Mencintai Sesama Manusia Dalam Beranda Agama

Kristian Ndori
Mahasiswa Sastra Inggris - Universitas Gajayana Malang
Konten dari Pengguna
12 Mei 2024 9:27 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kristian Ndori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Suatu kebaikan jika setiap manusia hidup dalam ruang kedamaian, yang di dalamnya setiap manusia memahami siapakah diri mereka dan untuk apa diri mereka? Untuk menjawab hal ini, mari menyelam lebih dalam tentang jiwa dan kepribadian manusia, sebagai seseorang yang pecinta dan penyayang.
Keberagaman Agama di Dunia (Sumber; Shutterstock.com)
Saya mengulas cinta terhadap sesama manusia dalam beranda agama yang seringkali diterjemahkan ke dalam bahasa cinta untuk sesama manusia. Namun, masih terbilang ringkih bagi kita untuk menelusuri teras-teras cinta itu sendiri. Dalam tulisan kitab-kitab semua agama, setiap yang tertulis selalu tercermin dari kehidupan yang lalu-lalu, yang kerap diawali dengan hal-hal yang baik menjadi buruk hingga menjadi baik dan kembali menjadi buruk. Itulah awal dari sengatan cinta yang saya katakan sebagai arus peradaban cinta itu sendiri. Berangkat dari gelapnya situasi masa lalu, saya memberikan ruang ketenangan bagi tubuh saya sendiri untuk memilah bagaimana cara memberikan cinta kepada diri sendiri dan kepada sesama. Banyak orang mengatakan, untuk mencintai diri sendiri, cukuplah dengan menjadi dirimu sendiri, dan berjalanlah semampumu dan bersenang-senanglah dengan dirimu sendiri. Bagi saya, jawaban itu masih menjadi jawaban pragmatis, saya menemukan sebuah arus terobosan bahwa untuk mencintai diri sendiri, cukuplah dengan mencintai sesama manusia, karena setiap manusia adalah diri kita sendiri. Saya berandai, ketika saya memberikan perhatian lebih kepada orang lain, apalagi membuatnya merasa nyaman, maka saya sudah menyumbangkan rasa yang membuatnya bahagia. Itulah cinta yang di tandai dengan antusias, “karena aku mencintai, maka aku harus memberikannya”, itu menjadi pedoman cinta yang saya terapkan untuk kawan-kawan sepantaran dan para sahabat.
ADVERTISEMENT
Saya menerapkan cinta sebagai alat utama untuk menjadi diri sendiri dan baik untuk menghargai sesama manusia. Mencintai sesama sebagai kebutuhan untuk hidup yang damai dan rasional dalam masyarakat yang sifatnya Societas. Jika kita semua mengandalkan cinta sebagai pedoman hidup yang mulia, maka di pastikan tidak ada pertikaian dan permusuhan di antara kita. Sebab, kita di ciptakan sama dalam rupa Tuhan; begitulah pandangan agama. Namun, agama menjadi alat represif ketika setiap penganutnya tidak memahami makna mendalam tentang cinta yang seharusnya pada setiap beranda agamanya masing-masing. Munculnya istilah “mabuk agama” memberikan respon kontoversi yang bisa saja menjadi bencana bagi siapa dan apapun itu. Cinta mestinya dijadikan sebagai bantal untuk kenyamanan hidup, apalagi jika cinta berbaring dalam tubuh agama, bukankah itu terlihat indah?
ADVERTISEMENT
Agama tidak pernah menggagalkan dasar-dasar dan sirkulasi cinta itu sendiri, agama selalu menciptakan cinta yang baik. Dalam setiap agama, cinta acap di terjemahkan dalam kasih sayang, karena dalam pandangan setiap manusia saat ini menganggap bahwa, ketika membicarakan cinta artinya membicarakan hubungan intim sepasang suami dan istri. Seringkali, cinta di pandu sebagai kasih dan sayang sebagai penghalusan-penggunaan bahasa, maka kesungkanan selalu menjadi aktor di balik perbincangan itu. Padahal cinta adalah agama itu sendiri. Agama adalah keindahan, sama dengan keindahan cinta itu sendiri, dan sering sekali cinta dihiasi dengan aspek menghargai dan menghormati.
Etalase agama saat ini seringkali mengotori wajah cinta yang telah di prioritaskan sejak dahulu kala. Cinta menjadi sangat sensitif, dan sering digunakan sebagai alat untuk menghasut sesama, bahkan melalui cinta kita bisa saja mengucilkan sesama. Premis-premis candaan dijadikan sebagai budaya, meskipun itu berbau menyinggung, akan tetapi bagian yang kecil dipaksakan harus bisa mengalah sebisa mungkin, karena yang besar adalah yang selalu benar. Penandaan sikap menghormati dan menghargai adalah jalan pamungkas untuk berhubungan baik terhadap sesama manusia. Saya kira dengan saling menghormati dan menghargai, kita bisa menjadi manusia yang moderen dan beraklak mulia, karena kita sadar bahwa kita adalah manusia yang Societas. Kelayakan hidup manusia, bergantung pada setiap manusia yang menjalaninya, jika dalam perjalanan hidupnya ia selalu berusaha menindas orang lain, maka ia akan dijauhi dan bisa ditakuti oleh orang lain. Di takuti bukan karena takut, melainkan memilih untuk menghindar dari mereka yang saya sebut sebagai orang yang “mabuk”. Upaya untuk menggagalkan orang-orang yang mabuk sangatlah susah di era kini, karena mereka di organisir secara struktural oleh mereka-mereka yang lainnya. Orang-orang yang menghasut dengan percikan-percikan doktrin yang kadarnya tak pasti itu, selalu menggunakan ruang agama sebagai bukti kepastian untuk menarik kepercayaan orang lainnya. Saya begitu sedih ketika mendengar ada satu agama yang selalu di represif oleh agama lainnya, hanya karena merasa aneh dan mengganggu pemandangan agamanya. Bagi saya, itulah bukti nyata bahwa manusia belum sadar ada cinta dalam dirinya. Sikap menghargai dan menghormati belum di sempurnakan dalam dirinya, sekalipun ia beragama dan ber- Tuhan. Dalam hemat saya, dengan lantang saya katakan bahwa saat ini agama masih gagal menciptakan manusia yang teliti dalam mencintai sesama manusia. Agama masih bisa di pelintir sebagai alat untuk menyalurkan sabda dan ruang ibadah, namun belum sempurna menerapkan “kasih” kepada sesama. Sangat di sayangkan jika agama terus menerus di salahkan sebagai yang gagal dan selalu gagal.
ADVERTISEMENT
Dalam beranda agama, cinta seharusnya diprioritaskan sebagai kunci utama untuk memandu rasa memiliki; kesamaan, kedamaian, keharmonisan, kepercayaan dan cinta. Panduan untuk mencintai sesama sudah banyak di terapkan oleh para motivator, pengajar, aktivis, dan keluarga dan semuanya ideal dan kontruktif, namun sedikit menurun eskalasinya pada beranda agama. Sebab, masih ada kejahatan dan keselewengan yang mengatasnamakan agama hingga menggunakan nama itu sebagai pagar kejahatan. Sekali lagi saya tawarkan, panduan untuk mencintai sesama ialah dengan menjadikan sesama sebagai yang sama dengan diri kita, tanamkan premis, “aku adalah dia, dan dia adalah aku”, maka jadilah sebuah keharmonisan yang baik. Jika agama berhasil menciptakan manusia yang secara keseluruhan berhasil meraup kesadaran itu, maka di pastikan tidak akan ada kejahatan dalam agama-agama apapun. Karena sejauh ini, banyak orang saling menghasut dan melahirkan wajah-wajah represif yang ditawarkan melalui ajaran-ajaran agama. Maka, marwah agama menjadi buruk di mata orang-orang yang meyakininya sebagai instansi yang religius.
ADVERTISEMENT