Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pesan Untuk Angkatan Muda Muhammadiyah
6 Oktober 2022 10:47 WIB
Tulisan dari UMJakartaOfficial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah era digital, sebaran informasi berjalan sangat cepat, tak terkecuali informasi/berita bohong yang dikenal dengan sebutan hoax. Beragam isu bisa jadi pemantik keributan antar kelompok masyarakat, termasuk yang berkaitan dengan isu agama.
ADVERTISEMENT
Perbedaan cara pandang dalam beragama mendorong pemerintah melalui mengkampanyekan pemikiran wasathiyah. Namun hal tersebut dinilai Rektor UMJ tidak proporsional sebab wasathiyah tidak dapat disempitkan pada konteks agama saja. Hal tersebut disampaikan Dr. Ma'mun Murod, M. Si., dalam peresmian program Yasinan (Hayya Sinau Bulanan) Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah DKI Jakarta, di Aula AR Fachrudin, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHAMKA, Selasa (27/09). Diskusi publik dan peresmian program Yasinan mengusung tema Islam Wasathiyah: Ikhtiar Merawat Keberagaman di Lingkungan Kampus juga menghadirkan Rektor UHAMKA Prof. Dr. Gunawan Suryoputro M.Hum., dan Wakil Rektor 3 UIN Syarif Hidayatullah Dr. Arif Subhan, M.Ag.
Dalam sesi diskusi publik, Ma’mun mengatakan pada peserta diskusi yang merupakan kader IMM se-DKI Jakarta, bahwa kampanye Wasathiyah di Indonesia masih seputar radikalisme dan ekstremisme. Padahal Wasathiyah adalah pemikiran yang general, tidak sebatas dalam konteks beragama. Begitupun di Muhammadiyah, Ma’mun menekankan pada angkatan muda Muhammadiyah khususnya IMM yang terlibat dalam acara tersebut untuk menjadi inklusif. Adanya segelintir orang di Muhamamdiyah yang memiliki cara pandang berbeda diharapkan tidak membuat Muhamamdiyah dipandang kering budaya. “Teman-teman harus menampilkan wajah Muhammadiyah yang tidak kering akan budaya,” tegas Ma’mun.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Ma’mun mengutip Ketua Umum PP Muhamamdiyah, yang dalam banyak kesempatan menjelaskan bahwa mengamalkan ajaran agama harus dengan 3 pendekatan yakni bayani, burhani, dan Irfani. Bukan hanya sekedar tekstual, tapi juga kontekstual. Menurut Ma’mun, dengan 3 pendekatan tersebut, Muhammadiyah tidak kering budaya. Pendekatan itu pula yang diakui Ma’mun ditransformasikan di UMJ menjadi program rutin 2 bulan sekali yang diberi nama Hari Bermuhammadiyah.
“Kita beragama itu harus bayani, burhani, dan irfani, sehingga kita beragama tidak kering. Hari Bermuhammadiyah di UMJ rutin 2 bulan sekali dengan mengundang beragam narasumber sehingga mencerahkan. Jadi beragama tidak bayani saja, tidak tekstual saja. Ini penting ketika bicara soal wasathiyah. Islam itu hadir bukan di ruang hampa. Islam itu hadir sudah ada orang, dan orang itu pasti punya budaya,” kata Ma’mun.
ADVERTISEMENT
Dalam mendefinisikan wasathiyah, Ma’mun mengutip Quraish Shihab dalam tafsir Al Misbah. Wasathiyah diartikan sebagai sesuatu yang di tengah, tidak boros tapi tidak kikir, tidak ekstrem kanan tapi tidak ekstrem kiri. “Seperti wasit. Tidak boleh memihak. Harus berada di posisi tengah. Beragama dalam posisi tengah. Kalau dalam konteks ekonomi, di tengah antara komunisme dan kapitalisme. Dalam konteks beragama berarti di tengah antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Sedangkan dalam konteks politik, tidak bisa posisi ekstrem. Karena ekstrem itu tidak wasathiyah,” tegas Ma’mun.
Tidak adanya gugatan terhadap praktik ekonomi, politik dan hukum di Indonesia yang ekstrem juga menjadi catatan penting bagi Ma’mun terkait wasathiyah. Menurutnya, hal-hal tersebut mestinya digugat juga dengan porsi yang sama dengan ketika menggugat radikalisme dan ekstremisme dalam beragama. Ma’mun juga menilai hal tersebut sebagai proyek untuk menyudutkan kelompok Islam.
ADVERTISEMENT
Pada kesempatan tersebut Ma’mun juga memberikan nasihat dan pesan pada kader-kader muda Muhammadiyah. “Pertama, di dalam kampus. Memang di kampus itu ada aneh-aneh. Penting IMM ambil bagian dalam kepengurusan masjid. Jangan nanti direbut orang lain baru ribut. Kedua, di luar kampus. Harus proporsional menggemborkan wasathiyah. Jangan hanya dalam konteks keberagamaan. Tapi juga politik, ekonomi, hukum, karena wasathiyah itu general bukan hanya keberagamaan,” ujar Ma’mun.
Pesan lainnya, angkatan muda Muhammadiyah harus ramah dan multi perspektif. “Mono perspektif itu cermin dari kesempitan berpikir. Tidak inklusif,” ujar Ma’mun.
Sementara itu, Rektor UHAMKA, Prof. Dr. Gunawan Suryoputro, M.Hum., mengatakan bahwa tema diskusi publik yang diangkat dalam rangka peresmian program tersebut sangat tepat. “Merawat statusnya tepat. Jangan memabangun karena sudah biasa kalau membangun. Muhammadiyah itu sudah biasa sejak dulu (wasathiyah), tinggal dirawat. Sebetulnya yang penting adalah bagaimana cara merawat ini (wasathiyah)?” ujar Gunawan saat menyampaikan pandangannya tentang wasathiyah.
ADVERTISEMENT
Lain hal dengan Wakil Rektor 3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Arif Subhan, M.Ag., yang memaparkan beberapa penelitian yang berkaitan tentang kualitas intoleransi di kampus. Mengutip indikator yang dikeluarkan oleh Dirjen Pendidikan Islam, Arif menjelaskan 3 unsur yang menjadi indikator adanya moderasi yakni komitmen kebangsaan, toleransi, dan anti kekerasan. Menurutnya, Muhammadiyah dan NU bisa menjadi modal sosial yang kuat untuk menciptakan moderasi Islam. “Dalam memperkuat moderasi beragama di kampus Islam adalah salah satunya dengan mendorong perjumpaan antar kelompok-kelompok internal kampus,” ujar Arif.
Diskusi publik diakhiri dengan peresmian Program Yasinan (Hayya Sinau Bulanan) DPD IMM DKI Jakarta oleh Rektor UMJ Dr. Ma’mun Murod, M.Si., Rektor UHAMKA Prof. Dr. Gunawan Suryoputro, M.Hum., Warek 3 UIN Syarif Hidayatullah Dr. Arif Subhan, M.Ag., dan Ketua Umum DPD IMM DKI Jakarta Ari Aprian Harahap. Seluruh peserta yang merupakan kader IMM se-DKI Jakarta menjadi saksi peresmian Yasinan yang diagendakan rutin setiap bulan.
ADVERTISEMENT
Yasinan merupakan program yang digagas oleh DPD IMM DKI Jakarta sebagai wadah pengembangan intelektualitas mahasiswa dan masyarakat.