Menkeu Sri Mulyani dan Operasi Penyelamatan

Kristianto Naku
Saya Kristianto Naku (Penulis Daring dan Blogger). Saya menyelesaikan studi di Fakultas Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pada tahun 2020, saya menyelesaikan studi Program Bakaloreat Fakultas Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Konten dari Pengguna
11 Agustus 2021 11:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kristianto Naku tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati. Foto: https://ekbis.sindonews.com/.
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati. Foto: https://ekbis.sindonews.com/.
ADVERTISEMENT
“Tugas dan tanggung jawab Menteri Keuangan itu kompleks. Kalau saya goyah, anak buah saya pun ikut goyah. Kalau saya shaky-nya 10 skala Richter, anak buah saya menjadi 20 skala Richter. Makin ke bawah, makin besar. Jadi, Anda sendiri goyah, bagaimana Anda akan menjadi jangkarnya?”
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini, disampaikan oleh Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati dalam sesi wawancara khusus bersama tim Tempo (2/7/2021) melalui konferensi video. Sri Mulyani merasa tantangan pandemi COVID-19 merupakan jenis ranjau yang cukup berbahaya dari beragam ranjau yang pernah dilewatinya dalam hidup. Menurut Sri Mulyani, ranjau pandemi COVID-19 lebih menantang ketimbang mengurus masa sulit aksi extraction Bank Century pada tahun 2008 silam. “It’s totally different game!” katanya.
Pandemi dan Penyelamatan
Informasi tentang jumlah utang Indonesia akibat proyek penyelamatan ekonomi dari pengaruh pandemi COVID-19 mengganggu sirkulasi berpikir. Jika dihitung-hitung, negara cukup banyak mengeluarkan dana untuk program penanganan dan pemulihan. Pada periode 2020, upaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menginjak angka Rp 699 triliun.
ADVERTISEMENT
Banyak dana direlokasi dari target yang dibuat sebelum masa pandemi COVID-19. Program relokasi anggaran dari pos-pos tertentu untuk penanganan masalah pandemi menunjukkan bahwa pemerintah berani “pasang badan” melawan pandemi COVID-19.
Tumpuan besar proyek melawan pandemi, jika kita cermati secara mendalam, cukup banyak diarahkan ke Menteri Keuangan. Untuk penanganan pandemi saja, Menteri Keuangan harus pandai-pandai merumuskan anggaran, mengelola aset, membuat kebijakan, dan mencapai target.
Selain masalah pandemi, pemerintah melalui kementerian-kementerian yang ada, harus mampu memperkuat fondasi program prioritas, yakni upaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Semua hal ini tidak mudah, karena harus dilakukan dengan ekstra hati-hati.
Untuk tata kelola keuangan rumah tangga, hemat saya, kita perlu memberikan banyak apresiasi kepada Bu Sri Mulyani. Saya sendiri membayangkan bagaimana jika tata kelola keuangan di masa pandemi ini diberikan kepada orang lain.
ADVERTISEMENT
Bagaimana jika Menteri Keuangan di masa pandemi ini bukanlah Bu Sri Mulyani? Postur Sri Mulyani yang optimistis dan tegas, sejatinya memberikan nilai ekstra bagi kesehatan rumah tangga Indonesia, terutama dalam menata ekonomi selama masa pandemi.
Di tengah masa-masa sulit ini, cekikan informasi seputar utang negara semakin menular. Seakan-akan, hanya Indonesia yang terlilit utang. Hemat saya, Indonesia termasuk negara yang sigap menangani pandemi sembari menata neraca ekonomi agar tetap stabil.
Dengan kapasitas penduduk 200-an juta jiwa, pemerintah Indonesia tetap mampu “memberi makan” semuanya. Berbeda dengan negara-negara lain dengan kapasitas penduduk tak sampai ratusan juta. Indonesia justru masih tetap optimis berjalan.
Menurut Sri Mulyani, untuk saat ini–keadaan luar biasa dan shock–semua negara pasti menambah beban utang negaranya. Tentu saja eskalasi utang yang terlalu banyak justru tak membuat ekonomi menjadi sehat.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, menurut Sri Mulyani, kenaikan utang malah dibenarkan karena situasi shock di mana tidak ada instrumen lain yang mampu menopang kecuali negara sendiri. Jika negara bungkam dan tak reaktif menanggapi hanya karena takut ngutang, tentu saja keadaan negara semakin tak membaik.
PPKM dan “No Money
Selain ruwetnya penanganan masalah ekonomi, isu lain yang diudarakan adalah soal kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang dilihat oleh para haters sebagai strategi “no money” dari pemerintah. Isu ini melebar di media sosial lantaran kebijakan PPKM dinilai merobohkan ekonomi masyarakat.
Banyak warga, terutama para pelaku usaha, menentang kebijakan PPKM karena bertentangan dengan semangat program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Lalu, bagaimana Bu Menteri Sri Mulyani menanggapi ini?
ADVERTISEMENT
Menurut Sri Mulyani, PPKM darurat punya kaitan erat dengan target penyerapan anggaran. Sejauh ini, anggaran yang dicairkan untuk pos-pos penanganan masih belum terserap seluruhnya. Lagi-lagi, kendalanya ada pada crossing check data yang selalu berubah. Di pojok Menteri Sosial yang ditangani Bu Tri Rismaharini, masih banyak anggaran yang belum terserap dengan baik.
Misalkan, Program Keluarga Harapan (PKH) yang targetnya 10 juta orang, hingga Juni 2021 baru 9,9 juta. Hal lainnya, misalkan program Kartu Sembako yang dianggarkan untuk 18,8 juta keluarga sampai Juni 2021 baru 15,9 juta (Tempo, 11/7/2021). Jadi, penyerapan anggaran sesuai target sebetulnya membantu program-program lain dari pemerintah dalam perang melawan pandemi COVID-19.
Upaya pemerintah sebetulnya sangat “berotot”. Bantuan sosial sangat berlapis-lapis. Tinggal bagaimana kita mengelolanya demi keseimbangan neraca rumah tangga kita masing-masing. Kadang ada yang ngotot karena usaha tidak laku dan ekonomi rumah tangga ambruk.
ADVERTISEMENT
Hal ini bisa saja dipicu oleh data-data tidak valid terkait sasaran bantuan yang disalurkan oleh Kementerian Sosial. Buktinya, pihak Kementerian Sosial tetap berusaha memperbaiki data target mereka yang seharusnya mendapatkan bantuan dan mengularnya antrean laporan pengaduan terkait bantuan yang tak tepat sasaran.