Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Korupsi Bukan Hanya Soal Uang, Tapi Juga Mentalitas
10 Maret 2025 10:56 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Kristin Danda Yuliani Lingga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Kristin Danda Yuliani Lingga

Generasi muda saat ini hidup dalam era yang penuh dengan kemajuan teknologi, kebebasan berekspresi, dan akses informasi yang tak terbatas. Dengan perkembangan ini, mereka memiliki peluang besar untuk membawa perubahan positif bagi masyarakat. Namun, di balik berbagai kemudahan tersebut, muncul permasalahan yang semakin mengkhawatirkan, yaitu menurunnya kesadaran akan etika dalam kehidupan digital dan berkembangnya mentalitas korupsi sejak usia muda. Kemajuan teknologi yang seharusnya menjadi alat untuk menciptakan peradaban yang lebih baik justru sering kali disalahgunakan untuk menyebarkan informasi yang tidak benar, menciptakan polarisasi sosial, serta menormalisasi perilaku yang tidak etis.
ADVERTISEMENT
Dunia digital telah menjadikan media sosial sebagai ruang utama bagi generasi muda untuk mengekspresikan diri dan berinteraksi. Namun, kebebasan ini juga membawa konsekuensi serius ketika etika tidak lagi menjadi pertimbangan utama dalam setiap tindakan. Hoaks, ujaran kebencian, perundungan daring, dan budaya flexing semakin mengikis norma-norma sosial yang seharusnya dijunjung tinggi. Hal ini diperburuk dengan kecenderungan sebagian generasi muda yang lebih mementingkan popularitas dan validasi sosial daripada tanggung jawab moral.
Etika Digital yang Mulai Luntur
Media sosial saat ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak muda. Mereka menggunakan platform digital untuk berbagi informasi, mengekspresikan diri, dan berinteraksi dengan dunia luar. Namun, kebebasan ini sering kali disalahgunakan dengan berbagai tindakan yang melanggar etika. Penyebaran berita bohong atau hoaks semakin marak karena banyak orang yang langsung membagikan informasi tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Akibatnya, banyak masyarakat yang tertipu oleh informasi palsu dan mempercayai sesuatu yang tidak benar.
ADVERTISEMENT
Selain itu, budaya "cancel culture" semakin berkembang. Banyak orang dengan mudah menghakimi dan menjatuhkan seseorang hanya berdasarkan potongan video atau informasi yang belum tentu benar. Ini menciptakan iklim ketakutan di mana orang takut untuk berbicara atau berekspresi karena khawatir akan dikucilkan secara sosial. Fenomena lain yang juga mengkhawatirkan adalah meningkatnya budaya "flexing" atau pamer kekayaan di media sosial. Banyak anak muda yang merasa harus menunjukkan gaya hidup mewah agar terlihat sukses, padahal hal ini bisa menimbulkan tekanan sosial bagi mereka yang tidak mampu serta mendorong perilaku konsumtif yang tidak sehat.
Menurut survei Microsoft (2023), Indonesia berada di peringkat rendah dalam Digital Civility Index, yang menunjukkan bahwa masih banyak pengguna internet, termasuk generasi muda, yang belum memahami pentingnya etika dalam bermedia sosial. Perilaku seperti cyberbullying, ujaran kebencian, dan pelecehan daring semakin banyak terjadi, yang menunjukkan bahwa kesadaran akan etika digital masih perlu diperkuat.
ADVERTISEMENT
Korupsi Bukan Hanya Soal Uang, Tapi Juga Mentalitas
Ketika mendengar kata "korupsi," yang terlintas dalam pikiran kebanyakan orang mungkin adalah pejabat negara yang menyalahgunakan dana publik untuk kepentingan pribadi. Namun, korupsi sebenarnya tidak hanya sebatas pada penyalahgunaan uang negara, tetapi juga berkaitan dengan pola pikir dan kebiasaan yang tidak jujur sejak dini. Banyak anak muda tanpa sadar telah terbiasa melakukan tindakan yang mencerminkan mentalitas korup, seperti mencontek saat ujian, memalsukan data akademik, atau mencari jalan pintas untuk mendapatkan keuntungan tanpa usaha yang seharusnya.
Dalam dunia mahasiswa dan organisasi, penyalahgunaan kekuasaan juga sering terjadi. Misalnya, adanya praktik nepotisme dalam pemilihan pengurus organisasi, penyalahgunaan dana kegiatan, atau manipulasi data demi keuntungan pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya masalah sistem pemerintahan, tetapi juga masalah yang sudah mengakar di berbagai aspek kehidupan, termasuk di kalangan generasi muda.
ADVERTISEMENT
Salah satu laporan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa keterlibatan anak muda dalam praktik korupsi meningkat, baik sebagai pelaku langsung maupun sebagai bagian dari sistem yang mendukung perilaku korup. Beberapa kasus yang baru-baru ini terungkap bahkan menunjukkan bahwa anak muda yang memiliki akses ke kekuasaan lebih rentan menyalahgunakan wewenangnya demi keuntungan pribadi. Hal ini membuktikan bahwa tanpa adanya pendidikan karakter yang kuat, generasi muda dapat dengan mudah tergoda untuk mengikuti jejak buruk yang sudah terjadi sebelumnya.
Penting bagi generasi muda untuk membangun kesadaran akan pentingnya menjaga etika dalam setiap aspek kehidupan, baik di dunia nyata maupun digital. Peran keluarga, pendidikan, serta lingkungan sosial sangat menentukan bagaimana karakter dan integritas generasi muda terbentuk. Jika etika dan kejujuran tidak ditanamkan sejak dini, maka masa depan bangsa akan berada dalam ancaman yang serius.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi permasalahan ini, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Pertama, pendidikan karakter harus ditanamkan sejak dini di sekolah dan lingkungan keluarga. Anak-anak harus diajarkan untuk memahami nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan transparansi dalam segala aspek kehidupan. Kedua, generasi muda membutuhkan role model yang bisa memberikan contoh nyata tentang pentingnya integritas. Influencer, tokoh publik, dan pemimpin muda harus berperan aktif dalam menunjukkan perilaku yang jujur dan adil. Ketiga, kebijakan dan aturan yang ketat perlu ditegakkan untuk mencegah tindakan yang melanggar etika dan hukum. Jika ada pelanggaran, harus ada konsekuensi yang jelas agar memberikan efek jera bagi pelaku dan memberikan pelajaran bagi masyarakat luas.
Generasi muda adalah harapan masa depan bangsa, tetapi tanpa etika yang kuat, mereka bisa saja terjerumus dalam mentalitas korup dan merusak tatanan sosial yang ada. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk berperan aktif dalam membangun kesadaran akan pentingnya etika digital dan integritas sejak dini. Jika kita ingin menciptakan perubahan yang positif, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki pola pikir dan kebiasaan yang kita jalani sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Penulis mahasiswa prodi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Santo Thomas