Mengolah Hasil Tani, Tidak Semudah yang Kamu Bayangkan

Kris Mheilda Setiawati
Suka menulis kecuali pas lagi nggak Aktif di Instagram @idamaann
Konten dari Pengguna
25 September 2021 7:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kris Mheilda Setiawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi : Foto pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi : Foto pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Kenapa sih tidak diolah menjadi produk yang lain saja? Dibikin bubuk dilabeli stiker BTS auto laris” respon dari salah satu warganet yang budiman ketika melihat video petani yang membakar tanaman cabai, karena mengetahui harga cabai anjlok.
ADVERTISEMENT
Mungkin maksud netizen yang budiman ini baik, daripada dibakar atau dibuang. Mending hasil tani diolah menjadi olahan produk yang lain biar nggak mubazir begitu ya kira-kira. Baiklah mari kita ulas sedikit tentang solusi membuat olahan cabai ini.
Penulis adalah seorang anak muda yang mencoba tinggal di tengah desa di daerah Sleman, Yogyakarta. Bersama teman-teman mengaktivasi warung kelontong yang menjual dan membuat berbagai produk olahan dari sekitar.
Mayoritas mata pencaharian masyarakat di sekitar warung adalah petani. Mereka menanam padi, cabai, kacang panjang, tomat dan lain-lain.
Karena tinggal di tengah-tengah desa, kami sering mendengar keluh-kesah para petani. Awal bulan September ini misal, kami mendapat kabar bahwasanya harga cabai anjlok hingga ke angka Rp 3 ribu per-kilo. Padahal hampir semua petani di sini menanam cabai, dan bersiap untuk panen raya.
ADVERTISEMENT
Anjloknya harga jual cabai ini yang akhirnya melatarbelakangi para petani enggan memanen cabainya, bahkan sebagian hanya dibagikan gratis ke siapa saja yang mau, dengan syarat petik sendiri di sawah. Sebagian memilih untuk tidak dipanen, dan sebagian lagi sengaja dirusak.
Kalau di desa kami, petani lebih memilih untuk membagikannya gratis kepada para tetangga, dan sebagian lagi didiamkan hingga membusuk.
Setelah mendapat kabar bahwa harga cabai anjlok, kami langsung mengambil inisiatif untuk berbuat sesuatu. Menonton YouTube adalah jalan ninja, risat-riset kira-kira produk seperti apa yang harus kami buat untuk merespons harga cabai ini.
Akhirnya kami memutuskan untuk membuat tiga produk olahan cabai yaitu chili oil, abon cabai, dan serbuk cabai (cabai bubuk).
ADVERTISEMENT
Dari kami semua belum ada satu pun yang pernah mengolah cabai menjadi suatu produk. Kami betul-betul belajar kilat dari internet. Trial error berkali-kali, sampai akhirnya bisa mengunci satu formula yang kami rasa cocok dengan lidah kami.
Kurang lebih prosesnya seperti ini, untuk membuat olahan cabai. Pertama yang kami lakukan adalah, mithili atau memisahkan cabai dari batangnya, dicuci bersih lalu dimasukkan ke dalam rumah pengering.
Based ketiga produk olahan ini adalah cabai yang dikeringkan. Dari 5 kilo cabai basah yang kami keringkan hanya menghasilkan 1 kg cabai kering.
Sambil bayangkan berapa lama kami memakan waktu untuk mengolah si cabai basah ini ya. Mulai dari mithili (memetik gagang cabai) saja, sudah membutuhkan waktu sampai berjam-jam.
ADVERTISEMENT
Setelah itu mulai proses pengeringan, beruntungnya kami tinggal di tengah desa memiliki fasilitas berupa solar dryer atau rumah pengering, karena memang satu ekosistem dengan Agradaya (UMKM pengolahan empon-empon) jadi sistem pengeringan kita sedikit lebih mudah karena tinggal taruh di solar dryer sudah aman dari serangan ayam-ayam tetangga, dan cuaca yang tidak menentu.
Bayangkan kalau petani yang mengerjakan, setelah panen mereka harus segera mengolah cabai-cabai ini, jarang sekali ada petani yang memiliki solar dryer di rumahnya. Mereka akan mengeringkan secara manual, menggunakan sinar matahari langsung. Belum kalau cuaca tidak menentu, tiba-tiba hujan.
Keribetan membuat produk olahan tidak hanya sampai di situ. Setelah kering, hingga cabai berbunyi krenyes-krenyes saat dipatahkan. Proses selanjutnya yaitu menggiling, jangan kira menggiling cabai ini hanya tinggal masukin ke blender terus selesai semua masalah hidup ya, tentu saja tidak. Banyak terjadi drama di sini, mulai dari tangan panas, bersin-bersin puluhan kali, mata perih, dan memakan banyak waktu.
ADVERTISEMENT
Kami mencoba menggiling 5 kg cabai kering yang berarti dari 25 kg basah. Waktu yang kami butuhkan untuk proses menggiling ini sekitar 4-5 jam.
Setelah itu baru proses pemasakan, proses memasak ini juga jangan dianggap remeh ya, jika dikalkulasi proses memasak ini menentukan 30% keberhasilan produk, yaitu rasa masakan. Pembuatan formula alias resep itu yang sulit, bagaimana membuat cabai-cabai ini dimasak hingga sesuai dengan selera pasar.
Nah ini lagi, selera pasar, itu artinya ketika membuat produk kita juga perlu mengetahui siapa target marketnya, apakah ibu-ibu muda anak satu, muda-mudi kosan, penggemar BTS, atau ibu-ibu pejabat. Tidak bisa sembarangan, kalau mau sembarangan produksi ya siap-siap saja rugi lebih besar.
Intinya, waktu petani panen raya harganya anjlok, lalu petani memilih untuk membakar atau merusak hasil taninya. Mbokya jangan minta mereka untuk mengolah hasil taninya sendiri menjadi produk yang lain. Tidak semudah itu. Apalagi menyuruh mereka, tanpa memberikan pengarahan atau pendampingan. Hmm… mendingan diam deh, serius. Katakan dalam hati saja sudah.
ADVERTISEMENT
Kami paham sih, maksud teman-temanku ini sebetulnya bagus, dari pada sayang ya cabai segar-segar malah dibakar atau dirusak sama petaninya sendiri.
Hancur hati ini melihatnya, tapi bayangin juga gimana rasanya para petani pas memutuskan untuk membakar sendiri hasil jerih payahnya, tanaman yang dia rawat dari benih sampai panen, jauh lebih sakit.
Mengolah hasil panen yang harganya anjlok menjadi produk olahan memang bisa menjadi salah satu solusi, tapi bukan berarti harus petaninya yang mengolah sendirian.
Butuh kolaborasi dengan berbagai pihak, petani sudah lelah dengan segala rutinitas bertaninya. Setelah panen mereka harus menanam lagi, begitu seterusnya.