Masyarakat Sipil dan Kekerasan Seksual

Krisnaldo Triguswinri
Bukunya yang telah terbit: Jazz Untuk Nada (2016) dan Tidak Ada Pagi Revolusi, Sementara Ada Pagi Jatuh Cinta (2021) dan Hari-Hari Berbagi Api (2021).
Konten dari Pengguna
1 Agustus 2023 13:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Krisnaldo Triguswinri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengelurkan peraturan menteri ihwal Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi No. 30 tahun 2021 yang merupakan kebijakan strategis dan langkah penting guna mengatur masalah kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di dalam Perguruan Tinggi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Permen ini diumumkan oleh Mendikbudristek sebagai produk kebijakan pada bulan September 2021 dan disosialisasikan secara meluas kepada publik pada Oktober 2021.
Peraturan menteri ihwal Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang selanjutnya disingkat menjadi Permen PPKS, secara menyeluruh, merumuskan aturan serta menomersatukan sudut pandang korban di dalam upaya perlindungan, pencegahan, sampai penanganan kekerasan seksual yang berlangsung di dalam universitas.
Diberlakukannya Permen PPKS tersebut tidak terlepas dari kontribusi kelompok masyarakat sipil dalam mengadvokasi isu-isu kekerasan seksual dan mendorong institusionalisasi kekerasan dalam bentuk kebijakan.
Ilustrasi jurnalis game. Foto: Shutterstock
Perjuangan masyarakat sipil dalam mengadvokasi dan mengamplifikasi isu kekerasan seksual telah berlangsung lama dan konsisten. Terdiri dari formasi aktivis perempuan, jurnalis publik, pegiat hak asasi manusia, serikat buruh, hingga kalangan akademisi.
ADVERTISEMENT
Masyarakat sipil menggunakan ruang publik sebagai basis dibentuknya formasi opini publik dalam mengintervensi dan mendorong upaya pembentukan kebijakan.
Ruang publik yang menjadi ruang percakapan, meminjam istilah Simone de Beauvoir (2003), tentang “situasi keperempuanan” tersebut, tidak sekadar diisi oleh keterlibatan perempuan, namun juga peranan laki-laki.
Tidak hanya berkumpul organisasi-organisasi yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender, namun juga berkumpul organisasi-organisasi yang tidak terhubung secara langsung dengan isu tersebut.
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Tinnakorn jorruang/Shutterstock
Komnas Perempuan pada tahun 2019 melakukan survei yang menunjukkan bahwa dari 16 Perguruan Tinggi di Indonesia yang dilibatkan, ditemukan 1.011 kasus kekerasan seksual (Komnas Perempuan, 2019).
Di tahun yang sama Tirto.id, The Jakarta Post, serta Vice Indonesia (2021) melakukan penelitian investigatif tentang beragam indikasi kasus kekerasan dan pelecehan yang terjadi di perguruan tinggi di Indonesia dengan output, terjadi 174 kasus kekerasan seksual di 79 universitas dalam 29 kota di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Laporan tersebut memperlihatkan bahwa pelaku dari kekerasan seksual tersebut adalah civitas akademika, terdiri dari unsur tenaga pengajar dan rekan sesama mahasiswa. Peristiwa kekerasan tersebut terjadi tidak hanya di dalam universitas, namun juga berlangsung dalam aktivitas di luar kampus.
Tanggal 15 November 2021, Tempo (2021) mempublikasi laporan kepada masyarakat bahwa berdasarkan data hasil survei Dirjen Kemendikbudristek terdapat temuan sebanyak 77% kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi, namun 60% tidak melaporkan kasusnya.
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Doidam 10/Shutterstock
Lembaga HopeHelps yang merupakan lembaga inisiatif para mahasiswa dan akademisi di Universitas Indonesia yang bekerja memberikan layanan cepat tanggap dan berfungsi mencegah kekerasan seksual di dalam kampus, merilis data bahwa dalam kurun waktu 2020-2021 ada 31 laporan kekerasan dan pelecehan yang terjadi di Universitas Indonesia.
ADVERTISEMENT
31 laporan tersebut terdiri dari tindak perkosaan, percobaan perkosaan, perbudakan seksual, pelecehan seksual fisik dan verbal, serta pelecehan seksual berbasis online (HopeHelps, 2021).
Tahun 2016, Lentera Sintas Indonesia bekerja sama dengan Magdalene.co melaporkan bahwa 90% korban kekerasan seksual menolak dan tidak pernah mengajukan aduan atas kasusnya pada penegak hukum (Magdalene, 2016).
Badan Pusat Statistik di tahun 2017 mempublikasikan hasil survei nasional yang mendeskripsikan 1 dari 3 perempuan Indonesia pernah menjadi korban kekerasan seksual (Badan Pusat Statistik, 2017).
Sepanjang 2018, Komnas Perempuan merilis angka kekerasan terhadap perempuan sebanyak 406.178, pada tahun 2019 dan 2020, Komnas Perempuan melaporkan kembali catatan tahunan tentang kekerasan seksual sebanyak 431.471 kasus di tahun 2019 dan 299.911 kasus sepanjang tahun 2020 (Komnas Perempuan, 2018; 2019; 2020), sedangkan dalam laporan catatan tahunan yang dipublikasi pada tanggal 5 Maret 2021 (Komnas Perempuan, 2021) menunjukkan terjadi 1.309 kasus kekerasan dalam relasi pacaran.
Ilustrasi KDRT. Foto: charnsitr/Shutterstock
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menempati posisi pertama sebanyak 6.480 kasus (Triguswinri, 2022). Menurut WHO (World Health Organization), di tingkat global sejak tahun 2000 hingga 2018, setidaknya ada 852 juta perempuan berumur 15 tahun ke atas pernah mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh pasangan atau non-pasangan (WHO, 2021).
ADVERTISEMENT
Dalam hukum konstitusi di Indonesia termaktub beberapa peraturan sebagai payung hukum yang mengatur tindak pidana kekerasan seksual. Pertama, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kedua, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ketiga, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Keempat, Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Berdasarkan advokasi dan riset yang dilakukan oleh Forum Pengada Layanan (dalam Sigiro dan Takwin, 2021), peraturan-peraturan tersebut relatif lemah bagi aspek pencegahan serta perlindungan kepada penyintas kekerasan seksual dan insignifikan dalam menanggapi permasalahan kekerasan seksual yang masif terjadi pada perempuan.
Peraturan-peraturan di atas sekadar berkonsentrasi pada aspek pemidanaan kasus yang bersifat umum, seperti pemerkosaan dan pencabulan. Secara implisit, kekerasan seksual memiliki pelbagai kompleksitas, seperti kekerasan fisik, psikologis dan simbolik, serta kekerasan berbasis ekonomi dan sosial (Triguswinri, 2021).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pelbagai temuan kasus kekerasan seksual oleh Komnas Perempuan, terdapat banyak kekerasan berbasis gender yang tidak memiliki payung hukum.
Kekerasan seksual tersebut antara lain: eksploitasi seksual, pelecehan seksual, pemaksaan aborsi dan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan dan pelacuran, pemaksaan perbudakan seksual serta penyiksaan seksual (Komnas Perempuan, 2021).
Undang-Undang di atas tidak akomodatif dalam melayani kebutuhan korban kekerasan seksual, sehingga dibutuhkan peraturan baru untuk mengakomodasi kasus kekerasan seksual dalam pengertiannya yang komperhensif.
Hal tersebut terpatri di dalam Permen PPKS–tidak sekadar memberikan sanksi kepada pelaku kekerasan dan pelecehan–Permen PPKS juga mengedepankan pemenuhan hak-hak penyintas dan bagaimana korban kekerasan tersebut disembuhkan dan mendapatkan ulang hak-hak primernya sebagai bagian dari civitas akademik dan sebagai warganegara.
ADVERTISEMENT