Mitigasi Bencana Berbasis Cerita Rakyat

Kris Mheilda Setiawati
Suka menulis kecuali pas lagi nggak Aktif di Instagram @idamaann
Konten dari Pengguna
15 Maret 2021 17:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kris Mheilda Setiawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar : https://www.goodnewsfromindonesia.id/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar : https://www.goodnewsfromindonesia.id/
ADVERTISEMENT
Berita bencana yang hilir mudik di linimasa media sosial membawa saya kembali mengingat pelajaran Geografi zaman sekolah dulu. Fakta bahwa Indonesia negara kita masuk dalam kawasan rawan bencana karena dilewati jalur gunung api Sirkum Mediterania dan Sirkum Pasifik, serta menjadi wilayah yang diapit tiga lempeng tektonik, menjadi faktor Indonesia kerap mengalami gempa bumi dan gunung meletus.
ADVERTISEMENT
Fakta tersebut sudah diketahui puluhan tahun lalu. Seharusnya bisa membuat kita lebih siap dengan segala kemungkinan bencana yang akan terjadi.
Namun melihat kenyataan yang terjadi saat ini rasanya kita masih terkatung-katung setiap terjadi bencana. Puluhan korban jiwa tak terhindarkan tiap terjadi bencana alam. Negara kita masih jauh dari ideal dalam penanganan bencana, padahal jika mengacu pada fakta yang ada seharusnya mitigasi bencana masuk dalam daftar prioritas pemerintah.
Saya adalah salah satu orang yang percaya sejarah itu berulang. Apa yang terjadi hari ini pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Terutama dalam hal bencana alam, karena saya tinggal di Jogja saya kerap merasakan Jogja bergoyang karena gempa bumi baik tektonik maupun vulkanik, baik dalam skala besar seperti yang menimpa Jogja tahun 2006 lalu, maupun gempa dalam skala kecil, yang hampir terjadi setiap bulannya.
ADVERTISEMENT
Jogja merupakan salah satu daerah rawan bencana, namun selama hidup di Jogja baru sekali saya merasakan pelatihan mitigasi bencana, itupun saya rasakan setelah gempa Jogja tahun 2006 lalu, yang berarti saya masih kelas 3 SD. Materi yang saya ingat pun hanya langkah bersembunyi di bawah meja yang kokoh saat terjadi gempa di sekolah, setelah itu tidak tahu harus melakukan apalagi.
Melihat rentetan bencana di awal tahun 2021 ini cukup membuat hati saya ngilu. Memori menjadi pengungsi di barak pengungsian 15 tahun lalu mengusik pikiran saya. Butuh berapa banyak korban lagi agar membuat kita sadar bahwa kita perlu melakukan PDKT lebih serius dengan bencana alam. Rasanya kita masih benar-benar asing dengan gempa bumi, gunung meletus, dan tsunami.
ADVERTISEMENT
Narasi-narasi kebencanaan seharusnya mulai banyak diutarakan sedini mungkin, bukan sebagai momok. Namun sebagai suatu hal yang perlu kita siapkan jika doi datang, kita tidak kebingungan harus bersikap seperti apa.
Baru-baru ini saya menengok postingan mbak @mentarirona di Instagram pribadinya yang membahas soal mitigasi bencana melalui cerita rakyat. Saya cukup antusias dengan apa yang ditulis oleh Mbak Rona Mentari si juru dongeng keliling. Ia menceritakan bahwa orang-orang pendahulu kita sebetulnya sudah jauh ke depan memikirkan mitigasi bencana yang dikemas menggunakan cerita rakyat.
Salah satu cerita rakyat yang berhasil menyelamatkan satu daerah dari bencana alam tsunami adalah cerita rakyat Simeuleu yang disebut Smong. Cerita rakyat Smong telah menyelamatkan warga Simeuleu dari amukan tsunami pada tahun 2004 lalu. Di pulau ini, hanya tiga orang dari sekitar 70 ribu penduduk yang dilaporkan meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Smong dalam bahasa setempat (devayan) mengandung arti gelombang besar yang terjadi setelah gempa bumi. Kisah smong merupakan salah satu budaya lokal Simeulue yang disebut Nafi-nafi. Nafi-nafi merupakan salah satu budaya tutur masyarakat berupa cerita atau dongeng yang berkisah tentang kejadian masa lalu.
Kisah Smong ini banyak disampaikan kepada anak-anak. Melalui Smong anak-anak Simeuleu dikenalkan dengan gempa bumi besar, air laut surut, dan air laut naik ke daratan. Selain itu kisah Smong juga berisi pesan tindakan yang perlu dilakukan saat terjadi tanda-tanda tersebut, yaitu segera menjauhi pantai dan pergi ke tempat yang lebih tinggi.
Melihat kisah Smong membuat saya semakin yakin bahwa sebenarnya ada banyak pengetahuan lokal yang sebetulnya sudah dipersiapkan oleh orang terdahulu kita dalam mitigasi bencana. Kita hanya perlu mengulik dan menyebarkannya kembali.
ADVERTISEMENT
Di Jogja kita memiliki kisah Nyi Roro Kidul yang sangat viral bahkan sampai saat ini. Kisahnya yang paling fenomenal adalah larangan menggunakan baju warna hijau pupus ketika berada di pantai selatan, cukup membuat pengunjung pantai sangat berhati-hati saat berkunjung ke pantai selatan.
Menurut peneliti tsunami purba Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto mengidentifikasi bahwa kisah Nyi Roro Kidul mengandung pesan bahwa selatan Pulau Jawa pernah terjadi tsunami dahsyat. Menurutnya dalam "Babad Tanah Jawi", Panembahan Senopati melakukan semedi sebelum mendirikan kerjaannya. Semedi tersebut memicu hawa panas yang menyebabkan gelombang besar. Menurut Eko Gelombang besar adalah metafora dari tsunami yang pernah terjadi ratusan tahun silam.
Walaupun masih terus dikaji oleh pihak LIPI pengetahuan lokal ini perlu kita jaga, kita lestarikan, bukan menentangnya karena dianggap kurang rasional yang menyebabkan pengetahuan lokal terkikis. Pengetahuan lokal, mitos bisa kita lihat kemanfaatannya dari sudut pandang lain, sebagai mitigasi bencana salah satunya.
ADVERTISEMENT