Konten dari Pengguna

PPP dan Fenomena Konflik Partai Politik

Mawardin Sidik
Analis Politik
12 September 2022 12:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mawardin Sidik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana Pembukaan Mukernas V PPP di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta.Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Pembukaan Mukernas V PPP di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta.Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Di era reformasi, konflik partai politik masih dipertontonkan oleh sekelompok elite. Kasus paling mutakhir ialah “dualisme kepengurusan” Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Suharso Monoarfa diberhentikan dari jabatan sebagai Ketua Umum PPP akibat pidatonya mengenai “amplop kiai.”
ADVERTISEMENT
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Muhammad Mardiono didaulat sebagai Plt Ketum PPP menggantikan posisi Suharso melalui forum rapat Mahkamah Partai pada 2-3 September 2022. Keputusan pemberhentian itu merupakan usul dari tiga majelis PPP yakni Majelis Syariah, Majelis Kehormatan, dan Majelis Pertimbangan.
Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) pun digelar pada 4-5 September 2022. Dan, Mardiono ditunjuk sebagai Plt Ketum PPP, tetapi ditolak oleh kubu Suharso lewat pernyataan Ketua DPP PPP Saifullah Tamliha. Ia menilai Mukernas yang memberhentikan Suharso tidak sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai.
Pada masa Orde Baru, guncangan internal pernah mendera PPP ketika seteru antara kubu Mintaredja dengan Djaelani Naro. Konflik internal PPP pada fase selanjutnya melahirkan Partai Bintang Reformasi (PBR) di bawah kepemimpinan Zainuddin MZ, disusul oleh Bursah Zarnubi. PPP juga dirundung kisruh antara kubu Romahurmuziy dengan Djan Faridz.
ADVERTISEMENT
Fenomena Konflik Parpol
Konflik parpol di Indonesia merupakan fenomena klasik. Konflik senada dialami oleh Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), termasuk parpol-parpol baru yang bersemai pasca Pemilu 1999. Dari kisruh intrapartai, terpantul faksionalisasi hingga pendirian partai baru. Ada yang masih eksis, ada pula partai baru yang merosot bahkan lenyap.
Pada zaman pergerakan dan orde lama tercatat Sarekat Islam (SI) terpecah ke dalam dua blok: SI merah dan SI putih. SI merah belakangan menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). SI putih bermetamorfosa menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). PKI tersingkir dari peta politik nasional, sementara PSII terus meredup.
Begitu juga PNI, terpecah jadi beberapa faksi, lalu lahirlah Partai Indonesia (Partindo) dan PNI-Baru. Partai Sosialis pun mengalami pengeroposan internal. Ada Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Syahrir dan Front Demokrasi Rakyat (FDR) versi Amir Syarifuddin. Partai Masyumi juga tergerus pasca keluarnya NU.
ADVERTISEMENT
Ketika rezim Orba berkuasa, PDI mengalami perpecahan antara kubu Soerjadi dengan kubu Megawati Soekarnoputri. Pergolakan internal kembali berulang di PDI Perjuangan pimpinan Megawati, lalu lahirlah Partai Nasional Benteng Kerakyatan (PNBK) besutan Eros Djarot, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) versi Laksamana Sukardi dan versi Roy BB Janis.
Partai Golkar juga tak luput dari konflik internal. Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Gerindra, Partai Hanura, Partai Nasdem dan Partai Berkarya merupakan produk dari gejolak internal Golkar. Di era pemerintahan Jokowi, Partai Golkar sempat diwarnai sengketa kepengurusan antara kubu Aburizal Bakrie dengan kubu Agung Laksono.
Dualisme Partai Berkarya terjadi pula antara kubu Tommy Soeharto dengan kubu Muchdi PR. Tak hanya itu, turbulensi internal pun menimpa Partai Hanura, yang diketuai Oesman Sapta berhadapan dengan versi Daryatmo. Konflik internal di tubuh PAN melahirkan Partai Ummat atas inisiatif Amien Rais.
ADVERTISEMENT
PKB juga mengalami gesekan antara Muhaimin Iskandar dengan Gus Dur, termasuk PKB Gus Dur versus Matori Abdul Jalil. Dari perselisihan intrapartai itu, muncul Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Dalam kasus Partai Demokrat yang diterpa konflik internal, muncul Partai NKRI yang dideklarasikan oleh Sys NS, dan Partai Barnas-nya Vence Rumangkang.
Soliditas PKS yang selama ini kuat pun terbelah, hingga lahir Partai Gelora Indonesia yang digawangi sejumlah mantan petinggi PKS, di antaranya Anis Matta dan Fahri Hamzah. PBB pimpinan Yusril Ihza Mahendra juga tergerus, lantaran diaspora “Bulan-Bintang” ke berbagai parpol, hingga bergulir Partai Masyumi pimpinan Ahmad Yani.
Mengapa Terjadi Konflik?
Konflik intrapartai memiliki motif yang berangkat dari silang pendapat maupun pendapatan (sumber daya ekonomi-politik). Konflik internal juga dipicu oleh perbedaan perspektif tokoh-tokoh partai dalam menafsir isu strategis maupun kebijakan tertentu. Perbedaan sikap di antara elite partai mengenai capres ataupun cawapres yang diusung, dapat memicu disharmoni.
ADVERTISEMENT
Perbedaan-perbedaan yang timbul dari aktor utama partai dalam merespon dinamika internal dan eksternal, umumnya menimbulkan keretakan, hingga sebagian kelompok menelurkan partai sempalan. Di sisi lain, benturan antar pemuka partai dalam tarik ulur kepentingan juga mengemuka pasca suksesi kepengurusan parpol.
Lemahnya ideologi ditengarai menjadi penyebab mendasar maraknya konflik parpol. Sebagian besar parpol cenderung menggiring loyalitas anggotanya berbasis figur-sentris, bukan politik nilai dan ideologi. Faktor lain adalah problem tata kelola partai, terlebih manajemen kepemimpinan partai yang berwatak oligarkis.
Dalam konteks inilah, parpol membutuhkan figur yang berkomitmen memperkuat kelembagaan partai, bukan kultus individu. Manajemen partai perlu menghadirkan prinsip-prinsip meritokrasi, transparan, akuntabel, dan cita rasa inklusif. Parpol mesti dikembalikan esensinya sebagai institusi publik sekaligus jangkar konsolidasi demokrasi.
ADVERTISEMENT
Saat yang sama, parpol seharusnya mengarus-utamakan ideologi, platform perjuangan, kaderisasi terstruktur, dan rekrutmen politik yang bersifat meritokratik. Manakala politik praktis dilakoni tanpa internalisasi ideologi dan visi yang jelas, maka hasrat kuasalah yang dominan. Lebih dari itu, publik membutuhkan pendidikan politik dan keteladanan dari elite parpol.
Ideologi seyogianya menjadi landasan perjuangan bagi para kader, lalu diterjemahkan ke dalam visi-misi, agenda programatik, dan strategi partai dalam mewujudkan cita-citanya. Sayangnya, ideologi belum sepenuhnya melekat pada aktor politik. Pertunjukan politik yang berkecambah justru berupa aliansi leviathan, saling memangsa satu sama lain.
Islah Politik
Salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh keluarga besar PPP di tengah turbulensi saat ini ialah mengajak sesepuh pendiri partai yang berintegritas bersama tokoh independen untuk menjadi mediator resolusi konflik. Skemanya adalah “win-win solution” demi soliditas parpol menyongsong pertarungan elektoral yang semakin kompetitif.
ADVERTISEMENT
Bila tak ada titik kompromi, kedua kubu akhirnya beradu kekuatan hukum di pengadilan. Tentu saja proses ini akan menyedot tenaga, waktu, dan biaya, sehingga PPP terbebani di tengah tingkat elektabilitasnya yang mengkhawatirkan. Padahal, jalan rekonsiliasi, kompromi, atau islah adalah jalan tengah yang sedikit mudarat, banyak faedahnya.
Islah politik dari kedua kubu menyaratkan sikap lapang dada, lalu menegosiasikan titik temu kepentingan multi-pihak. Perihal itu memerlukan kedewasaan berdemokrasi, memperbaiki pola komunikasi, dan berjiwa besar, terlebih politisi berlabel partai Islam. Jangan sampai konflik terus berlarut-larut yang bisa menghambat konsolidasi PPP menuju kontestasi Pemilu 2024.