Konten dari Pengguna

Paten Obat oleh Perusahaan Farmasi: Adakah Kesejahteraan Pasien Diprioritaskan?

Muhammad Azfarreza Ilham
Mahasiswa S1 Farmasi Universitas Airlangga
31 Mei 2023 8:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Azfarreza Ilham tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Obat-obatan dengan Harga Tinggi. Foto: ShutterStock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Obat-obatan dengan Harga Tinggi. Foto: ShutterStock
ADVERTISEMENT
Di era informasi dan teknologi yang serba canggih, akses ke obat-obatan seharusnya semakin mudah dan terjangkau. Tetapi, di balik kemajuan tersebut, muncul pertanyaan besar: apakah kesejahteraan pasien benar-benar menjadi prioritas utama? Ataukah mereka menjadi korban dari kekuasaan monopoli yang dipegang oleh perusahaan farmasi besar melalui hak paten obat?
ADVERTISEMENT
Perusahaan farmasi besar sering kali memegang hak paten atas obat-obatan baru yang mereka temukan. Hak ini, berdasarkan Undang-Undang Hak Paten, memberikan mereka hak eksklusif untuk memproduksi dan mendistribusikan obat tersebut selama jangka waktu tertentu, biasanya 20 tahun.
Paten memang memberikan insentif kepada perusahaan untuk melakukan penelitian dan pengembangan yang mahal dan berisiko tinggi. Namun, dari sisi lain, hak eksklusif ini juga memungkinkan perusahaan untuk menetapkan harga jual produk mereka sekehendak hati, seringkali dengan harga yang tinggi dan sulit dijangkau oleh pasien, khususnya yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Menurut World Health Organization (WHO), sekitar dua pertiga penduduk dunia tidak memiliki akses yang memadai ke obat-obatan penting, dan faktor biaya seringkali menjadi penghalang utama. Fakta ini menjadi ironi di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semestinya memudahkan akses kesehatan bagi semua orang.
Seorang pedagang mengambil obat untuk konsumennya di Pasar Pramuka, Jakarta, Selasa (3/1/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Saya teringat kata-kata Prof. John Sulston, pemenang Nobel dalam Fisiologi atau Kedokteran, "Paten bukanlah hak untuk memproduksi, melainkan hak untuk mencegah orang lain memproduksi."
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, tampak jelas bagaimana perusahaan farmasi menggunakan hak paten sebagai perisai untuk melindungi kepentingan komersial mereka, seringkali tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan pasien.
Pemerintah dan organisasi internasional harus berperan lebih aktif dalam mengawasi dan mengendalikan praktik monopoli ini. Pasal 27 Perjanjian TRIPS (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) sebenarnya telah mencakup ketentuan bahwa hak paten dapat dicabut jika tidak dipakai untuk kebaikan umum. Namun, implementasi ketentuan ini sering kali tidak optimal dan cenderung diabaikan.
Perlu adanya peninjauan ulang terhadap sistem paten yang berlaku, dengan fokus pada bagaimana menjaga keseimbangan antara hak perusahaan farmasi dan kepentingan pasien. Kesehatan adalah hak asasi manusia dan seharusnya tidak menjadi komoditas yang hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membayar.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi obat-obatan. Foto: Shutterstock
Seharusnya, sistem paten harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mendorong inovasi, namun juga memastikan bahwa obat-obatan baru dan penting tetap dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat.
Fokus utama perlu bergeser dari orientasi pasar yang murni, ke model yang lebih berorientasi pada kesehatan publik. Memang, ini bukanlah tugas yang mudah. Akan tetapi, jika kita berkomitmen pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, langkah-langkah penting harus diambil untuk mencapai tujuan ini.
Sebagai contoh, pemerintah dan organisasi internasional bisa menjalankan peran mereka dalam mengendalikan praktik monopoli ini dengan lebih efektif. Pasal 27 Perjanjian TRIPS (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) memang mencakup ketentuan bahwa hak paten dapat dicabut jika tidak dipakai untuk kebaikan umum.
ADVERTISEMENT
Namun, implementasi ketentuan ini harus ditingkatkan dan ditegakkan dengan lebih tegas. Selain itu, adanya sistem lisensi wajib atau compulsory licensing, di mana pemerintah membolehkan perusahaan lain membuat versi generik dari obat yang dipatenkan tanpa persetujuan pemegang paten, dapat menjadi solusi alternatif dalam situasi krisis kesehatan.
Ilustrasi obat-obatan dan vitamin. Foto: Shutter Stock
Namun, langkah-langkah tersebut hanya akan efektif jika didukung oleh kerja sama internasional yang kuat dan komitmen nyata dari semua pemangku kepentingan untuk mengutamakan kesejahteraan pasien. Ini adalah tantangan besar, tetapi juga merupakan peluang untuk melakukan reformasi penting dalam industri farmasi.
Dengan merujuk pada kata-kata Prof. Paul Hunt, mantan Pelapor Khusus PBB tentang Hak atas Kesehatan, "Akses ke obat-obatan adalah bagian fundamental dari hak atas kesehatan.
ADVERTISEMENT
Tanpa akses yang memadai dan terjangkau, hak atas kesehatan menjadi kosong dan tidak berarti." pernyataan ini harus menjadi pedoman bagi kita semua, baik pemerintah, industri farmasi, maupun masyarakat umum, untuk selalu mengedepankan kepentingan pasien dalam setiap kebijakan dan tindakan di bidang farmasi.
Pada akhirnya, pertanyaan yang harus kita jawab bukan hanya apakah kita dapat menciptakan obat-obatan baru yang lebih efektif, tetapi juga apakah kita dapat memastikan bahwa semua orang memiliki akses yang sama terhadap obat-obatan tersebut.