, Israel diserang oleh negara Mesir dan Suriah. Tujuannya tidak lain adalah apa yang disepakati dalam Khartoum Resolutions, yaitu merebut kembali Semenanjung Sinai, dan Dataran Tinggi Golan. Saat itu, Mesir berhasil dengan mengirim pasukannya untuk menyerang pasukan israel di semenanjung sinai, dan Suriah berhasil mengambil kembali dataran tinggi golan (Aljazeera, 2023).
Pertempuran di Dataran Tinggi Golan. Foto: Aljazeera
Tindakan Mesir dan Suriah di atas, pada dasarnya masih menunjukkan komitmen atas Khartoum Resolutions. Tetapi, hal itu berubah beberapa tahun setelahnya ketika presiden Mesir Anwar Sadat melakukan kunjungan pertama secara diam-diam ke Yerusalem pada November 1977. Pada tahun berikutnya, Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter, mengundang Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin untuk bertemu di Camp David,Maryland. Pertemuan tersebut kemudian menghasilkan perjanjian yang dikenal dengan Camp David Accords, di mana perjanjian tersebut adalah perjanjian pertama antara Israel dengan negara-negara arab di sekitarnya (Carter, 2023).
ADVERTISEMENT
Camp David Accords mencakup beberapa kesepakatan. Pertama, sebuah proses untuk pemerintahan sendiri bagi Palestina di Tepi Barat dan Gaza. Kedua, kerangka kerja untuk mencapai kesepakatan damai antara Mesir dan Israel. Ketiga, kerangka kerja yang sama untuk kesepakatan damai antara Israel dan negara-negara arab lainnya. Pada 26 Maret 1979, Anwar Sadat dan Menachem Begin Mesir menandatangani perjanjian damai di Gedung Putih, Washington DC. Melalui perjanjian tersebut Israel setuju untuk mundur dari Sinai, dan Mesir berjanji untuk membangun hubungan diplomatik yang normal antara kedua negara dan membuka Terusan Suez untuk kapal-kapal Israel yang sebelumnya dilarang.
Walaupun hal ini adalah untuk tujuan damai, tetapi jelas bahwa langkah yang diambil oleh mesir adalah bentuk pengkhianatan dan pelanggaran terhadap Khartoum Resolution yang telah disepakati bersama ketujuh negara arab lainnya, terutama yang terkait dengan Three Nos (Tidak ada pengakuan terhadap Israel, tidak ada negosiasi dengan Israel, dan tidak ada perdamaian dengan Israel).
Presiden Mesir Anwar Sadat, dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin. Foto: Britannica
Setelah Mesir, pada tanggal 26 Oktober 1994, Yordania juga ikut menormalisasi hubungan dengan Israel dalam perjanjian damai yang dikenal dengan Perjanjian Wadi Araba. Kedua negara sepakat untuk mengakhiri permusuhan dan perang yang telah berlangsung selama puluhan tahun (Ahren & Rasgon, 2019). Perjanjian tersebut menjamin Yordania untuk mengembalikan tanah yang didudukinya, serta pembagian air yang adil dari sungai Yarmouk dan sungai Yordan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kedua negara menandatangani serangkaian protokol yang menetapkan kerangka kerja hubungan yang saling menguntungkan di berbagai bidang seperti perdagangan, transportasi, pariwisata, komunikasi, energi, budaya, ilmu pengetahuan, navigasi, lingkungan hidup, kesehatan, dan pertanian, serta perjanjian kerja sama untuk Lembah Yordania dan wilayah Aqaba-Eilat (Text of the Treaty of Peace Between Jordan and Israel, 1994).
Yordania sendiri adalah salah satu negara yang menyepakati Three Nos dalam Khartoum Resolutions. Maka, dapat dikatakan bahwa Yordania dalam upayanya menormalisasi hubungan dengan Israel adalah bentuk pelanggaran terhadap resolusi bersama negara arab lainnya.
Ilustrasi Normalisasi Hubungan Yordania dan Israel. Foto: Shutterstock
Pada tanggal 15 September 2020, melalui mediasi yang ditengahi oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, sebuah perjanjian yang disebut Abraham Accords, disepakati oleh Israel dan Uni Emirat Arab (UEA). Kedua negara sepakat untuk membangun perdamaian, hubungan diplomatik dan persahabatan, kerja sama dan menormalisasi penuh hubungan antara mereka dan rakyat mereka. UEA dan Israel berkomitmen untuk memastikan perdamaian, stabilitas, keamanan dan kemakmuran antara kedua negara dan meningkatkan perekonomian keduanya melalui kerja sama.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kedua negara menyepakati untuk saling mengakui dan menghormati kedaulatan dan hak masing-masing, dengan tetap mengedepankan perdamaian. Kedua negara juga akan melakukan pertukaran duta besar sesegera mungkin setelah penandatanganan Traktat tersebut, dan akan melakukan hubungan diplomatik dan konsuler sesuai dengan peraturan-peraturan hukum internasional yang berlaku. Mereka berjanji untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah kegiatan teroris atau permusuhan satu sama lain di atau dari wilayah masing-masing (US Department of State, 2020).
Di saat yang bersamaan dengan UEA, Bahrain juga ikut menandatangani perjanjian Abraham Accords. Raja Hamad bin Isa bin Salman al-Khalifa dan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah sepakat untuk membangun hubungan diplomatik penuh, dan membuka era persahabatan dan kerja sama untuk mewujudkan kawasan Timur Tengah yang stabil, aman, dan sejahtera demi kepentingan semua negara dan rakyat di Kawasan Timur Tengah. Kedua negara sepakat untuk memajukan perdamaian di kawasan, serta mengakui hak setiap negara untuk berdaulat dan hidup dalam perdamaian dan keamanan (US Department of State, 2020).
ADVERTISEMENT
Selaku negara-negara Liga Arab, UEA dan Bahrain tentu saja adalah bagian dari kesepakatan Khartoum Resolutions.Namun, Abraham Accords telah menunjukkan pengkhianatan kedua negara ini terhadap kesepakatan bersama yang mereka sepakati di tahun 1967 silam. Menormalisasi hubungan dengan Israel, berarti telah melanggar Three Nos pada dalam Khartoum Resolutions.
Benjamin Netanyahu, Donald Trump, Abdullatif bin Rashid Al Zayani, and Abdullah bin Zayed Al Nahyan pada penandatanganan Abraham Accords. Foto: Reuters
Menyusul dua negara Arab lainnya, pada 22 Desember 2020, Maroko juga melakukan pelanggaran atas Khartoum Resolutions dengan menandatangani perjanjian Abraham Accords bersama Israel. Kedua negara sepakat untuk menormalisasi hubungan satu sama lain, dan membuka peluang untuk bekerja sama. Kedua pihak sepakat untuk pembentukan hubungan diplomatik, damai dan bersahabat secara penuh, serta berkomitmen memajukan perdamaian di kawasan (US Department of State, 2020).
Selang beberapa waktu, Sudan juga menandatangani kesepakatan untuk menormalisasi hubungan dengan Israel di bawah Abraham Accords pada Januari 2021. Padahal Sudan sendiri adalah tempat dilahirkannya Khartoum Resolutions atau perjanjian untuk tidak melakukan hubungan dengan Israel (Aljazeera, 2021). Alasannya, karena penting untuk menjaga dan memperkuat perdamaian di Timur Tengah dan di seluruh dunia berdasarkan saling pengertian dan hidup berdampingan, serta penghormatan terhadap martabat dan kebebasan manusia, termasuk kebebasan beragama. Selain itu, Sebagai bagian dari normalisasi hubungan, Sudan juga menghapus undang-undang yang telah berusia puluhan tahun tentang pemboikotan terhadap Israel (Magdy, 2021).
Kepala Dewan Kedaulatan Sudan dan Menteri Luar Negeri Israel. Foto: Reuters
Three Nos, Tidak ada perdamaian dengan Israel, tidak mengakui Israel, tidak ada negosiasi dengan Israel, dan menuntut hak-hak rakyat Palestina di negara mereka sendiri, sebagai salah satu prioritas dalam Khartoum Resolutions, pada akhirnya hanya bersifat angan-angan belaka dengan adanya rentetan normalisasi hubungan beberapa negara Arab dengan Israel. Normalisasi Hubungan beberapa negara Arab dengan Israel pada akhirnya menunjukkan bahwa perjuangan Palestina untuk merdeka, dan bebas dari tekanan Israel, bukan lagi menjadi isu penting bagi negara-negara Arab sebagaimana komitmen mereka pada tahun 1967 dalam Khartoum Resolution.
ADVERTISEMENT

Mengapa Hamas Menyerang?

Ilustrasi pasukan Hamas. Foto: Shutterstock
Negara-negara Arab dapat dikatakan adalah pihak-pihak yang sangat diharapkan oleh Hamas untuk memperjuangkan keadilan atas Palestina yang masih berada dalam tekanan Israel. Tidak sedikit negara-negara Arab yang memberikan dukungan terhadap Hamas. Beberapa negara Arab yang telah memberikan dukungan kepada Hamas antara lain Saudi Arabia, Qatar, Suriah, dan Yaman. Dukungan ini dapat berupa bantuan keuangan, dukungan politik, atau dukungan retorika (Tianshe CHEN, 2018).
Sehubungan dengan itu, kesepakatan negara-negara Arab melalui Khartoum Resolution adalah legitimasi bagi Hamas, sekaligus menjadi motivasi, dengan harapan negara-negara Arab akan menjadi backing bagi hamas dalam melawan Israel. Tetapi, rentetan normalisasi negara-negara Arab dengan Israel pasca Khartoum Resolution sepertinya telah melenyapkan harapan Hamas terhadap negara Arab. Pada akhirnya mereka harus berjuang sendiri dalam mencapai tujuan dari Khartoum Resolution tersebut.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, tekanan dari Israel terhadap Palestina yang terus berlangsung, dan kerap kali melanggar hak asasi manusia dan mengakibatkan korban sipil. Tentu saja ini memicu amarah dari kelompok Hamas. Sayangnya, tidak ada kemungkinan pihak luar termasuk negara-negara Arab untuk memberikan dukungan yang pasti terhadap palestina. Harapan akan adanya tekanan dari negara arab terhadap Israel sepertinya telah dihilangkan oleh Hamas. Akibatnya, dengan mencari kesempatan yang tepat, Hamas kemudian melakukan serangan pada 7 Oktober 2023, di mana itu mengindikasikan adanya kekecewaan terhadap negara-negara Arab yang tidak memegang komitmennya atas Khartoum Resolution.