Jogja Darurat Sampah, Bukti Membuang Sampah di Tempatnya Saja Tidak Cukup

Kris Mheilda Setiawati
Suka menulis kecuali pas lagi nggak Aktif di Instagram @idamaann
Konten dari Pengguna
24 Maret 2021 19:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kris Mheilda Setiawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Sampahnya udah numpuk banget lho, kok enggak diambil sih? Ini udah bau banget lho.
com-Ilustrasi Tempat Pembuangan Sampah Foto: Shutterstock
Begitu kira-kira respons salah seorang penghuni indekos di kawasan Baciro. Sampah-sampah nampak menggunung mengganggu pemandangan. Bau menyengatnya sudah semakin meresahkan hati dan pikiran memantik setiap insan yang melihat, ingin segera misuh dan menyalahkan siapa saja yang tidak segera melenyapkan sampah-sampah tersebut dari pandangan.
ADVERTISEMENT
Jogja darurat sampah lagi, begitu judulnya kira-kira. Dalam kurun waktu 3 bulan terakhir, Jogja yang katanya istimewa nan berhati nyaman ini diterjang badai darurat sampah. Darurat sampah sebelumnya terjadi sekitar awal Januari 2021, para warga sekitaran TPST (Tempat Pembuangan Sampah Terpadu) Piyungan secara bersama-sama memblokade jalan utama lalu-lintas truk sampah menuju dermaga.
Warga dengan lantang menolak truk-truk sampah yang membawa sampah-sampah dari 2 kabupaten (Bantul dan Sleman) dan Kota Jogja, dengan pertimbangan TPST Piyungan sudah melebihi kapasitas hingga meresahkan warga lantaran sampah sudah mengganggu akses jalan masyarakat yang tinggal di sekitar TPST hingga air lendi masuk ke pemukiman warga.
Bayangkan ya, bayangkan saja, kalau rumah kita di sekitaran TPST Piyungan. Setiap hari menciumi bau-bau sampah yang jelas-jelas bukan sampah yang kita buang. Jalan yang biasa kita lewati apel malam mingguan berceceran sampah, belum lagi kalau kita ngajak Mas Pacar atau Mbak Pacar main ke rumah kenalan sama bapak ibu, baru lewat jalan TPST aja udah tekontaminasi bau lendi, piye perasaanmu bun?
ADVERTISEMENT
Selama ini Jogja memang nampak terlihat baik-baik saja, apalagi didukung dengan romantisasi Jogja yang makin hari makin njelehi saja. Jogja tidak baik-baik saja bun, apalagi persoalan sampahnya.
Mungkin kita tidak akan menemukan gunungan sampah itu di kawasan Malioboro, Tugu, maupun Kraton--eh, Alun-alun. Gunungan sampah itu berada di titik-titik yang tentu saja jauh dari pusat keramaian Jogja. Misal di TPSS (Tempat Pembuangan Sampah Sementara) Lempuyangan; TPSS Baciro; TPSS Mandala; pokoknya jangan sampai kelihatan lah itu sampah oleh mata para wisatawan yang datang ke Jogja.
Kenapa, tuh? Ya, supaya sampah-sampah ini tidak mengganggu para wisatawan untuk berpuisi dan selfie-selfie ria meromantisasi Jogja, seakan-akan Jogja ini memang istimewa senajan UMR-nya kecil.
ADVERTISEMENT
Baik, tenang, tidak ada gunanya saling menyalahkan dalam permasalahan sampah ini. Mari kita akui bersama bahwa masalah sampah memang bukan permasalahan yang mudah, karena berkaitan dengan kebiasaan dan tingkat kepedulian kita yang masih rendah.
Kondisi TPST Piyungan, Yogyakarta.
Melihat dari fenomena darurat sampah, ini memberikan bukti bahwa membuang sampah pada tempatnya saja tidak cukup menjadi solusi penanganan sampah, TIDAK CUKUP ya gaes. Ingat ini.
Membuang sampah pada tempatnya hanya sebatas memindahkan sampah yang kita buang ke tempat sampah rumah menuju tempat sampah yang lebih besar alias TPST.
Iya, hanya sekadar memindahkan sampah dari yang tadinya terlihat di depan mata menjadi tidak terlihat. Tidak terlihatnya sampah di depan mata kita bukan berarti sampah tersebut hilang dari muka bumi ini. Tentu saja tidak semudah itu.
ADVERTISEMENT
Sampah kita masih ada sampai hari ini gaes, bahkan sampah popok kita waktu masih bayi, plastik bungkus teh instan yang kita beli waktu SD, bungkus permen lolipop susu yang kita beli pas istirahat sekolah, saya yakin masih ada di tumpukan sampah di TPST sampai saat ini.
Lalu apa yang bisa dilakukan dengan kondisi ini?
Karena regulasi terkait sampah di Indonesia sendiri masih carut marut, yang dibutuhkan saat ini adalah kesadaran diri sendiri terkait sampah. Sampah yang kita hasilkan seharusnya menjadi tanggung jawab masing-masing, bukan menjadi tanggung jawab pemerintah, apalagi tukang sampah. Kalau misal enggak bisa tanggung jawab, ya, enggak usah buang sampah. Simpel kan?
Terus caranya gimana? Lhawong sesimpel mau masak nasi goreng saja perlu kecap, perlu MSG, perlu garam halus yang semuanya berpotensi menjadi sampah karena kita tidak makan bungkus plastiknya.
ADVERTISEMENT
Satu hal lagi sulitnya menangani persoal sampah adalah kita lebih suka beralasan dari pada melakukannya. Padahal sudah banyak solusi diciptakan, semacam Eco Brick, Bank Sampah, Parongpong, Bulk Store. Bahkan pelbagai piranti minim sampah sudah banyak dibuat. kita hanya perlu membelinya sekali dan gunakan berkali-kali, ingat beli sekali gunakan berkali-kali ya gaes.
Yang dibutuhkan dalam penanganan masalah sampah adalah tindakan. Warga sekitar TPST butuh tindakan yang tegas, baik dari pemerintah maupun kita masyarakat yang turut berkontribusi membuang sampah di TPST.
Menunggu kebijakan tentu akan lama. Jadi, kita bisa memulai dari diri sendiri dulu. Mulai dari hal paling kecil: membawa kantong belanja sendiri ketika belanja, membawa botol minum sendiri ketika ke luar rumah, membawa wadah sendiri ketika jajan cilok. Bisa dari tindakan sesimpel itu, tapi perlu dibiasakan.
ADVERTISEMENT
Paling tidak kita sudah berusaha mengurangi penggunaan sampah sekali pakai. Paling tidak dari kebiasaan kecil yang mulai kita bangun secara terus menerus bisa berdampak baik pada hal-hal besar lainnya. Bismillah, yok bisa yok.