11 Serikat Buruh Kompak Minta MK Batalkan Kebijakan Tapera

18 September 2024 15:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang buruh mengangkat poster aksi saat unjuk rasa menolak program Tapera di depan Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (27/6/2024). Foto: ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
zoom-in-whitePerbesar
Seorang buruh mengangkat poster aksi saat unjuk rasa menolak program Tapera di depan Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (27/6/2024). Foto: ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
ADVERTISEMENT
Wacana pungutan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) kembali dipermasalahkan. Setelah asosiasi pengusaha, kini sebanyak 11 serikat buruh kompak meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan kebijakan ini.
ADVERTISEMENT
Sebanyak 11 serikat buruh yang beranggotakan ratusan pekerja tersebut menggugat kebijakan Tapera melalui firma hukum Integrity Law Firm.
Kebijakan Tapera diatur pemerintah dalam UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera. Aturan turunannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024. Dalam beleid ini, iuran Tapera akan dimulai pada 2027 mendatang.
Dalam gugatan ini, para pemohon menilai, pemberlakuan UU Tapera yang menaikkan level tabungan menjadi kewajiban adalah pelanggaran hak asasi manusia para buruh dan bertentangan dengan konstitusi.
Para buruh juga menyoroti kinerja perusahaan asuransi pelat merah seperti PT Asuransi Jiwasraya (Persero), PT Taspen (Persero) hingga PT Asabri (Persero) yang dinilai tidak profesional, dengan terlibat korupsi dana pensiun.
Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Jumhur Hidayat mengatakan iuran wajib seperti Tapera hanya akan menjadi ladang korupsi pemerintah. Sehingga penambahan program serupa disebut tidak rasional.
ADVERTISEMENT
“Sangat tidak rasional jika pemerintah ingin menambah program serupa. Kewajiban Tapera bukan tabungan, melainkan perampokan. Oleh karenanya MK harus batalkan,” ujar Jumhur dalam keterangannya, Rabu (18/9).
Selain itu UU Tapera yang menjadikan tabungan bersifat wajib dan mengikat bagi seluruh pekerja di Indonesia, bertolak belakang dengan UUD 1945. Sebab, UUD memberikan batasan mengenai potongan wajib yang dapat dibebankan ke masyarakat oleh pemerintah, yaitu pajak dan pungutan.
Dengan demikian menurut Jumhur, pemerintah seharusnya melihat tabungan sebagai pilihan opsional bagi pekerja yang tidak termasuk dalam pajak ataupun pungutan lain.
Jumhur juga menyoroti langkah Jerman, Prancis, Singapura, dan Malaysia yang memberikan akses penyediaan hunian dengan baik, tetapi tidak melalui program tabungan wajib yang mengikat. Menurut dia, hanya China yang memberlakukan konsep tabungan wajib. Akan tetapi, di China, program tersebut juga relatif tidak berhasil di China mengingat kebutuhan hunian di China masih sangat memprihatinkan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan perhitungan Jumhur, seluruh iuran wajib membuat seorang pekerja dengan penghasilan rendah mendapatkan potongan sebesar 8,7 persen dari gaji bulanan yang ia dapatkan. Potongan-potongan tersebut di antaranya untuk BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan Pajak Penghasilan.
Jika ditambah dengan potongan Tapera sebesar 3 persen, maka potongan pendapatan masyarakat menjadi sebesar 11,7 persen. “Tentu bukan jumlah yang sedikit, terkhusus bagi para pemohon yang merupakan Buruh,” tambahnya.
Kesebelas serikat buruh yang mengajukan judicial review tersebut antara lain:
1. Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional;
2. Federasi Serikat Pekerja Kimia dan Pertambangan–Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia;
3. Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi Kreatif– Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia;
4. Federasi Serikat Pekerja-Pekerja Listrik Tanah Air (Pelita) Mandiri Kalimantan Barat;
ADVERTISEMENT
5. Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan;
6. Gabungan Serikat Buruh Indonesia;
7. Konfederasi Buruh Merdeka Indonesia;
8. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia;
9. Serikat Buruh Sejahtera Independen ’92;
10. Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman; dan
11. Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia.