Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2

ADVERTISEMENT
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menyebut pelemahan daya beli masyarakat selama pandemi COVID-19 telah berdampak ke perusahaan rokok. Di Kudus, Jawa Tengah, yang merupakan pusat industri rokok, terdapat satu perusahaan yang turun kelas.
ADVERTISEMENT
Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Cukai Kudus, Gatot Sugeng Wibowo, mengatakan hal tersebut karena masyarakat di Kudus mengalihkan konsumsi rokoknya ke produk yang lebih murah.
"Di Kudus, ada satu perusahaan yang turun golongan dari golongan I menjadi golongan II yaitu PT Nojorono Tobacco International," kata Gatot dalam keterangannya, Senin (8/3).
Melansir laman resmi Nojorono Kudus, perusahaan tersebut merupakan salah satu perusahaan pelopor rokok kretek di Indonesia. Nojorono didirikan pada 14 oktober 1932 oleh Ko Djee Siong dan Tan Djing Thay, berpusat di Kota Kudus, Jawa Tengah.
Nojorono Kudus dikenal sebagai pemilik merek dagang Minak Djinggo dan Clas Mild, yang saat ini menduduki posisi kelima dalam industri rokok terbesar di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Gatot menjelaskan, penurunan golongan itu sejalan dengan penurunan omzet penjualan perusahaan. Hal ini sebagai dampak dari pandemi COVID-19.
"Sementara pabrikan yang bertahan pada golongan I adalah PT Djarum. Alasan penurunan karena omzet penjualan turun akibat pelemahan daya beli, selain itu kenaikan tarif cukai. Sehingga harga rokok dinaikkan semakin mahal," jelasnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198 Tahun 2020 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, perusahaan rokok di Indonesia dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah produksi rokoknya dalam satu tahun.
Perusahaan di golongan I dengan produksi lebih dari 3 miliar batang setahun dikenakan tarif cukai rokok tertinggi. Adapun golongan II dan III dengan produksi kurang dari 3 miliar batang setahun dikenakan tarif cukai yang lebih rendah.
ADVERTISEMENT
Gatot memprediksi, kontribusi pabrik rokok golongan II dan III rata-rata naik menjadi antara 30-45 persen tahun ini. Namun hal ini juga belum dapat menutup kekurangan (shortfall) penerimaan cukai di Kudus dari penurunan penjualan rokok golongan I.
Sementara itu, Peneliti Center of Human and Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITB-AD), Adi Musharianto, mengatakan keberadaan rokok murah diperkirakan bakal semakin merajalela di pasaran. Hal ini seiring dengan melemahnya daya beli masyarakat dan lemahnya kebijakan pengawasan harga jual rokok.
Dia menjelaskan, kebijakan DJBC saat ini juga memungkinkan harga jual rokok di bawah 85 persen dari harga pita cukai atau Harga Jual Eceran (HJE) yang telah ditetapkan pemerintah. Hal ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea Cukai Nomor 37 Nomor 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Tembakau.
ADVERTISEMENT
Produsen dapat menjual di bawah 85 persen dari HJE asal dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei kantor Bea Cukai. Akibatnya, perusahaan, terutama yang berskala besar, berbondong-bondong menjual produknya jauh di bawah harga banderol.
“Percuma saja cukai rokok naik sampai 23 persen di tahun lalu dan 12,5 persen tahun ini, kalau realisasi HJE-nya disunat sampai puluhan persen,” kata Adi.
Variabel kenaikan cukai yang tidak diikuti kebijakan pengawasan harga tersebut dinilai sebagai kebijakan yang tidak selaras dengan aturan di atasnya. Adi pun meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan pengawasan harga dan memastikan pabrikan rokok tunduk terhadap ketentuan cukai dan HJE yang telah ditetapkan.
"Variabel kenaikan cukai itu seharusnya menurunkan variabel prevalensi merokok, faktanya prevalensi turun sedikit atau inelastis dengan kenaikan cukai, bahkan prevalensi bisa naik akibat ada kebijakan lain yang tidak searah," tambahnya.
ADVERTISEMENT