TPST Piyungan Tutup, Jogja Darurat Sampah

Kris Mheilda Setiawati
Suka menulis kecuali pas lagi nggak Aktif di Instagram @idamaann
Konten dari Pengguna
8 Februari 2022 16:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kris Mheilda Setiawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jogja beberapa hari ini tengah mendapat banyak sorotan di jagat maya. Setelah hype-nya isu Jogja Darurat Klitih, disusul viralnya isu harga parkir bus yang mencapai 350ribu, berlanjut rencana relokasi PKL Malioboro yang menuai banyak pro dan kontra.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya ada satu isu lagi yang jarang dibahas, padahal jadi masalah yang tak kunjung usai di Jogja, yaitu masalah Jogja Darurat Sampah. Awal tahun ini Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan kembali ditutup oleh warga sekitar dengan masalah yang sama seperti sebelumnya yaitu kapasitas TPST yang sudah overload. Penuhnya TPST Piyungan sudah sangat mengganggu warga sekitar. Selain baunya yang tak sedap, sampah yang mulai menutup jalan, hingga air lendir yang bercecer di mana-mana.
Kabar ini tentu saja tidak seramai pemberitaan soal wisata baru Coffee In The Sky atau berita Ghozali Everyday, bahkan tulisan ini pun saya rasa juga tidak mengundang banyak pembaca. Saya paham membahas sampah adalah masalah klasik. Dari dulu begitu-begitu saja, kalau tidak membuang sampah sembarangan ya TPST overload.
ADVERTISEMENT
Kalau dilihat secara kasat mata, saat ini sudah mulai jarang orang-orang yang membuang sampah sembarangan. Sepertinya orang-orang sudah mulai paham konsep “buanglah sampah pada tempatnya” yang banyak dituliskan hampir diseluruh tempat. Bahwa membuang sampah harus di tempat sampah.
Anggaplah memang sudah paham semua ya tentang “membuang sampah pada tempatnya”. Ya walaupun membuang sampah pada tempatnya tidak benar-benar menyelesaikan masalah. Membuang sampah pada tempatnya hanyalah memindahkan sampah dari tempat sampah kecil ke tempat sampah yang lebih besar, kalau di Jogja tempat sampah besarnya ya TPST Piyungan yang saat ini sudah penuh.
Oke, di sini saya tidak mencari siapa yang salah siapa yang benar, karena pasti semua orang di Jogja menyumbang sampah di TPST Piyungan yang saat ini penuh. Lebih baik mari sama-sama bersepakat bahwa masalah sampah adalah masalah bersama.
ADVERTISEMENT
Penuhnya TPST Piyungan memerlukan solusi yang lebih jangka panjang. Tidak sekadar mendorong sampah-sampah yang hampir memenuhi jalan menggunakan alat-alat berat seperti yang saat ini dilakukan.
Menurut saya, berita tentang tutupnya TPST Piyungan karena sudah overload, harusnya bisa didengar oleh seluruh warga Jogja. Tujuannya apa? Biar semua orang merasakan keresahan yang sama, bahwa Jogja tidak baik-baik saja perihal sampah. Bukan hanya warga Piyungan saja yang merasakan, dan terkena banyak cibiran karena melakukan pemblokiran jalan.
Pemblokiran akses jalan truk pembuangan sampah ke TPST yang dilakukan oleh warga Piyungan, adalah sebuah pesan dari warga setempat bahwa TPST Piyungan benar-benar sudah penuh. Bau sampah yang sudah mereka bertahun-tahun sudah mereka tahan, namun belum ada sama sekali perbaikan.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan Tempo, 600 ton sampah tak terpilah masuk ke TPST Piyungan setiap harinya. Membayangkan saja sudah bikin merinding, apalagi mereka yang tinggal di sekitar TPST.
Mereka terus berempati kepada kita, mempersilakan sampah yang kita buang ditumpuk di sana. Namun sekarang sudah tidak bisa lagi, wadahnya sudah benar-benar penuh. Apakah kita yang bukan warga Piyungan lantas hanya diam saja dan turut merutuki tukang sampah yang tidak segera mengambil sampahnya?
Saya yakin, sebetulnya warga sekitar TPST Piyungan tidak butuh dikasihani. Mereka hanya butuh solusi pasti dari pemerintah, maupun dari kita selaku orang yang turut menyumbang sampah di TPST Piyungan.
Setelah memahami bahwa membuang sampah pada tempatnya ternyata bukan sebuah solusi, lantas apa yang harus dilakukan lagi? Memilah kah? Mendaur sampah kah? Atau berusaha untuk tidak memproduksi sampah?
ADVERTISEMENT